suasana rakyat jatim menjelang 10 november
CATATAN ROESLAN ABDULGANI: Suasana Rakyat Jatim Jelang 10 November
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Amri Amrullah, wartawan Republika
JAKARTA -- Suasana jelang 10 November menjadi kenangan bagi Roeslan Abdulgani yang saat itu ikut terlibat dalam perang 10 November 1945 di Surabaya. Dalam catatannya, yang dituangkan dalam Buku yang ditulis Des Alwi berjudul 'Pertempuran Surabaya, November 1945' Roeslan menyebut warga Surabaya menunggu perlawanan yang tepat melawan setelah ultimatum sekutu.
Setelah sekutu mendarat di pulau Jawa, penduduk Jawa Timur khususnya di kota Surabaya terus menerus mengikuti siaran radio. "Setiap orang di Surabaya pada saat itu bertanya dalam hati, bagaimana hasil perundingan di Jakarta? Kapan Pak Soerjo (saat itu Gubernur Jawa Timur) akan berbicara lagi melali radio? Apakah ada hasil yang baik, ataukah tidak?" ungkap Roeslan.
Sementara saat itu kesiapan pertahanan terus ditingkatkan. Dalam perjalanan ke stasiun radio NIROM di Embong Malang, Surabaya, Gubernur Soerjo dan Cak Doel Arnowo mengendarai mobil chrysler dengan tujuh tempat duduk. Tetapi kendaraan mereka tidak dapat melaju dengan kecepatan seperti biasa.
Jalan-jalan di Surabaya sudah dipasang barikade oleh masyarakat dengan menggunakan karung-karung pasir, meja, almari pakaian, rak dan sepeda. "Pokoknya apa saja yang bisa digunakan untuk menghambat laju musuh," ungkap Roeslan.
Barikade tersebut bukan saja dibangun sepanjang rute dari Pasar Besar ke Embong Malang, tetapi pada semua jalan di dalam kota. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa kedua tokoh tersebut, Pak Soerjo dan Cak Doel Anrnowo yang sebelumnya berunding di penginapan Marijcke benar-benar telah berangkat ke kantor Gubernur, lantas dari sana menuju satsiun radio.
Secara spontan, seluruh warga masyarakat di kampung-kampung juga sudah bersiap-siap. Baik yang kaya maupun miskin, orang tua maupun anak muda, besar dan yang kecil, mereka semu sibuk mempersiapkan bungkusan-bungkusan nasi, pisang goreng dan pisang tundun.
Dengan segala macam cara, setiap orang berusaha mengambil bagian dalam mempertahankan kemerdekaan tanah air melawan dan melawan kembalinya pemerintahan asing. "Ini merupakan sebuah karakter unik dari rakyat Surabaya," kata Roeslan.
Kemudian sekitar pukul 23.00 malam, Cak Doel Arnowo kembali mengadakan hubungan telepon dengan Jakarta. Kali ini tidak dengan Bung Karno tetapi dengan Ahmad Soebardjo, yang menjelaskan dia tidak berhasil mengubah pikiran pihak Inggris.
Soebarjo, selaku menteri luar negeri saat itu baru saja mengadakan pembicaraan dengan Jendral Christion. Tetapi Panglima Inggris tersebut tetap tidak bersedia mencabut ultimatum yang sudah dia umumkan.
"Inggris akan teap menerapkan kebijakan sekeras-kerasnya seandainya besok pagi (10 November) kita masih belum menyerah," ungkap Roeslan dalam catatannya.
Akhirnya, lanjut Roeslan, Pak Soebadjo menyerahkan keputusan persoalan tersebut seutuhnya kepada kita di Surabaya. Dengan pernyataan tersebut, artinya kita di Surabaya merasa diri cukup kuat, maka keputusan untuk bertempur atau tidak, sepenuhnya ada di tangan kita. Pemerintah pusat tidak akan mempersalahkan rakyat Surabaya.
Dengan segera Pak Soerjo meraih mikropon dan tepat pukul 23.00 malam, suaranya berkumandang lewat radio, tenang jelas dan teguh pendiriannya. Usai mendengarkan pidato Gubernur Soerjo, malam itu juga pemuda Rurabaya membahas ancaman ultimatum Inggris. Dengan cepat diusahakan menghasilkan keputusan dengan gelora dan semangat rakyat Surabaya.
Malam itu sudah semakin larut namun Roeslan menjelaskan setiap sudut rumah di kota Surabaya terlihat masih belum tidur. Suasana kesiapsiagaan terasa sangat kuat, bukan hanya di dalam kampung, tetapi juga di seluruh kota Surabaya. Dan akhirnya radio yang dicap pemberontak oleh sekutu, akhirnya menyampaikan ultimatum Inggris tidak berlaku, dengan menyiarkan suara lantang pidato Bung Tomo dan pekikan Takbir dimulainya perlawanan 10 November.
Red: Karta Raharja Ucu
Shared by @zankigallery
Pusat Buku Islami
Posting Komentar