(Buat Yang Masih Mikir Reklamasi Ada Manfaatnya)
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/02/buat-yang-masih-mikir-reklamasi-ada.html
*SILAHKAN BANTAH!
(Buat Yang Masih Mikir Reklamasi Ada Manfaatnya)
by: Tere Liye
1. Nilai jual hasil pulau buatan di pantai utara Jakarta itu paling sial adalah 20 juta/meter. Ini angka sekarang, 10 tahun lagi, saat pulau2 itu siap, boleh jadi sudah 40 juta/meter. Ada total 50.000 hektare, dari puluhan pulau buatan. Itu total 50.000 x 10.000 meter persegi = alias 500 juta meter persegi. Belum lagi besok jika bangunannya bertingkat, maka itu bisa lebih banyak lagi. Berapa nilai reklamasi ini? Kita hitung saja paling simpel, 20 juta x 500 juta meter persegi = 10.000 trilyun rupiah.
2. Kenapa developer ngotot banget reklamasi? Dul, karena biayanya murah. Untuk mereklamasi pantai jadi pulau itu hanya butuh 2-3 juta/meter. Bandingin beli tanah di Jakarta, bisa 10-15 juta/meter. Developer itu pintar banget, ngapai beli tanah? Mending bikin pulau saja.
3. Untuk 500 juta meter persegi reklamasi, berapa tanah yang dibutuhkan? Milyaran kubik, coy. Dari mana itu tanah2 didatangkan? Gunung2 dipotong, pasir2 dikeruk, diambil dari mana saja, yang penting ada itu tanah. Dulu, kita ngamuk minta ampun saat Singapore mereklamasi pantainya, ambil pasir dari Riau. Sekarang? Kenapa kita tidak ngamuk. Singapore sih masuk akal dia maksa reklamasi, lah tanahnya sedikit. Jakarta? Masih segede gaban lahan yang bisa dikembangkan, naik pesawat sana, lihat, luas banget area pulau Jawa ini. Bukan kayak Singapore.
4. Dengan harga tanah yang bisa 40 juta/meter, siapa yang akan membeli pulau buatan ini? Apakah nelayan yang kismin? Apakah anak2 betawi asli macam si doel? Apakah rakyat banyak? Tidak! Itu hanya akan dinikmati oleh kurang dari 1% orang2 super kaya di Indonesia. Situ cuma penghasilan 10 juta/bulan saja cuma mimpi bisa beli properti di pulau buatan ini, apalagi yang dibawah itu.
5. Dengan nilai total 10.000 trilyun, siapa yang paling menikmati uang2nya? Apakah UMKM? Apakah koperasi? Apakah pengusaha kecil? Bukan, melainkan raksasa pemain properti, yang kita tahu sekali siapa mereka ini. Yang bahkan nyuap milyaran rupiah mereka bisa lakukan demi melicinkan bisnisnya. Pemiliknya akan super tajir, sementara buruh, pekerjanya, begitu2 saja nasibnya.
6. Berapa jumlah ikan, burung, hewan2 yang terusir dari reklamasi ini? Hitung sendiri sana.
7. Berapa jumlah para jomblo2, eh, ini mulai ngelantur...
Saya tahu, senjata pamungkas pembela reklamasi itu adalah: besok lusa Jakarta akan tenggelam, kita perlu benteng pulau2 luar biar menahan air laut. Hehehe... dduuhh, kalau situ mau bangun benteng, ngapain harus pulau juga keleus? Belanda saja tidak selebay itu, padahal negara mereka dibawah permukaan laut. Cuma negara api saja yang suka lebay dengan argumen.
Baiklah, terserah kalian mau bagaimana, yang mau tetap belain reklamasi silahkan. Saya ini penulis, sudah tugas saya membagikan visi masa depan. 20 tahun dari sekarang, saat pulau2 buatan ini sudah megah begitu indah, pastikan anak cucu kita tidak hanya jadi tukang sapu, tukang pel kaca di hotel2nya, mall, pusat bisnis di sana. Saya tahu, di luar sana, banyak yang bersedia membela habis2an logika reklamasi ini. Tapi pastikan dek, kalian dapat apa? Catat: Kalian dapat berapa sih dari belain reklamasi? Hehehe... jangan sampai dek, kalian mengotot, memaki orag lain, demi membela reklamasi ini, 20 tahun lagi, saat pulau2 buatan itu jadi, kalian mau menginap di hotelnya semalam saja tidak kuat bayar.
Sudah pernah ke Marina Bay Sand Singapore, yang hasil nimbun laut juga? Semalam harga hotelnya bisa 5-6 juta rupiah. Situ berbusa belain reklamasi, 20 tahun lagi, cuman pengin numpang lewat saja ke pulaunya saja tidak mampu bayar ntar. Nginep semalam di sana, setara gaji 2 bulan kita? Sakittt. Sementara yang punya, sudah semakin super tajir, menyuap sana-sini, membantu dana kampanye ini itu, dll, demi melancarkan bisnisnya.
