https://bariqunnury.blogspot.com/2017/03/lautan-ilmu-bernama-bin-baz-belajar.html
LAUTAN ILMU BERNAMA BIN BAZ
Belajar dari Kemuliaan dan Kelapangan Dada Sang Imam
DR. Yusuf Al-Qaradhawy
Hari ini, ummat Islam kembali mengucapkan selamat jalan kepada salah satu tokoh cemerlangnya, salah satu bintangnya yang bercahaya di langit ilmu, Sang ‘allamah Jazirah Arabia, Syekh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, yang merupakan salah satu gunung ilmu, lautan fiqih, imam pembawa petunjuk, lisan penyampai Tauhid, tiang penopang agama dan pilar sandaran ummat. Betapa panjangnya kisah pencerahan ilmunya untuk kaum muslimin di kawasan Jazirah Arabia dan di seluruh belahan dunia, baik melalui perjumpaan langsung dengannya atau sekadar percakapan lisan; melalui buku, surat, telpon, radio, tulisan di surat kabar, dan juga rekaman pita kaset.
Syekh ini telah melewati perjalanan usianya yang mubarak itu melalui jalan ilmu dan agama. Ia mengajar, membimbing, memberi jawaban dan fatwa, menyampaikan nasehat, menyerukan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dengan penuh hikmah yang mendalam, kelembutan dan landasan yang jelas. Sebab bukankah Allah memang mencintai kelembutan dalam segala perkara? Dan tidaklah kelembutan itu merasuk dalam sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya, dan sebaliknya - saat ia tercerabut dari sesuatu itu maka ia akan memperburuknya.
Obsesi terbesar Sang Syekh ini sepenuhnya tertumpah pada ajakan menuju kemurnian Tauhid, pembersihan akidah dari segala kesyirikan, dan mengikuti jejak kaum As-Salaf terutama- dalam menyifati Allah sebagaimana Ia sendiri telah menyifati Diri-Nya, baik di dalam Al-Qur’an ataupun melalui lisan Rasul-Nya, tanpa melakukan tahrif (penyelewengan lafazh dan makna), ta’thil (menafikan), takyif (menguraikan bentuk) dan tamtsil (menyerupakan) terhadap nama dan sifat Allah itu. Hampir tidak ada satu kesempatan pun, melainkan beliau selalu menegaskan makna-makna ini, tanpa keraguan ataupun berbasa-basi dengan siapapun.
Dalam hal fikih, beliau adalah seorang hanbaly (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Tapi beliau bukanlah seorang penaklid yang menerima semua pendapat madzhabnya meski memiliki argumentasi yang lemah. Beliau Rahimahullah adalah sosok yang berpegang teguh pada dalil, bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan rela meninggalkan pendapat madzhabnya jika kebenaran ada pada pendapat orang lain. Dan untuk itu semua, beliau tak pernah takut menghadapi celaan para pencela. Ia terlalu tinggi untuk dicela oleh siapapun.
Itulah sebabnya, kita melihat dalam masalah talak, beliau mengeluarkan fatwa yang sama dengan pandangan-pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun para ulama Kerajaan (Saudi Arabia) tidak sejalan dengan itu dan lebih memilih pandangan yang dipegangi dalam madzhab (hanbaly).
Beliau juga memimpin Direktorat Fatwa, Riset dan Da’wah, mengepalai Hai’ah Kibar al-Ulama (Dewan Ulama Besar), memimpin Dewan Pendiri Rabithah al-‘Alam al-Islami, dan selama beberapa tahun menjabat sebagai rector Universitas Islam Madinah. Dengan semua posisi itu, beliau menjadi orang yang dekat dengan penguasa di Saudi Arabia. Kedudukannya sangat terhormat dalam pandangan mereka, dan Sang Raja selalu menyediakan tempat di sebelah kanannya untuk beliau.
Tapi semua kedudukan itu tidak membuat beliau ‘terkurung’ dalam menara gading atau di istana yang terisolir. Rumahnya selalu saja terbuka untuk siapa saja. Kantornya pun demikian. Dan lebih dari itu, hatinya pun selalu terbuka untuk siapa saja yang memiliki hajat –materil ataupun ilmiah. Ia tidak pernah menahan diri untuk membantu siapapun.
