Dulu Saya #Ippho Santosa
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/02/dulu-saya-ippho-santosa.html
Dulu saya sempat sreg dengan 1-2 program beliau. Sampai-sampai saya retwit di Twitter. Di Facebook sempat juga saya memuji keharmonisan beliau bersama istri. Tapi saya langsung tersadarkan begitu mencuat kasus Sumber Waras, reklamasi, dan Al-Maidah. Waduh, waduh! Ternyata bukan saja korup perangainya tapi juga kotor mulutnya.
Saya sulit membayangkan, bagaimana mungkin seorang terdakwa bisa menghardik dan mengancam ketua MUI yang juga petinggi NU, ormas Islam terbesar di negeri ini. Dan satu hal lagi, ulama yang sudah berusia 70-an ini dicecar selama 7 jam. Beradabkah? Manusiawikah?
Sepertinya sudah tabiat, ia gemar sekali menghina. Pokoknya hina dulu, maaf kemudian. Itu pun kalau diprotes. Ia pernah menghina kitab suci orang lain dan kemudian di Al-Jazeera ia mengaku tidak menyesal sama sekali. Ia pernah menyebut agamanya sendiri konyol. Ya, konyol. Ia pernah berjanji akan melawan Tuhan kalau Tuhan ngaco.
Soal hina-menghina, ia tidak berhenti sampai di situ saja. Ia juga pernah menghina profesi dosen, profesi dokter, parpol, dan dewan. Bahkan korban penggusuran, dia hina dan dia anggap cuma akting seperti artis sinetron. Di depan umum, ia pun pernah menuduh seorang ibu-ibu sebagai maling yang kemudian terbukti tuduhan itu 100% keliru.
Di media Detik, dia pernah keceplosan bahwa ayahnya ikut Belanda. Saya tak mau menghina fakta itu. Tapi anehnya, kok dia membanggakan fakta itu. Sampai saat ini, pendukung-pendukungnya masih bingung atas 'kebanggaan semu' itu. Sementara, teman-teman saya dengan berbagai latar belakang suku dan agama menganggap dia benar-benar benalu bagi persatuan bangsa Indonesia.
"Ah, itu cuma kata-kata. Yang penting kan kerjanya bagus," kilah segelintir orang. Sahabat saya langsung mematahkan alasan ini, "Lha menurut audit BPK, si tokoh ini bermasalah sekian miliar untuk kasus Sumber Waras. Ingat ya, prestasi BPK diakui oleh PBB dan diizinkan berkantor di Austria."
Belum lagi kasus gedung kedubes senilai hampir setengah triliun yang hampir-hampir saja dia beli, padahal tidak perlu dibeli sama sekali. Wong tanah milik sendiri, ngapain dibeli? Ini diberitakan di Kompas. Terus, soal reklamasi, siapa yang diuntungkan? Jelas, yang diuntungkan adalah developer dan investor. Yang dirugikan? Ribuan nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya di sana.
Kalau saya mau play safe, tak perlulah saya menulis artikel seperti ini. Kebanyakan orang kan begitu. Takut periuk nasinya tumpah. Menurut saya, untuk hal-hal prinsip, kita harus bersuara. Nggak boleh diam. Kalaupun fans unfollow dan unlike, itu biasa. Kalaupun job berkurang, itu resiko. Toh Allah yang menjamin rezeki kita, bukan makhluk.
Btw, ini semua terjadi di negeri antah-berantah. Jadi, boleh di-share seluas-luasnya agar tak terjadi di negeri ini. Sekian dari saya, Ippho Santosa.
Posting Komentar