Membahas Syiah bukan berarti memecah belah
*MEMBAHAS SYIAH BUKAN BERARTI MEMECAH BELAH*
Link : http://annasindonesia.com/read/1655-membahas-syiah-bukan-berarti-memecah-belah
Dengan memahami akar masalah mengenai Syi’ah dan sejarahnya, maka akan dengan mudah memecahkan solusinya.
SERINGKALI ketika dibahas masalah Syi’ah, sebagian kalangan –baik dalam internal maupun eksternal umat Islam—seringkali merasa tabu. Di media di-image-kan sedemikian rupa bahwa membuka kembali lembaran Syi’ah dianggap sebagai petaka. Dalih yang digunakan adalah karena muslim mencakup Syi’ah dan Sunni. Lebih dari itu, membicarakan tema ini justru memecah belah umat Islam menjadi dua bagian.
Dr. Ragib As-Sirjani dalam buku “al-Syī’ah Nidhāl am Dhalāl” (2011: 129) menjawab ketakutan yang berlebih-lebihan ini dengan dua poin:
Pertama, Syi’ah hanya mewakili 11% dari eksistensi umat Islam (sekitar 150 juta di dunia). Maka kata beliau, sungguh zalim jika umat harus mengorbankan aturan-aturan baku demi jumlah yang tak seberapa.
Sementara itu, Syi’ah tak dituntut untuk menerapkan aturan umat Islam baik dalam masalah akidah, akhalak, sejarah maupun politik. Apa yang ditulis Dr. Ragib ada benarnya. Kalau dilihat dari sisi ajaran –terkecuali Syi’ah Zaidiyah yang banyak kemiripan dengan Sunni– banyak sekali ajaran-ajaran dan dasar-dasar yang bertolak belakang. Menjadi tidak adil ketika demi kelompok kecil dalam tubuh umat Islam –yang ajarannya banyak bertentangan—kemudian hal-hal pokok harus dikorbankan atas nama toleransi.
Selain itu, dengan memahami akar masalah mengenai Syi’ah dan sejarahnya, maka akan dengan mudah memecahkan solusinya. Ulama Ushul Fiqhi menyatakan:
الحُكْمُ عَلَى الشَّيْئِ فَرْعٌ مِنْ تَصَوُّرِهِ
“Menghukumi (menilai) sesuatu adalah bagian dari memahami sesuatu tersebut.”
Bagaimana mungkin permasalahan tentang Syi’ah bisa dicarikan solusinya, jika membahas akar permasalahannya dianggap tabu.
Sedangkan alasan kedua yang disampaikan Sejarawan Muslim asal Kairo ini, fitnah dan bahaya Syi’ah terus berlangsung dan senantiasa berkobar. Dampaknya hampir mengena ke beberapa Negara Islam, khususnya Iraq. “Lantas apa yang harus kita lakukan saat melihat darah umat Islam terkucur di sana?” tanya Dr. Raghib membahas kondisi rill di pangan.
Di sisi lain, tulis beliau, bahaya Syi’ah pada era modern tak bisa ditutup-tutupi. Setidaknya ada 10 bahaya yang disebut Dr Raghib secara ringkas.
Pertama, serangan Syi’ah terhadap para sahabat hingga sekarang tidak pernah berhenti. Serangan ini tentu tak mengada-ngada.
Dalam situs sejarah yang diasuh beliau www.islamstory.com misalnya, serangan-serangan mereka terhadap para sahabat terus digencarkan. Apa hal ini dibiarkan begitu saja?
Kedua, merebaknya syi’ahisasi di negara Islam yang disebarkan dengan sangat halus sehingga tanpa sadar masyarakat muslim sedang disyi’ahkan melalui program dan agenda mereka. Dan mereka tidak menyadarainya.
Ketiga, pembantaian terhadap ribuan Ahlus Sunnah di Iraq.