Bukan ilmu yang dalam yang membuat Bin Baz menjadi sosok yang istimewa. Tapi yang membuatnya istimewa adalah kekuatan imannya, ghirahnya pada Dien, kepeduliannya pada ummat, kesedihannya atas musibah kaum muslimin, keindahan perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain, kasihnya pada yang kecil, penghormatannya pada yang tua, dan penghargaannya terhadap sesama ulama meski mereka berbeda pendapat dengannya.
Sekitar 15 tahun yang lalu, Syekh Rahimahullah mengirimkan sepucuk surat kepada saya. Dalam surat itu, beliau memberitahukan bahwa Kementrian Informasi (Saudi) mengajukan padanya salah satu buku saya Al-Halal wa al-Haram fil Islam (Halal dan Haram dalam Islam), dan menanyakan (pada beliau) apakah buku ini akan diizinkan atau tidak untuk disebarkan dalam Kerajaan Saudi. Beliau sendiri berharap agar para pembaca di Saudi jangan sampai kehilangan kesempatan untuk membaca buku-buku saya, yang –menurut Syekh-: “Memiliki arti penting bagi dunia Islam.” Dalam surat itu, beliau juga menyampaikan bahwa para ulama di Saudi mempunyai beberapa catatan terhadap buku itu yang tersimpul dalam 8 poin. Beliau berharap agar saya dapat meninjau ulang catatan-catatan tersebut, sebab ijtihad seorang insan bisa saja berubah dari waktu ke waktu.
Hari itu juga, saya membalas surat beliau dengan sebuah surat yang lembut. Di dalamnya saya mengatakan:
“Sesungguhnya ulama ummat ini yang paling saya cintai dan harapkan untuk tidak menyelisihi pendapatnya adalah Syekh Bin Baz. Akan tetapi Sunnatullah telah menetapkan bahwa para ulama tidak akan bersepakat dengan satu pendapat dalam setiap masalah. Para sahabat pun berbeda pendapat antara satu dan yang lain. Para imam –sesudah mereka- pun berbeda pendapat satu sama lain. Namun itu semua tidak menyebabkan mudharat bagi mereka. Pandangan mereka berbeda, namun hati mereka tidak berbeda.
Kedelapan masalah itupun adalah masalah yang diperselisihkan sejak dahulu. Seperti masalah ‘wajah kaum wanita’: apakah ia aurat atau bukan aurat? Dan manusia akan terus berbeda pendapat hingga suatu masa yang dikehendaki oleh Allah. Satu sama lain akan saling membantah, namun itu sama sekali bukanlah masalah. Sebab tidak ada pengingkaran dalam masalah khilafiyah. Dan ini adalah salah satu bagian dari kelapangan dan kesesuaian Dien ini dengan setiap waktu dan tempat.
Dan ada beberapa masalah yang mungkin disalahpahami dari saya. Ada yang mengatakan bahwa saya membolehkan rokok, atau ragu dalam menyimpulkan hukum tentangnya. Padahal pandangan saya dikenal sangat keras dalam masalah ini. Siapapun yang membaca buku saya akan mengetahui hal itu dengan sangat jelas. Begitu pula masalah bolehnya mengasihi orang kafir. Saya samasekali tidak mengatakan dibolehkannya mengasihi semua orang kafir, termasuk mereka yang memerangi Allah, Rasul-Nya dan kaum mu’minin. Saya hanya membolehkan mengasihi mereka yang tunduk dan hidup damai dengan kaum mu’minin. Itulah sebabnya, Syariat Islam memperbolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, disertai keharusan bahwa antara keduanya dapat tercipta sakinah, mawaddah dan rahmat…”
Di akhir surat itu, saya menuliskan:
“Saya berharap perbedaan pendapat saya dengan para ulama ini dalam beberapa masalah ini tidak menjadi sebab dilarangnya buku saya untuk masuk ke Saudi.”
