Ucapan Ukhti dan Ummi dari suami kepada istri apakah Berarti Zihar?
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/04/ucapan-ukhti-dan-ummi-dari-suami-kepada.html
Zihar adalah ucapan suami kepada istrinya, (ظَهْرُكَ عَلَيَّ
مِثْلَ ظَهْرِ أُمِّيْ) (Punggungmu seperti punggung ibuku) atau dengan
kalimat senada yang menyamakan istrinya dengan ibunya, atau para
mahramnya yang lain. Tujuannya adalah supaya istri menjadi haram dia
gauli dan pada masa jahiliah ini termasuk kalimat cerai (talak).
Selanjutnya Allah menurunkan surah Al-Mujadilah (ayat 1-4) yang didalamnya terdapat pembahasan tentang zihar dan bahwa itu adalah ucapan dusta serta berdosa, dan bagi yang sudah mengucapkannya dia harus membayar kaffarah berupa pembebasan budak mukmin, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan 60 orang miskin.
Lalu, ada keraguan dari sebagian orang tentang panggilan seorang suami kepada istrinya, ”Ummi” atau ”mama” atau ”bunda” dan sejenisnya, apakah ini termasuk zihar?
Jawaban ringkasnya ini semua tidak termasuk zihar, karena zihar harus disertai niat dari pengucapnya bahwa dengan kalimat itu dia bermaksud menceraikan istrinya. Tapi kalau kalimat itu adalah ungkapan sayang atau menyebutkan sebuah kenyataan misalnya dengan mengatakan, “Kamu mirip dengan almarhumah ibuku” dan memang begitu kenyataannya, maka itu bukan zihar.
Beberapa fatwa ulama dalam masalah ini:
1.Fatwa Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali:
Dalam kitab Al-Mughni juz 8 hal. 557, Ibnu Qudamah mengatakan,
2.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Dalam Majmu’ Al-Fatawa juz 34 hal. 5 disebutkan:
“Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah –semoga Allah menyucikan ruhnya- ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Kamu bagiku bagaikan ibuku atau saudari perempuanku”?
Dia menjawab,
“Kalau maksudnya adalah “Kamu bagiku bagaikan ibu atau saudariku dalam hal penghormatan” maka tidak ada apa-apa atas dirinya (tidak ada masalah). Tapi kalau maksudnya adalah menyamakan istrinya itu dengan ibu atau sudarinya dalam hal pernikahan maka itu adalah zihar dan berlakulah hukum zihar kepadanya dan kalau dia tidak juga mencerai istrinya itu maka dia tidak boleh menggaulinya sebelum membayar kaffarah zihar.”
3.Fatwa Komisi Tetap untuk Fatwa Arab Saudi:
Dalam kitab kumpulan Fatwa Lajnah Ad-Da`imah yang disusun oleh Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy juz 20 hal. 274 disebutkan:
Pertanyaan pertama dari fatwa nomor 557:
Tanya: Ada sebagian orang yang berkata kepada istrinya, “Aku adalah saudaramu dan kamu adalah saudariku” apa hukumnya hal itu?
Jawab: Apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “Kamu adalah saudariku, atau seperti saudariku, atau kamu adalah ibuku atau seperti ibuku”, atau “bagiku kau sama dengan saudariku atau ibuku”, kalau ucapan itu dimaksudkan untuk penghormatan atau penghargaan atau hubungan baik semata atau tidak ada niat apa-apa serta tidak ada petunjuk yang mengarahkan bahwa itu diucapkan untuk zihar maka dia bukanlah zihar. Tapi kalau dia memaksudkannya untuk zihar atau ada petunjuk yang mengawali bahwa ini adalah zihar, semisal dia mengucapkannya dalam keadaan marah, maka itu adalah zihar dan itu haram sehingga dia harus bertaubat serta wajib membayar kaffarah sebelum menggauli istrinya itu, yaitu dengan membebaskan seorang budak, kalau tidak sanggup maka berpuasa dua bulan beruturut-turut, kalau tidak sanggup maka dengan memberi makan 60 orang miskin.
Hanya kepada Allah-lah kami mohon taufik, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam, para keluarga dan para sahabat beliau.
Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa
Ttd
Ibrahim bin Muhammad Ali Syaikh (ketua)
Abdurrazzaq Afifi (wakil ketua)
Abdullah bin Ghudayyan (anggota)
Abdullah bin Mani’ (anggota)
4.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Jawaban Al-Utsaimin ini didapat dalam Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb yang banyak dinukil di internet dan juga sudah dibukukan dalam bentuk e-book yang bisa diunduh di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=164159 atau di sini: http://shamela.ws/index.php/book/2300
berikut teksnya:
Apakah boleh seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, “Wahai saudariku (ukhti) dengan maksud rasa cinta atau “wahai ibuku (ummi)”?