Keempat, ancaman penguasaan militer, politik dan ekonomi untuk melayani kepentingan Amerika dengan cara ini.
Kelima, ancaman langsung terhadap negara Islam kawasan selain Irak, seperti: Emirat, Bahrain dan Arab Saudi. “Apa kita harus diam saja melihat kejadian ini?” tanya beliau.
Keenam, kedekatan Syi’ah Iran dan Suriah yang berbaya. Suriah sendiri dikuasai oleh kelompok Syi’ah Nushairiyah yang begitu berbahaya bagi eksistensi Ahlus Sunnah. Padahal, mereka jumlahnya tak lebih dari 10 % .
Kasus perang saudara di Suriah yang terjadi hingga saat ini, adalah termasuk dalam bahayanya Syi’ah ketika berkuasa. Maka dari itu, hubungan yang disebut “Bulan Sabit Syi’ah” (Iran, Iraq, Suriah dan Lebanon) merupakan penghalang berbahaya dalam tubuh umat Isla.
Ketujuh, fitnah yang dilancarkan kepada kaum muslim Sunni melalui simbol-simbol Syi’ah terbesar khususnya pemimpin Hizbullah Lebanon, Hasan Nasrullah dan Presiden Iran Ahmaddinejad (pada waktu buku ini ditulis). Efeknya, keberhasilan mereka ini bisa menarik simpati kalangan Sunni yang pada gilirannya akan melupakan perbedaan-perbedaan fundamental.
Betapa hebat capaian dari Daulah Buwaihi dan Shafawiyah misalnya. Namun, ketika kuat, daulah Shafawiyah menikam Daulah Utsmaniyah (yang Sunni) dari belakang.
Kedelapan, banyak riwayat-riwayat Syi’ah yang menyusup dalam kitab-kitab sejarah Islam. Maka untuk membaca sejarah, perlu dibersihkan terlebih dahulu dari distorsi-distorsi yang dibuat Syi’ah. Bila tidak, maka kekayaan khazanah sejarah akan lenyap, bahkan hayat generasi terbaik seperti sahabat akan tercoreng bila distorsi dalam sejarah tidak dibersihkan.
Kesembilan, sebagian orang tidak memperhatikan kewajiban yang harus dilakukan terhadap Syi’ah. Menurut Syekh Raghib, apa umat dibiarkan begitu saja mengikuti pemahaman-pemahaman Syi’ah yang menyimpang, tanpa mengingatkan bahaya pemahamannya? Jadi umat Islam memerlukan edukasi dalam masalah ini agar tidak tersesat.
Kesepuluh, siapa yang bisa menyelamatkan muslim Sunni di Iran yang jumlahnya 20 juta berarti mewakili 20 % dari penduduk. Sementara, di pemerintahan tidak ada wakil yang bisa menyampaikan aspirasi mereka. Satu juta kaum muslim di Teheran, untuk mendirikan satu masjid di tengah kota saja selalu menuai kegagalan. Lebih-lebih, siapapun yang menuntut hak akan ditumpas.
Belum lagi kurikulum pendidikan yang diberikan kepada 20 juta muslim Sunni. Pasti sesuai dengan kurikulum yang dicanangkan Syi’ah, yang tentu saja bisa merusak pemahaman akidah orang Sunni.
Itulah beberapa alasan yang disampaikan oleh Dr. Raghib As-Sarjani mengenai perlunya dibahas masalah Syi’ah. Dengan demikian, membahas Syi’ah adalah bukan perkara tabu dan memecah belah umat. Malah, bila dikaji secara mendalam akar pemahaman dan sejarahnya, akan menyumbangkan solusi bagi perdamaian umat Islam.* /Mahmud Budi Setiawan
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
#SyiahbukanIslam
#JundullahANNAS
#GEMAANNAS
#GARDAANNAS
#ANNASFoundation
Jika artikel ini bermanfaat, silahkan share. Lets change the world together saudaraku !...
Posting Komentar