Dan Syekh Rahimahullah ternyata memenuhi harapan saya, dan memberi izin masuknya buku saya ke pasar Saudi.
Ikatan cinta antara saya dan Syekh Bin Baz terus berlanjut dalam berbagai kesempatan dalam muktamar-muktamar Rabithah al-Alam al-Islami, dalam pertemuan Dewan Tertinggi Universitas Islam Madinah saat beliau menjadi wakil rektor dan yang menjadi rektor adalah Raja Fahd bin Abdil Aziz –dimana saya menjadi salah satu anggotanya-, dalam pertemuan Konfrensi Fikih Rabithah, dan dalam berbagai muktamar internasional lainnya yang diselenggarakan di Saudi Arabia.
Syekh sendiri tidak pernah mau keluar melakukan perjalan meninggalkan Saudi Arabia. Sudah sering sekali beliau diundang oleh berbagai negara dan pihak, namun beliau selalu meminta maaf untuk itu. Dan ketika kami mengadakan Muktamar Internasional Sunnah dan Sirah di Qathar di awal abad 15 H, kami pun mengirimkan undangan dan mendesak beliau untuk hadir. Tapi beliau mengatakan bahwa beliau sangat ingin memenuhi undangan itu, tapi itu akan membuka banyak pintu yang tidak sanggup lagi untuk ia tutup (maksudnya: berbagai pihak yang selama ini mengundangnya pasti akan meminta ‘perlakuan yang sama’ dari beliau –pent). Beliau pun tetap bersikukuh dengan sikapnya, dan meminta maaf.
Saya belum pernah melihat sosok yang begitu kasih dan mengayomi rekan-rekannya para ulama seperti Syekh Bin Baz. Begitu pula dalam hal penghormatan dan penghargaannya kepada ‘anak-anaknya’, para penuntut ilmu syar’i. Demikian pula dalam kelembutan dan cintanya pada orang-orang meminta tolong pada beliau, entah itu yang berasal dari negrinya sendiri ataupun negri lain. Beliau termasuk sosok yang terbaik akhlaknya.
Saya melihat beliau dalam Konfrensi Fikih, beliau duduk menyimak dan memperhatikan semua pendapat dan pandangan; yang ia setujui ataupun yang tidak ia setujui. Ia menampung semuanya dengan penuh perhatian, memberikan komentar dengan penuh adab, memberikan bantahan dengan penuh kelapangan dan kelembutan, tanpa sedikitpun meninggikan diri atau bersikap sombong pada siapapun. Beliau benar-benar mengamalkan adab kenabian dan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an.
Saya tidak pernah tahu ada seorang pun kaum muslimin yang membenci beliau, kecuali ada sesuatu pada agamanya, meragukan akidahnya, atau tidak memahami dengan baik. Syekh adalah sosok yang jujur, yang mengetahui lalu mengamalkan ilmunya, yang mengamalkan lalu mengikhlaskannya, yang mengikhlaskan amalnya dan teguh di atasnya. Itulah yang ketahui tentang beliau, dan Allah jualah yang Mahatahu tentang segalanya.
Tapi itu bukan berarti bahwa Syekh ma’shum dari kesalahan. Beliau sendiri tidak pernah mengatakan hal itu. Begitu pula orang-orang yang mencintai beliau tidak ada satupun yang menyatakan itu. Akan tetapi kesalahan itu larut dan tenggelam dalam lautan kebaikan beliau. Syekh sendiri akan mendapat satu pahala dari kesalahan itu, insya Allah, sebab dilakukan setelah usaha yang sungguh-sungguh dan hati-hati.
Saya sendiri berbeda pendapat dengan beliau dalam beberapa masalah; suatu hal yang terjadi karena perbedaan sudut pandang yang kami gunakan, setakat keterpengaruhan waktu dan tempat pada masing-masing kami. Tapi perbedaan ini sama sekali tidak mengubah pandangan saya terhadap beliau! Atau mengubah pandangan beliau terhadap saya. Demi Allah, saya selalu mencintai, mengormati dan mendoakan beliau. Dan begitu pula beliau memperlakukan saya, penuh cinta dan kasih setiap kali kami bertemu. Dan setiap kali beliau bertemu dengan warga Qathar, beliau selalu menitipkan salam untuk saya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan tempat kembali beliau di Akhirat.
