Mengenang Setahun AKSI 411: DISANGKA KERIKIL, Ternyata GUNUNG ES Yang Menenggalamkan Titanic
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/11/mengenang-setahun-aksi-411-disangka.html
by: Iramawati Oemar
(Eks jurnalis)
Tepat pada hari diadakannya Aksi Bela Islam II tanggal 4 Nopember 2016 setahun yang lalu, ada sebuah foto menarik yang viral di media sosial. Yaitu foto Ahok ditemani 3 orang dekatnya: Prasetyo Edi Marsudi (Ketua DPRD DKI sekaligus ketua tim pemenangan paslon Ahok-Djarot dari PDIP), Yunarto Wijaya (pengamat politik langganan Metro TV, pemilik Charta Politica, sekaligus konsultan politik Ahok) dan Charles Honoris (anggota DPR RI fraksi PDIP).
Entah mereka sedang berada di ruangan/kantor milik siapa, yang jelas pada latar belakang ada sebuah pesawat TV dengan layar cukup lebar, sedang menayangkan siaran langsung suasana AKSI 411.
Tampak keempat orang itu berwajah cerah ceria, termasuk Ahok. Prasetyo Edi Marsudi dan Yunarto Wijaya malah menunjukkan optimisme, terlihat dari kedua jari tangan kanan mereka membentuk huruf "V", jamaknya simbol "victory" sekaligus juga melambangkan angka "2" sebagai nomor urut paslon Ahok-Djarot dalam Pilgub DKI.
Rupanya hiruk pikuk aksi damai massa di seputaran Istiqlal, Bundaran HI hingga Istana Merdeka, sama sekali tak mempengaruhi mereka. Bahkan jutaan ummat Islam yang menyemut memutihkan seluruh area Bundaran HI dengan semangat '45, seakan diyakini tidak akan membawa pengaruh pada elektabilitas Ahok. Optimisme yang kelewat over dosis sebenarnya. Ini ibarat sang pemilik kapal besar Titanic yang yakin tak akan ada kekuatan apapun yang mampu menenggelamkan kapalnya.
Agak aneh sebenarnya, mengingat keberadaan Prasetyo Edi Marsudi dan Yunarto Wijaya. Sebagai pengamat politik dan pemilik lembaga survei, Yunarto seharusnya peka dengan setiap aspek non politis yang terjadi pada salah satu kontestan pemilu/pilkada. Sebab pilkada adalah soal bagaimana memenangkan hati masyarakat pemilih. Jadi apapun fenomena sosial yang terjadi di masyarakat yang cukup signifikan, selayaknya harus masuk dalam parameter yang jadi penentu akurasi pengamatannya soal prediksi elektabilitas sang calon.
Sebuah aksi yang diikuti jutaan orang, saat itu baru terjadi pertama kali. Memang pesertanya tidak hanya warga DKI, banyak diantara peserta aksi yang datang dari luar DKI, bahkan sudah masuk Jakarta sejak 2-3 hari sebelum 4 November 2016. Mereka ditampung menginap di masjid-masjid sekitar Istiqlal, selain di Istiqlal sendiri. Bahkan beberapa stasiun TV memberitakan betapa antusianya pengurus masjid menyambut para "tamu" dari luar kota, dengan menyiapkan fasilitas untuk tempat tidur dan mandi bagi jamaah luar kota. Warga sekitar pun secara spontanitas mengumpulkan dana dan menyumbangkan makanan dan minuman. Artinya: kaum Muslim DKI welcome dengan aksi tersebut!
Ini tidak bisa dipandang sebelah mata bahwa sebagian besar warga DKI, terutama ummat Islam nya, mendukung penuh Aksi Damai yang tujuannya mendesak agar Ahok diproses secara hukum atas ujarannya di Kepulauan Seribu.
Sangat naif jika menganggap aksi besar itu tidak perlu dianggap, tak perlu dimasukkan hati, besok juga sudah lupa. Tidak! Bagi seorang pengamat politik, aksi massa sebesar ini selayaknya jadi amatan serius dan jadi tolok ukur memprediksi ulang capaian elektabilitas calon yang di-endorse-nya. Bukannya justru ditutupi seolah tak ada dampak apapun, dengan merilis hasil-hasil survei yang memenangkan jagoannya dan mengecilkan pesaingnya.
Bagi seorang politisi parlemen seperti Prasetyo Edi, mungkin proses pengambilan keputusan politik sudah biasa. Lobby-lobby politik bisa dilakukan untuk menggiring lawan agar bisa bersepakat untuk suatu issu yang sedang dibahas. Bahkan bila perlu ada bargaining politik agar lawan menyerah. Itu jika di dalam parlemen. Tapi di ajang pilkada, rakyatlah yang mengambil keputusan. Lobby-lobby politik dengan rakyat tidak semudah dengan parpol. Pilkada tidak berada di ruang hampa. Melainkan ada di tengah hiruk pikuk opini dan persepsi publik. Pilkada hadir di tengah keriuhan masyarakat pemilik hak suara di TPS. Maka, optimisme hanya karena merasa calonnya diusung parpol pemilik kursi terbanyak di parlemen adalah optimisme semu.
Alhasil, 4 orang dalam foto viral itu ibarat para awak kapal Titanic yang semula meremehkan sebongkah es yang menabrak kapal mereka. Mana mungkin bongkahan es mampu mengoyak lambung kapal yang terbuat dari besi baja terbaik pada jamannya.
Mereka tak sadar bahwa itu bukanlah secuil bongkahan batu es, melainkan puncak dari gunung es. Maka, ketika pengabaian itu terjadi, dalam tempo sekejap lambung kapal sudah sobek dan kapal pun miring. Saat itulah, mereka yang sedang asyik berpesta di atas kapal, tetiba panik. Sudah terlambat untuk menyelamatkan diri, karena kapal sudah semakin miring dan akhirnya tenggelam.