Syekh rahimahullah menjawab,
“Ya, boleh saja dia mengucapkan “wahai saudariku, atau wahai ibuku atau yang sejenisnya kepada istrinya itu berupa kata-kata yang menunjukkan kecintaan, meski ada sebagian ulama yang memakruhkan hal itu. Tapi tidak ada pembenaran untuk pemakruhan ini, karena amal itu tergantung niatnya dan orang ini tidak berniat menganggap istrinya itu sama dengan saudarinya dalam hal kemahraman, dia hanya mengungkapkan perasaan cinta dan semua hal yang menyebabkan rasa cinta antar suami istri baik dari pihak suami maupun istri maka itu memang dianjurkan.”
5.Al-Khaththabi dalam Ma’alim As-Sunan juz 3, hal. 249 (cetakan Mathba’ah Ilmiyyah – Halab (Aleppo) tahun 1932 M) mengatakan,
Hadits Abu Daud
Ada sebagian ulama menganggap makruh ucapan suami kepada istrinya “Wahai saudariku”, karena terdapat sebuah hadits riwayat Abu Daud dalam sunannya, no. 2210 bahwa ada seorang laki-laki memanggil istrinya dengan sebutan “Wahai ukhti (saudariku)” lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Apa dia memang saudarimu?!” Beliau tidak suka ucapan itu dan melarangnya.”
Akan tetapi hadits ini dianggap lemah oleh Al-Albani sebagaimana dijelaskannya dalam kitab Dha’if Sunan Abi Daud di kitab induk yaitu yang diterbitkan oleh yayasan Ghiras di Kuait cetakan pertama tahun 1423 H pada juz 2 hal. 240. Alasan utamanya adalah idhthirab (kesimpangsiuran) dalam sanad, bahkan andaipun tidak idhthirab maka satu delik lagi yang melemahkan hadits ini, yaitu mursal. Bahkan Syamsul Haq Azhim Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Daudpun mengakui bahwa hadits ini mudhtharib (hal. 1037 yang diterbitkan oleh Dar Ibnu Hazm tahun 2005 M).
Anshari Taslim
Bogor, 1 Desember 2010
Selanjutnya Allah menurunkan surah Al-Mujadilah (ayat 1-4) yang didalamnya terdapat pembahasan tentang zihar dan bahwa itu adalah ucapan dusta serta berdosa, dan bagi yang sudah mengucapkannya dia harus membayar kaffarah berupa pembebasan budak mukmin, atau berpuasa dua bulan, atau memberi makan 60 orang miskin.
Lalu, ada keraguan dari sebagian orang tentang panggilan seorang suami kepada istrinya, ”Ummi” atau ”mama” atau ”bunda” dan sejenisnya, apakah ini termasuk zihar?
Jawaban ringkasnya ini semua tidak termasuk zihar, karena zihar harus disertai niat dari pengucapnya bahwa dengan kalimat itu dia bermaksud menceraikan istrinya. Tapi kalau kalimat itu adalah ungkapan sayang atau menyebutkan sebuah kenyataan misalnya dengan mengatakan, “Kamu mirip dengan almarhumah ibuku” dan memang begitu kenyataannya, maka itu bukan zihar.