Berbicara tentang Syekh Bin Baz sungguh menyisakan duka yang sangat dalam. Dan juga masih terlalu panjang dan luas, kami tidak mampu untuk memenuhi apa yang seharusnya beliau dapatkan dalam kesempatan yang singkat ini. Apa yang saya tuliskan ini hanyalah kalimat-kalimat singkat yang saya tulis dalam ketergesaan, untuk mengucapkan selamat jalan kepada Sang Syekh.
Kematian seorang ulama adalah musibah yang sangat besar. Dengan kematiannya, ummat akan kehilangan penunjuk jalan yang membimbingnya, kehilangan cahaya yang akan menerangi jalannya, Ali Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Jika seorang alim meninggal, maka padamlah sebuah cahaya dalam Islam yang tidak dapat digantikan oleh siapapun yang datang sesudahnya.”
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Tidaklah Allah mencabut nyawa seorang alim, melainkan itu berarti ada sebuah celah dalam Islam yang tidak lagi dapat ditutupi.” Hal ini menguatkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dengan sekali cabut dari dada-dada manusia, akan tetapi Ia mencabutnya dengan mencabut para ulama. Hingga akhirnya tidak tersisa lagi seorang alim, dan manusia pun mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka lalu ditanya, lalu memberi fatwa tanpa ilmu. Maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq ‘alaih).
(Semoga mata hati kita untuk meneladani kemuliaan akhlak para ulama dalam menyikapi segala bentuk perbedaan. Saya sendiri tidak sependapat dengan DR. Yusuf al-Qaradhawy dalam beberapa masalah, dimana menurut saya beliau menyelisihi jejak kaum al-Salaf...)
Alih bahasa: Abul Miqdad al-Madany Muhammad Ihsan Zainuddin
Belajar dari Kemuliaan dan Kelapangan Dada Sang Imam
DR. Yusuf Al-Qaradhawy
Hari ini, ummat Islam kembali mengucapkan selamat jalan kepada salah satu tokoh cemerlangnya, salah satu bintangnya yang bercahaya di langit ilmu, Sang ‘allamah Jazirah Arabia, Syekh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, yang merupakan salah satu gunung ilmu, lautan fiqih, imam pembawa petunjuk, lisan penyampai Tauhid, tiang penopang agama dan pilar sandaran ummat. Betapa panjangnya kisah pencerahan ilmunya untuk kaum muslimin di kawasan Jazirah Arabia dan di seluruh belahan dunia, baik melalui perjumpaan langsung dengannya atau sekadar percakapan lisan; melalui buku, surat, telpon, radio, tulisan di surat kabar, dan juga rekaman pita kaset.
Syekh ini telah melewati perjalanan usianya yang mubarak itu melalui jalan ilmu dan agama. Ia mengajar, membimbing, memberi jawaban dan fatwa, menyampaikan nasehat, menyerukan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dengan penuh hikmah yang mendalam, kelembutan dan landasan yang jelas. Sebab bukankah Allah memang mencintai kelembutan dalam segala perkara? Dan tidaklah kelembutan itu merasuk dalam sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya, dan sebaliknya - saat ia tercerabut dari sesuatu itu maka ia akan memperburuknya.
Obsesi terbesar Sang Syekh ini sepenuhnya tertumpah pada ajakan menuju kemurnian Tauhid, pembersihan akidah dari segala kesyirikan, dan mengikuti jejak kaum As-Salaf terutama- dalam menyifati Allah sebagaimana Ia sendiri telah menyifati Diri-Nya, baik di dalam Al-Qur’an ataupun melalui lisan Rasul-Nya, tanpa melakukan tahrif (penyelewengan lafazh dan makna), ta’thil (menafikan), takyif (menguraikan bentuk) dan tamtsil (menyerupakan) terhadap nama dan sifat Allah itu. Hampir tidak ada satu kesempatan pun, melainkan beliau selalu menegaskan makna-makna ini, tanpa keraguan ataupun berbasa-basi dengan siapapun.