***Apa Kabar, Bung?
Ada sebuah rumah, dengan harga 4 milyar. Berapa banyak sih orang bisa membelinya? Berapa gaji kita sekarang? 10 juta per bulan? Tetap impossible membeli rumah tersebut. Mari saya hitungkan. Gaji 10 juta x 12 bulan = 120 juta/tahun. Butuh berapa tahun untuk dapat 4 milyar? 33 tahun. Baru terkumpul uangnya, itupun berarti kita tidak makan, minum, dsbgnya, karena seluruh gaji ditabung. Sialnya, persis di tahun ke-33, pas uangnya terkumpul, rumah itu harganya sudah 10 milyar!
Hanya orang2 kaya lah yang bisa membeli rumah ini. Orang2 yang punya uang banyak, dan jelas, mereka memang membutuhkan tempat tinggal yang “aman”. Kenapa komplek2 elit di kota2 kalian tertutup? Ada gerbang di depannya, dijaga penuh oleh satpam? Silahkan jawab sendiri. Tidak cukup dengan komplek2 elit, muncul ide brilian, kenapa kita tidak bikin pulau terpisah saja? Ewow, itu akan menarik sekali. Kelompok super elit akan terbentuk di sana. “Tinggal angkat jembatannya”, siapapun tidak bisa lagi masuk dengan mudah. 3 Milyar adalah harga paling murah rumah setapak di pulau reklamasi.
Sesederhana itu faktanya, Bung.
Maka, ijinkan saya bertanya, Bung yang selama ini berteriak soal keadilan sosial, kenapa Bung tidak tergerak hatinya berdiri di depan sana protes keberatan? Pulau2 buatan ini akan dikeduk, dibangun, dengan milyaran kubik pasir yang diambil dari milik rakyat. Lombok, Banyuwangi, Jawa, Sumatera, Sulawesi, milyaran kubik pasir akan diangkut kapal2 besar, menunggu apakah pemerintah setempat setuju atau tidak daerahnya jadi tambang pasir. Bung, bukankah Anda dulu marah besar saat Singapore mengangkut milyaran kubik pasir dari Riau? 25 kapal lebih bolak-balik membawa pasir, menimbun pulau2 reklamasi, yang sekarang di atasnya berdiri hotel2 super mewah, yang harganya tak terjangkau kalangan proletar. Atau definisi keadilan sosial milik Bung hanya abal2 saja? KW2?
Saya, tidak anti 100% reklamasi. Tidak. Dalam beberapa kasus, untuk pembangunan bandara, pembangunan pelabuhan, demi kepentingan umum, reklamasi itu masuk akal. Tapi untuk membangun mall, hotel, apartemen, kondotel, komplek super elit? Wah, itu membuat kesenjangan sosial semakin parah, Bung. Kita bahkan belum bicara soal dampak lingkungan. Omong kosong jika reklamasi itu tidak berdampak pada lingkungan. Itu sama dengan orang yang bilang: merokok baik untuk kesehatan. Sekecil apapun, reklamasi pantai membawa dampak pada ikan, burung, bahkan para jomblo--eh, lagi2 saya ngelantur.
Masalahnya sekarang, apakah kita bisa menahan soal reklamasi ini? Saya sudah menulis soal ini sejak puluhan tahun lalu, silahkan keduk friendster, blog2 yang telah mati. Dulu, saya pesimis, bagaimana kita akan menahan Tuan Tanah dari bangsa sendiri? Bagaimana mungkin kita bisa mencegah godaan uang ratusan milyar? Itu susah. Produk pulau super elit ini jelas punya pembeli, uangnya ada, ada demand-nya, maka susah menolaknya. Dalam kasus tertentu saya bahkan pernah berpikir, baiklah, silahkan saja reklamasi, tapi seluruh pulaunya milik rakyat/pemerintah. Yang mau beli di sana cuma nyewa. Itu ide bagus juga.
Tapi hari ini, setelah saya pikir2 kembali, saya kembali optimis. Kita bisa menghentikan reklamasi ini! Bisa. Sepanjang ada kemauan dari penguasa. Sekali kita punya pemimpin yang berani, yang mau memihak pada rakyat banyak, kita bisa membuat aturan main monumental, menghentikan total reklamasi. Ini jaman sudah berubah, ketika sebuah isu bisa dibicarakan dengan cepat, tambahkan kasus tertangkapnya bos developer oleh KPK, wah, itu seharusnya membuka mata semua orang, betapa “jeleknya” permainan pulau2 indah ini.
Bung, tanah Indonesia itu luasnya masih segaban-gaban. Jakarta misalnya, kata siapa lahannya sudah sempit? Kita bukan Singapore, bukan Hong Kong. Negeri ini diberkahi lahan yang luas. Suruh itu developer mengembangkannya. Gelontorkan uang ribuan trilyun itu di darat, lah. Berhentilah bangun itu pulau2. Ini jadinya anti thesis loh, Bung, Presiden sudah suruh itu blok Masela di darat, bukan di laut sana, kenapa sekarang di Jakarta hobinya bangun perumahan justeru jauh2 dari darat? Demi kemakmuran bersama, ayo tarik ke daratan Jakarta pembangunannya.
Itu akan jauh lebih baik. Minimal, jika di darat sini, biar kelompok super elit ini bisa bergaul dikit dengan rakyat banyak. Mereka tidak perlu jauh2 bikin pulau sendiri. Tenang saja, wahai kelompok super elit, dengan komunikasi yang baik, saling menghargai, kaum proletar itu adalah tetangga yang oke punya.
*Tere Liya
Posting Komentar