Cerita Prof. Dr. Moh. Mahfud MD .

SAYA terperangah dan takjub ketika pada Selasa, 16 Januari 2018, kemarin seorang advokat di Nagoya (Jepang) menjawab pertanyaan saya sambil terheran-heran. Saat itu saya bersama Zainal Arifin Mochtar (Uceng) dari Fakultas Hukum UGM diundang makan siang oleh pimpinan  ASEAN Nagoya Club (ANC) di sebuah restoran di Nagoya. ANC adalah sebuah komunitas pebisnis untuk kawasan ASEAN yang berkedudukan di Nagoya. Mungkin karena saya dan Uceng berprofesi sebagai dosen di bidang hukum, pihak tuan rumah membawa seorang advokat, Junya Haruna, dan seorang guru besar hukum konstitusi dari Nagoya University, Prof Shimada.

Dengan maksud mengobrol masalah yang ringan-ringan saja, saya bertanya kepada Junya Haruna, “Seberapa banyak kasus penyuapan terhadap hakim yang terjadi di Jepang?” Haruna terperanjat dan tampak heran atas pertanyaan itu. Dia mengatakan, sepanjang kariernya dia tidak pernah mendengar ada hakim dicurigai menerima suap di Jepang. “Terpikir pun tidak pernah.”

Di Jepang, kata Haruna, masyarakat percaya bahwa hakim tidak mau disuap. Di sana hakim sangat dihormati dan dimuliakan karena integritasnya. “Apakah Anda percaya pada semua putusan hakim yang juga mengalahkan Anda dalam menangani perkara?” tanya saya. Haruna menjawab, semua putusan hakim diterima dan dipercaya sebagai putusan yang dikeluarkan sesuai dengan kebenaran posisi hukum yang diyakini oleh hakim.

“Di sini tidak pernah ada kecurigaan hakim disuap. Seumpama pun kami kalah dan tidak sependapat dengan putusan hakim, paling jauh kami hanya mengira hakim kurang menguasai dalam satu kasus yang spesifik dan rumit atau kamilah yang kurang bisa meyakinkan hakim dalam berargumen dan mengajukan bukti di pengadilan. Tak pernah terpikir, hakim kok memutus karena disuap,” tambah Haruna.

Ketika Haruna mau bertanya balik tentang Indonesia, saya segera membelokkan pembicaraan. Saya bilang restoran tempat kita lunch sangat indah dikelilingi oleh kebun bunga yang memancing selera makan, termasuk bunga sakura dan pohon-pohon yang seperti dibonsai dengan begitu harmonis. Lalu saya mengajak berfoto.

Saya lihat Uceng segera berpatut-patut mengangkat kameranya yang canggih dan mengomando kami agar ambil posisi untuk foto bersama. Uceng membantu saya dengan gaya seperti pemotret profesional. Pembelokan pokok pembicaraan pun berhasil digiring oleh Uceng.  

Sengaja saya belokkan pembicaraan tentang “penyuapan hakim” itu karena saya takut ditanya balik dan harus bercerita jujur tentang hukum, hakim, pengacara, dan penegakan hukum di Indonesia. Tak mungkin bisa keluar dari mulut saya cerita tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Apalagi saat itu saya baru berusaha meyakinkan pimpinan ANC bahwa aturan hukum di Indonesia sangat kondusif untuk berinvestasi.

Saya memang berbicara, aturan hukum (legal substance) di Indonesia sudah cukup bagus untuk investasi. Tetapi saya tidak berani berbicara penegakan hukum oleh aparat (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).

Bisa malu kalau saya harus berbicara keadaan Indonesia tentang itu. Bayangkanlah, saya harus bercerita, hakim-hakim di Indonesia bukan hanya dicurigai tetapi benar-benar banyak yang digelandang ke penjara karena penyuapan.

Saya akan malu juga, misalnya, kalau harus bercerita bahwa di Indonesia banyak pengacara tersandung kasus karena menyuap atau berusaha menyuap hakim. Tak mungkin saya bercerita bahwa banyak pengacara di Indonesia yang tidak mengandalkan kompetensi dalam profesi hukum, tetapi hanya melatih dirinya untuk melobi aparat penegak hukum atau menggunakan posisi politik agar perkaranya dimenangkan dengan imbalan uang.

Belum lagi ada cerita-cerita bahwa calon pengacara yang magang (latihan mencari pengalaman) kepada pengacara senior justru tugas pertamanya adalah disuruh mengantar uang kepada hakim, jaksa, atau polisi dan yang bersangkutan harus memastikan penyerahan suap itu aman adanya.