Dalam hal fikih, beliau adalah seorang hanbaly (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Tapi beliau bukanlah seorang penaklid yang menerima semua pendapat madzhabnya meski memiliki argumentasi yang lemah. Beliau Rahimahullah adalah sosok yang berpegang teguh pada dalil, bersandar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan rela meninggalkan pendapat madzhabnya jika kebenaran ada pada pendapat orang lain. Dan untuk itu semua, beliau tak pernah takut menghadapi celaan para pencela. Ia terlalu tinggi untuk dicela oleh siapapun.
Itulah sebabnya, kita melihat dalam masalah talak, beliau mengeluarkan fatwa yang sama dengan pandangan-pandangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, meskipun para ulama Kerajaan (Saudi Arabia) tidak sejalan dengan itu dan lebih memilih pandangan yang dipegangi dalam madzhab (hanbaly).
Beliau juga memimpin Direktorat Fatwa, Riset dan Da’wah, mengepalai Hai’ah Kibar al-Ulama (Dewan Ulama Besar), memimpin Dewan Pendiri Rabithah al-‘Alam al-Islami, dan selama beberapa tahun menjabat sebagai rector Universitas Islam Madinah. Dengan semua posisi itu, beliau menjadi orang yang dekat dengan penguasa di Saudi Arabia. Kedudukannya sangat terhormat dalam pandangan mereka, dan Sang Raja selalu menyediakan tempat di sebelah kanannya untuk beliau.
Tapi semua kedudukan itu tidak membuat beliau ‘terkurung’ dalam menara gading atau di istana yang terisolir. Rumahnya selalu saja terbuka untuk siapa saja. Kantornya pun demikian. Dan lebih dari itu, hatinya pun selalu terbuka untuk siapa saja yang memiliki hajat –materil ataupun ilmiah. Ia tidak pernah menahan diri untuk membantu siapapun.
Bukan ilmu yang dalam yang membuat Bin Baz menjadi sosok yang istimewa. Tapi yang membuatnya istimewa adalah kekuatan imannya, ghirahnya pada Dien, kepeduliannya pada ummat, kesedihannya atas musibah kaum muslimin, keindahan perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain, kasihnya pada yang kecil, penghormatannya pada yang tua, dan penghargaannya terhadap sesama ulama meski mereka berbeda pendapat dengannya.
Sekitar 15 tahun yang lalu, Syekh Rahimahullah mengirimkan sepucuk surat kepada saya. Dalam surat itu, beliau memberitahukan bahwa Kementrian Informasi (Saudi) mengajukan padanya salah satu buku saya Al-Halal wa al-Haram fil Islam (Halal dan Haram dalam Islam), dan menanyakan (pada beliau) apakah buku ini akan diizinkan atau tidak untuk disebarkan dalam Kerajaan Saudi. Beliau sendiri berharap agar para pembaca di Saudi jangan sampai kehilangan kesempatan untuk membaca buku-buku saya, yang –menurut Syekh-: “Memiliki arti penting bagi dunia Islam.” Dalam surat itu, beliau juga menyampaikan bahwa para ulama di Saudi mempunyai beberapa catatan terhadap buku itu yang tersimpul dalam 8 poin. Beliau berharap agar saya dapat meninjau ulang catatan-catatan tersebut, sebab ijtihad seorang insan bisa saja berubah dari waktu ke waktu.
Hari itu juga, saya membalas surat beliau dengan sebuah surat yang lembut. Di dalamnya saya mengatakan:
“Sesungguhnya ulama ummat ini yang paling saya cintai dan harapkan untuk tidak menyelisihi pendapatnya adalah Syekh Bin Baz. Akan tetapi Sunnatullah telah menetapkan bahwa para ulama tidak akan bersepakat dengan satu pendapat dalam setiap masalah. Para sahabat pun berbeda pendapat antara satu dan yang lain. Para imam –sesudah mereka- pun berbeda pendapat satu sama lain. Namun itu semua tidak menyebabkan mudharat bagi mereka. Pandangan mereka berbeda, namun hati mereka tidak berbeda.
