Membelakangi al-Ghazali





Pada 469 H,pemuka Syafiiyah, Abu Nasr Ibn Qusyairi datang ke sekolah Nizamiyah untuk menyampaikan kuliah. Syeikh Ibn Qusyairi dalam salah satu ceramahnya mencela habis-habisan pengikut mazhab Hanbali dan menuduhnya penganut "mujassimah" (menyerupakan sifat Allah dengan makhluk-Nya). Isi ceramah sang Syeikh rupanya disokong syeikh kalangan Syafiiyah: Abu Ishaq Syairazi dan Abu Sa'd Shufi.


Yang terjadi kemudian, pengikut mazhab Syafii terbakar amarah. Segera keluar dari ruang ceramah sang syeikh dan menyerbu majelis ilmu guru besar mazhab Hanbaliyah, Abu Ja'far Ibn Musa, yang tengah berlangsung di sebuah masjid. Para peserta majelis Ibn Musa sontak melindungi guru mereka dari amukan kalangan Syafiiyah.

Hari itu tercatat, sebagaimana kronik tersebut diungkap dalam disertasi Dr Majid Irsan Kaylani (dibukukan dengan judul "Hakadha Zahara Jailu Shalahuddin wa Hakadha 'Adat al-Quds"), ajang perkelahian hebat dan memakan banyak korban jiwa.

Selepas kejadian, rekonsiliasi pengikut dua mazhab dirajut. Guru-guru yang terlibat dilarang mengajar selama tiga tahun.

Baru satu tahun pascadamai, ternyata kerusuhan terjadi lagi. Kedua pengikut mazhab berkelahi hebat. Malah melibatkan masyarakat pendukung masing-masing. Dua pulih jiwa melayang ditambah korban luka-luka.

Pada 475 H, para pelajar mazhab Syafiiyah di sekolah Nizamiyah mengundang Abu Qasim al-Bakri al-Asy'ari. Syeikh ini membuat syarahan yang memanaskan telinga dan hati pengikut qaul Hanbaliyah.

"Demi Allah, Ahmad (Ibn Hanbal) tidak kafir, hanya pengikut-pengikutnya yang kafir!" Ucapnya lugas.

Dan terjadilah pembakaran sekolah dan koleksi perpustakaan oleh pihak yang disebut dalam ucapan tadi.

Apakah kelakuan pengikut Syafii pasti seperti itu semua? Tentu saja tidak. Apalah pengikut qaul Ahmad Ibn Hanbal sebagai korban belaka? Tidak juga, malah kadang ada kasus mereka memprovokasi pemikiran kalangan Syafiiyah.

Bahwa intensitas provokasi dan ujaran kebencian (juga kedengkian) lebih banyak dari kalangan Syafii ini logis karena mereka ketika itu menguasai pemerintahan dan secara jumlah juga yang "memegang" sekolah Nizamiyah.

Toh dalam kronik arogansi dan kepongahan itu tetap ada yang mampu melihat jernih. Tak peduli ia kawan dekat atau lawan; kasus dan peliknya persoalan umat akibat perpecahan disingkap dengan tenang, dingin, dan barangkali menepikan prasangka. Satu nama yang bisa disebut: Abu Hamid al-Ghazali.

Al-Ghazali berdiri di kaki Syafiiyah-Asy'ariyah. Toh dalam mengungkai perpecahan umat akibat ta'ashub mazhab ia bisa objektif, dalam arti ingin menegakkan kebenaran bebas kelompok. Dan kelak dari ikhtiar insihab dan bina madrasahnya, lahir pemikiran brilian mengatasi hal ini.

Yang jelas, al-Ghazali tidak menutup madrasahnya dihadiri dan diikuti para pengikut mazhab lainnya. Tak ada pemasangan papan informasi bahwa muslimin semazhabnya saja yang boleh ikut. Tiada pula hardikan ketika ada kalangan beda mazhab mendirikan madrasah. Apatah lagi sampai menyuruh anak didik melarang mazhab lain mendirikan madrasah kelompok, yang sebenarnya juga buat kemajuan umat.

Maka, sungguh sedih dada patik ketika ada para pendaku pengamal kitab dan tariqah sufi ala Imam al-Ghazali berpolah sebaliknya. Tak patut disebut di sini siapa mereka. Begitu benderang siapa dimaksud.

Menariknya, seperti diurai dalam disertasi al-Kaylani, keberanian dan upaya al-Ghazali kelak dalam beberapa generasi melahirkan sosok Shalahuddin al-Ayyubi, penakluk al-Quds. Di sini, para pembelakang al-Ghazali adakah punya impian membebaskan (lagi) al-Aqsha, meski hanya ikhtiar menghadirkan anak-anak yang mengukir kepahlawanan esok hari? []

Foto: dokumen pengurus Yayasan Nurul Fikri Sidoarjo

Related

Nurul Fikri 5289186392748369545

Posting Komentar

Recent

Recent Posts Widget

Arsip

Entri yang Diunggulkan

Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

Hot in week

Tayangan Laman

item