Begitu juga takkan bisa keluar jawaban dari mulut saya kalau ditanya apakah di Indonesia ada jaksa atau polisi yang dihukum karena penyuapan dan rekayasa perkara? Akan malu saya sebagai anak bangsa jika menjawab itu dengan jujur tetapi akan berdosa saya sebagai muslim jika saya menjawab dengan berbohong. Kita memang mempunyai budaya sendiri sebagai bangsa, tetapi tidak salahkah kalau dalam soal berhukum kita meniru Jepang.

Awal 2014, selepas menjadi ketua MK, saya diundang menjadi tamu oleh Kementerian Luar Negeri Jepang di Tokyo. Saat saya tiba di sana, sedang gencar berita dan kampanye untuk pemilihan gubernur Tokyo.

Apa ada penggantian gubernur? Ya, tetapi bukan berdasar jadwal normal, melainkan karena Gubernur Inosi, pejabat yang definitif, mengundurkan diri.

Mengapa mengundurkan diri? Karena sang gubernur diberitakan meminjam uang tanpa jaminan ke sebuah rumah sakit besar dan oleh pers itu dicurigai untuk mendanai kampanye politiknya. Karena pinjaman itu tanpa jaminan, pers menduga Inosi nanti akan memberikan imbalan dalam bentuk, mungkin, korupsi politik

Jadi, sang gubernur mengundurkan diri karena malu saat dicurigai akan (baru dicurigai: akan) menggunakan jabatannya untuk melakukan korupsi politik. Eloknya lagi, sekitar seminggu setelah saya pulang dari Jepang awal 2014 itu seorang pegawai dari Kedutaan Besar Jepang di Jakarta datang kepada saya mengantarkan uang Rp120.000 (seratus dua puluh ribu rupiah). Untuk apa?

“Waktu check in untuk kembali ke Indonesia kemarin, di bandara, Bapak membayar airport tax sendiri. Bapak tamu pemerintah, jadi harus kami yang menanggung semua,” jawab pegawai dari Kedubes Jepang itu.

Wuih, saya sudah diundang ke Jepang dengan fasilitas mewah, soal uang seratus dua puluh ribu rupiah pun masih diantarkan kepada saya. “Duh, kok repot-repot ngantar uang Rp120.000 ke sini? Kalau naik taksi pulang-pergi dari kantor Anda ke sini sudah lebih dari Rp200.000,“ kata saya. Apa jawab petugas itu? “Itu peraturan di kantor kami. Kami harus mematuhi semua peraturan tanpa menambah atau mengurangi,” jawabnya.

Jepang adalah anggota Kelompok Negara G-7, salah satu dari tujuh negara termaju di dunia. Budaya hukumnya sangat indah, peraturan sesederhana apa pun ditaati. Inilah rasanya yang lebih pas menjadi budaya Pancasila.

“Berapa puluh tahun lagi kita bisa berhukum seperti itu, Prof?” kata Uceng saat kami keluar dari jamuan makan siang Selasa lalu itu. “Nanti diskusikan di Jakarta saja,” jawab saya.

by: Moh Mahfud MD
• Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN);
• Ketua MK (2008-2013);
(poe)

Posting Lebih Baru Titik temu

Posting Komentar

RecentArsip

Recent

  • Untuk Banser: Ada Puluhan Juta Orang Siap Disebut Mayat
  • By Asyari Usman Ketika Hizbut Tahir Indonesia (HTI) dibubarkan tahun lalu ... read more
  • UJIAN Kejama'ahan @salimafillah . Dalam ujian kejama'ahan Bani Israil; ada yang ... read more
  • RASANYA PERBINCANGAN kita tentang syuro tidak akan lengkap tanpa membahas ... read more
  • Menepi bukan Pergi
  • MENEPI, BUKAN PERGI Oleh ustad Satria Hadilubis Kekecewaan Abu Dzhar Al ... read more
  • Muka Dua
  • BAHAYA ORANG BERMUKA DUA Nabi SAW mengecam orang yang bermuka dua sebagai orang ... read more
  • Ganjik Genap Jakarta
  • *Ganjil Genap DKI JKT* Berdasarkan Pergub DKI Jkt no. 106/2018 ditetapkan: 1.) ... read more
  • Pakai sendal di kuburan
  • BENARKAH DIHARAMKAN MEMAKAI SENDAL DI KUBURAN ?? Oleh : Abdullah Al ... read more
  • Ambisi Pribadi
  • *MEWASPADAI AMBISI PRIBADI* Dalam sejarah pergerakan Islam, di samping ... read more
  • KONSEP NALAR & LOGIKA KEKUASAAN ARAH BARU INDONESIA. **** Kita tidak bisa ... read more
  • Sari Wangi
  • *PELAJARAN SANGAT BERHARGA DARI BANGKRUTNYA SARI WANGI* Oleh : Jamil Azzaini ... read more
    Recent Posts Widget

    Entri yang Diunggulkan

    Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

    Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

    Hot in week

    Tayangan Laman

    item