Kedelapan masalah itupun adalah masalah yang diperselisihkan sejak dahulu. Seperti masalah ‘wajah kaum wanita’: apakah ia aurat atau bukan aurat? Dan manusia akan terus berbeda pendapat hingga suatu masa yang dikehendaki oleh Allah. Satu sama lain akan saling membantah, namun itu sama sekali bukanlah masalah. Sebab tidak ada pengingkaran dalam masalah khilafiyah. Dan ini adalah salah satu bagian dari kelapangan dan kesesuaian Dien ini dengan setiap waktu dan tempat.
Dan ada beberapa masalah yang mungkin disalahpahami dari saya. Ada yang mengatakan bahwa saya membolehkan rokok, atau ragu dalam menyimpulkan hukum tentangnya. Padahal pandangan saya dikenal sangat keras dalam masalah ini. Siapapun yang membaca buku saya akan mengetahui hal itu dengan sangat jelas. Begitu pula masalah bolehnya mengasihi orang kafir. Saya samasekali tidak mengatakan dibolehkannya mengasihi semua orang kafir, termasuk mereka yang memerangi Allah, Rasul-Nya dan kaum mu’minin. Saya hanya membolehkan mengasihi mereka yang tunduk dan hidup damai dengan kaum mu’minin. Itulah sebabnya, Syariat Islam memperbolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab, disertai keharusan bahwa antara keduanya dapat tercipta sakinah, mawaddah dan rahmat…”
Di akhir surat itu, saya menuliskan:
“Saya berharap perbedaan pendapat saya dengan para ulama ini dalam beberapa masalah ini tidak menjadi sebab dilarangnya buku saya untuk masuk ke Saudi.”
Dan Syekh Rahimahullah ternyata memenuhi harapan saya, dan memberi izin masuknya buku saya ke pasar Saudi.
Ikatan cinta antara saya dan Syekh Bin Baz terus berlanjut dalam berbagai kesempatan dalam muktamar-muktamar Rabithah al-Alam al-Islami, dalam pertemuan Dewan Tertinggi Universitas Islam Madinah saat beliau menjadi wakil rektor dan yang menjadi rektor adalah Raja Fahd bin Abdil Aziz –dimana saya menjadi salah satu anggotanya-, dalam pertemuan Konfrensi Fikih Rabithah, dan dalam berbagai muktamar internasional lainnya yang diselenggarakan di Saudi Arabia.
Syekh sendiri tidak pernah mau keluar melakukan perjalan meninggalkan Saudi Arabia. Sudah sering sekali beliau diundang oleh berbagai negara dan pihak, namun beliau selalu meminta maaf untuk itu. Dan ketika kami mengadakan Muktamar Internasional Sunnah dan Sirah di Qathar di awal abad 15 H, kami pun mengirimkan undangan dan mendesak beliau untuk hadir. Tapi beliau mengatakan bahwa beliau sangat ingin memenuhi undangan itu, tapi itu akan membuka banyak pintu yang tidak sanggup lagi untuk ia tutup (maksudnya: berbagai pihak yang selama ini mengundangnya pasti akan meminta ‘perlakuan yang sama’ dari beliau –pent). Beliau pun tetap bersikukuh dengan sikapnya, dan meminta maaf.
Saya belum pernah melihat sosok yang begitu kasih dan mengayomi rekan-rekannya para ulama seperti Syekh Bin Baz. Begitu pula dalam hal penghormatan dan penghargaannya kepada ‘anak-anaknya’, para penuntut ilmu syar’i. Demikian pula dalam kelembutan dan cintanya pada orang-orang meminta tolong pada beliau, entah itu yang berasal dari negrinya sendiri ataupun negri lain. Beliau termasuk sosok yang terbaik akhlaknya.
