Mengkhawatirkan Seruan Pak Jokowi




Indah sekali ajakan pak Jokowi kala itu. Segera setelah KPU menetapkan ia bersama pasangannya pak Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih tahun 2014-2019, ia menyampaikan pidato politik. Terselip dalam sambutan kemenangan itu kalimat manis: "Lupakan nomor satu, nomor dua. Kembali pada Indonesia satu, Indonesia raya. Salam tiga jari, Persatuan Indonesia," ujarnya di atas kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara, pada 22 Juli 2014.

Pak Jokowi tentu memiliki keperluan atas bersatunya rakyat Indonesia. Karena itu adalah modal yang kuat untuk membangun bangsa. Dengan stabilitas sosial, maka roda ekonomi akan bisa berputar kencang. Sehingga angka 7% pertumbuhan ekonomi yang ia janjikan diharapkan bisa tercapai.

Tapi itu dulu. Saat ia baru akan menjalankan pemerintahannya. Jelang pemilihan presiden tahun 2019, di mana ia berkeinginan agar terpilih kembali di periode keduanya, ia menyerukan sesuatu yang kontroversial kepada pendukungnya.

Berbicara di depan sekelompok masyarakat yang menamakan "Relawan jokowi", ia meminta kepada mereka untuk siap berkelahi.

"Jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran-ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah. Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain. Tapi kalau diajak berantem juga berani," katanya di Sentul International Convention Center, Bogor, Sabtu 4 Agustus 2018 kemarin.

Tepuk tangan riuh mengamini kalimat itu. "Jangan ngajak. Kalau diajak?" tanya Jokowi lagi. "Berantem!" jawab relawan.

Sudah bagus kalimat awalnya. Jangan membangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan fitnah, jangan mencela, jangan menjelekkan. Tetapi kenapa terselip "pesan sponsor" untuk siap berkelahi melawan anak bangsa sendiri?

Saya tak percaya ia telah mengadu domba rakyat. Perlu klarifikasi dari beliau. Karena sebagai pemimpin negara, tentu ia tidak akan mengajarkan membalas kekerasan dengan kekerasan. Sementara aparat keamanan selalu sigap.

Yang saya khawatirkan adalah kalau pernyataan itu disalah artikan. Tentu ini menjustifikasi perilaku-perilaku main hakim sendiri, bahkan persekusi.

Ekspresi "ngajak berantem" adalah hal yang bisa ditangkap berbeda oleh tiap orang. Bagi yang bersumbu pendek, lirikan mata pun bisa diartikan sebagai ajakan berkelahi. Lantas menjadi benarkah bila seseorang menafsirkan sendiri ajakan baku hantam lalu meresponnya karena salah menangkap maksud Presiden?

Persekusi dan kerusuhan akan menjadi benar untuk menyikapi, misalnya, aksi #2019GantiPresiden karena ada yang menganggap gerakan itu sebagai "ngajak berantem". Atau membubarkan sebuah pengajian bisa dianggap wajar karena perbedaan pandangan dianggap sebagai "cari ribut".

Maka tak ada lagi salam tiga jari. Yang ada adalah salam kepalan jari. Seruan pak Jokowi yang disalah artikan bisa me-revolusi mental masyarakat menjadi mental "senggol bacok". Merespon provokasi dengan perkelahian hanya akan membuat bangsa ini menjadi serpihan abu dan arang.

Saya berharap sekali pak Jokowi bisa melengkapi pernyataannya dengan ajakan untuk menyerahkan setiap bentuk provokasi kepada aparat, serta ajakan untuk berkepala dingin dan tak mudah terpancing amarah. Agar pernyataannya tidak disalah artikan. Semoga pendukung maupun penentangnya masih ingat seruan salam tiga jari. Di tensi yang meninggi jelang pemilu dan pilpres, sangat ditunggu pernyataan-pernyataan menyejukkan dari beliau selaku pemimpin bangsa yang kita semua hormati.

Zico Alviandri

Related

#pilpres2019 #gantipresiden2019 7404448851377575026

Posting Komentar

Recent

Recent Posts Widget

Arsip

Entri yang Diunggulkan

Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

Hot in week

Tayangan Laman

item