Serupa itulah mungkin, ketika Aksi Damai 411 awalnya diremehkan. Bahkan aparat kepolisian dan intelijen pun sama sekali tak memprediksi pesertanya bakal mencapai jutaan orang. Kapolri Tito Karnavian ketika hadir di acara ILC bertajuk "Setelah 411", mengakui bahwa dirinya semula memprediksi jumlah peserta aksi hanya sekitar 50 ribuan orang saja. Bahkan Presiden Jokowi semula mendapat informasi intelijen jumlah peserta aksi diperkirakan cuma 18.000 orang.
Pengamat politik Indobarometer, M. Chodari, menyesalkan melesetnya informasi intelijen yang sampai kepada Presiden, yang gagal memprediksi besarnya aksi massa pada 4 November 2016.
Seorang buzzer yang tulisannya jadi rujukan para pendukung Ahok, pada pagi hari tanggal 4 November itu bahkan menulis bahwa Istiqlal sepi. Untuk meyakinkan penggemar tulisannya, dia mengunggah sebuah foto yang menggambarkan suasana Istiqlal yang hanya dihadiri beberapa puluh orang saja. Ada yang mengatakan foto itu sebenarnya bukan foto riil kondisi Istiqlal saat itu, melainkan foto yang diambil dari berita di Tempo untuk event yang sudah lama berlalu. Mungkin si buzzer tak menyangka bahwa di media sosial dan grup-grup WA sejak Kamis tengah malam hingga Jum'at dini hari sudah banyak beredar foto-foto kondisi terkini Istiqlal saat itu. Andai saja dia mau menghidupkan televisi dan menyimak reportase langsung para reporter dan juru kamera, mungkin si buzzer akan cari issu lain untuk mendelegitimasi Aksi Damai 411, ketimbang mengatakan Istiqlal sepi.
Ya, itulah yang terjadi setahun yang lalu. Bisa dikatakan seluruh elemen pendukung Ahok menanggapi Aksi Damai 411 dengan sebelah mata, UNDER ESTIMATE.
Mulai buzzer sampai timses dan konsultan politik, seakan menganggap aksi itu hanyalah kerikil semata. Hanya akan menyebabkan tersandung kecil, namun tak sampai terjatuh. Bahkan tak akan membuat tubuh limbung.
Padahal sejatinya Aksi Damai 411 adalah salah satu puncak gunung es dari ukhuwah Islamiyah ummat Islam yang belakangan merasa terpinggirkan meski mayoritas secara jumlah. Masih ada lagi puncak gunung es yang lebih besar. Terbukti, tepat 4 minggu kemudian, ada Aksi Super Damai 212 yang jumlah pesertanya 3x (tiga kali) lipat dari Aksi Damai 411.
Meski Presiden Jokowi sudah mengundang pimpinan sejumlah ormas Islam besar, termasuk NU dan Muhammadiyah, dengan maksud agar ormas-ormas Islam itu bisa mengeluarkan himbauan melarang anggotanya ikut Aksi 411, namun peserta aksi tak terbendung. Sebab Aksi Bela Islam adalah lintas ormas, lintas parpol, lintas harokah. Ummat ikut perintah ulama, bukan perintah pimpinan ormas apalagi perintah pimpinan parpol.
Alhasil, rangkaian Aksi Bela Islam itu ternyata bukanlah kerikil-kerikil kecil semata. Gunung es itu sudah terbukti mampu mempengaruhi masyarakat pemilih, dan merobek lambung kapal megah yang diawaki parpol-parpol besar yang konon mesin politiknya handal, dinakhodai pemodal besar, dan dilengkapi radar canggih dari lembaga-lembaga survei.
Banyak hikmah bisa diambil dari kejadian setahun lalu ini. Bagi ummat Islam Indonesia, hendaknya kita terus merawat dan menguatkan buhul ukhuwah Islamiyah. Ada atau tidak ada kasus penistaan agama, ukhuwah harus tetap dijaga. Ukhuwah ini harus dirajut terus, bukan hanya di DKI, tapi di daerah manapun kita berada.
Bagi politisi, partai politik, pengamat/konsultan politik, hikmahnya adalah: JANGAN PERNAH MENYEPELEKAN ASPIRASI RAKYAT!
Politik tidak berada di ruang hampa. Kontestasi politik adalah perjuangan merebut hati rakyat, memenangkan opini dan persepsi publik. Dan itu semua tidak bisa dicapai dalam waktu semalam. Sebab rakyat akan mencatat setiap perilaku politisi dan kebijakan partai politik. Yang mencederai kepercayaan rakyat, yang melukai hati rakyat, yang menafikan kehendak rakyat, semua akan dicatat di hati rakyat. Dan bersiaplah menerima balasannya di bilik-bilik suara.
Tapi nampaknya..., banyak politisi dan parpol yang tidak/belum mau belajar dari peristiwa ini. Jangan sampai, ketika kapal sudah nyaris tenggelam, baru tersadar bahwa rakyatlah nakhoda sebenarnya. Baru sadar bahwa aspirasi rakyat bukanlah kerikil kecil, melainkan puncak-puncak gunung es.
Terima kasih para ulama, khususnya yang tergabung dalam GNPF MUI, karena berkat Aksi Damai 411 dan Aksi Super Damai 212 ummat Islam Indonesia akhirnya bisa bersatu, melupakan sekat-sekat ormas dan orsospol. Semua demi "Bela Islam".... Semoga Allah ridho dengan perjuangan kita.***
Posting Komentar