Saya melihat beliau dalam Konfrensi Fikih, beliau duduk menyimak dan memperhatikan semua pendapat dan pandangan; yang ia setujui ataupun yang tidak ia setujui. Ia menampung semuanya dengan penuh perhatian, memberikan komentar dengan penuh adab, memberikan bantahan dengan penuh kelapangan dan kelembutan, tanpa sedikitpun meninggikan diri atau bersikap sombong pada siapapun. Beliau benar-benar mengamalkan adab kenabian dan berakhlak dengan akhlak Al-Qur’an.
Saya tidak pernah tahu ada seorang pun kaum muslimin yang membenci beliau, kecuali ada sesuatu pada agamanya, meragukan akidahnya, atau tidak memahami dengan baik. Syekh adalah sosok yang jujur, yang mengetahui lalu mengamalkan ilmunya, yang mengamalkan lalu mengikhlaskannya, yang mengikhlaskan amalnya dan teguh di atasnya. Itulah yang ketahui tentang beliau, dan Allah jualah yang Mahatahu tentang segalanya.
Tapi itu bukan berarti bahwa Syekh ma’shum dari kesalahan. Beliau sendiri tidak pernah mengatakan hal itu. Begitu pula orang-orang yang mencintai beliau tidak ada satupun yang menyatakan itu. Akan tetapi kesalahan itu larut dan tenggelam dalam lautan kebaikan beliau. Syekh sendiri akan mendapat satu pahala dari kesalahan itu, insya Allah, sebab dilakukan setelah usaha yang sungguh-sungguh dan hati-hati.
Saya sendiri berbeda pendapat dengan beliau dalam beberapa masalah; suatu hal yang terjadi karena perbedaan sudut pandang yang kami gunakan, setakat keterpengaruhan waktu dan tempat pada masing-masing kami. Tapi perbedaan ini sama sekali tidak mengubah pandangan saya terhadap beliau! Atau mengubah pandangan beliau terhadap saya. Demi Allah, saya selalu mencintai, mengormati dan mendoakan beliau. Dan begitu pula beliau memperlakukan saya, penuh cinta dan kasih setiap kali kami bertemu. Dan setiap kali beliau bertemu dengan warga Qathar, beliau selalu menitipkan salam untuk saya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan tempat kembali beliau di Akhirat.
Berbicara tentang Syekh Bin Baz sungguh menyisakan duka yang sangat dalam. Dan juga masih terlalu panjang dan luas, kami tidak mampu untuk memenuhi apa yang seharusnya beliau dapatkan dalam kesempatan yang singkat ini. Apa yang saya tuliskan ini hanyalah kalimat-kalimat singkat yang saya tulis dalam ketergesaan, untuk mengucapkan selamat jalan kepada Sang Syekh.
Kematian seorang ulama adalah musibah yang sangat besar. Dengan kematiannya, ummat akan kehilangan penunjuk jalan yang membimbingnya, kehilangan cahaya yang akan menerangi jalannya, Ali Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Jika seorang alim meninggal, maka padamlah sebuah cahaya dalam Islam yang tidak dapat digantikan oleh siapapun yang datang sesudahnya.”
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Tidaklah Allah mencabut nyawa seorang alim, melainkan itu berarti ada sebuah celah dalam Islam yang tidak lagi dapat ditutupi.” Hal ini menguatkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr:
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu itu dengan sekali cabut dari dada-dada manusia, akan tetapi Ia mencabutnya dengan mencabut para ulama. Hingga akhirnya tidak tersisa lagi seorang alim, dan manusia pun mengangkat pemimpin yang bodoh. Mereka lalu ditanya, lalu memberi fatwa tanpa ilmu. Maka mereka pun sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq ‘alaih).
(Semoga mata hati kita untuk meneladani kemuliaan akhlak para ulama dalam menyikapi segala bentuk perbedaan. Saya sendiri tidak sependapat dengan DR. Yusuf al-Qaradhawy dalam beberapa masalah, dimana menurut saya beliau menyelisihi jejak kaum al-Salaf...)
Alih bahasa: Abul Miqdad al-Madany Muhammad Ihsan Zainuddin
Posting Komentar