Beberapa fatwa ulama dalam masalah ini:
1.Fatwa Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hanbali:
Dalam kitab Al-Mughni juz 8 hal. 557, Ibnu Qudamah mengatakan,
فصل
: وإن قال أنت علي كأمي أو مثل أمي ونوى به الظهار فهو ظهار في قول عامة
العلماء منهم أبو حنيفة وصاحباه و الشافعي و إسحاق وإن نوى به الكرامة
والتوقير أو انها مثلها في الكبر أو الصفة فليس بظهار والقول قوله في نيته
“Pasal:
Kalau dia mengucapkan, “Kamu bagiku seperti ibuku” dan dia mengucapkan
itu dengan niat zihar maka itu adalah zihar menurut semua ulama, antara
lain Abu Hanifah dan kedua muridnya, Asy Syafi-i dan Ishaq. Tapi kalau
ucapan itu dia niatkan (maksudkan) sebagai pemuliaan, penghargaan atau
memang kenyataan dia sama dengan ibunya dalam hal usia tua atau sifat
maka itu bukan termasuk zihar. Dalam hal ini harus merujuk kepada
pengakuannya sendiri tentang apa yang dia niatkan dari ucapan itu.”2.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:
Dalam Majmu’ Al-Fatawa juz 34 hal. 5 disebutkan:
سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ أَحْمَد بْنُ تَيْمِيَّة - قَدَّسَ اللَّهُ رُوحَهُ - :
عَنْ رَجُلٍ قَالَ لِامْرَأَتِهِ : أَنْتِ عَلَيَّ مِثْلُ أُمِّي وَأُخْتِي ؟
فَأَجَابَ :
إنْ
كَانَ مَقْصُودُهُ أَنْتِ عَلَيَّ مِثْلُ أُمِّي وَأُخْتِي فِي
الْكَرَامَةِ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ . وَإِنْ كَانَ مَقْصُودُهُ
يُشَبِّهُهَا بِأُمِّهِ وَأُخْتِهِ فِي " بَابِ النِّكَاحِ " فَهَذَا
ظِهَارٌ عَلَيْهِ مَا عَلَى الْمُظَاهِرِ فَإِذَا أَمْسَكَهَا فَلَا
يَقْرَبُهَا حَتَّى يُكَفِّرَ كَفَّارَةَ ظِهَارٍ .
“Syaikhul Islam Ahmad bin Taimiyah –semoga Allah menyucikan ruhnya- ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Kamu bagiku bagaikan ibuku atau saudari perempuanku”?
Dia menjawab,
“Kalau maksudnya adalah “Kamu bagiku bagaikan ibu atau saudariku dalam hal penghormatan” maka tidak ada apa-apa atas dirinya (tidak ada masalah). Tapi kalau maksudnya adalah menyamakan istrinya itu dengan ibu atau sudarinya dalam hal pernikahan maka itu adalah zihar dan berlakulah hukum zihar kepadanya dan kalau dia tidak juga mencerai istrinya itu maka dia tidak boleh menggaulinya sebelum membayar kaffarah zihar.”
3.Fatwa Komisi Tetap untuk Fatwa Arab Saudi:
Dalam kitab kumpulan Fatwa Lajnah Ad-Da`imah yang disusun oleh Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy juz 20 hal. 274 disebutkan:
السؤال الأول من الفتوى رقم ( 557 )
س1: يقول بعض الناس لزوجته: أنا أخوك وأنت أختي. فما الحكم؟
ج1:
إذا قال الزوج لزوجته: أنا أخوك أو أنت أختي، أو أنت أمي أو كأمي، أو أنت
مني كأمي أو كأختي- فإن أراد بذلك أنها مثل ما ذكر في الكرامة أو الصلة
والبر أو الاحترام أو لم يكن له نية ولم يكن هناك قرائن تدل على إرادة
الظهار، فليس ما حصل منه ظهارا، ولا يلزمه شيء، وإن أراد بهذه الكلمات
ونحوها الظهار، أو قامت قرينة تدل على الظهار مثل صدور هذه الكلمات عن غضب
عليها أو تهديد لها فهي ظهار، وهو محرم، وتلزمه التوبة، وتجب عليه الكفارة
قبل أن يمسها، وهي: عتق رقبة، فإن لم يجد فصيام شهرين متتابعين، فإن لم
يستطع فإطعام ستين مسكينا.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو ... عضو ... نائب الرئيس ... الرئيس
عبد الله بن منيع ... عبد الله بن غديان ... عبد الرزاق عفيفي ... إبراهيم بن محمد آل الشيخ
Pertanyaan pertama dari fatwa nomor 557:
Tanya: Ada sebagian orang yang berkata kepada istrinya, “Aku adalah saudaramu dan kamu adalah saudariku” apa hukumnya hal itu?
Jawab: Apabila seorang suami berkata kepada istrinya, “Kamu adalah saudariku, atau seperti saudariku, atau kamu adalah ibuku atau seperti ibuku”, atau “bagiku kau sama dengan saudariku atau ibuku”, kalau ucapan itu dimaksudkan untuk penghormatan atau penghargaan atau hubungan baik semata atau tidak ada niat apa-apa serta tidak ada petunjuk yang mengarahkan bahwa itu diucapkan untuk zihar maka dia bukanlah zihar. Tapi kalau dia memaksudkannya untuk zihar atau ada petunjuk yang mengawali bahwa ini adalah zihar, semisal dia mengucapkannya dalam keadaan marah, maka itu adalah zihar dan itu haram sehingga dia harus bertaubat serta wajib membayar kaffarah sebelum menggauli istrinya itu, yaitu dengan membebaskan seorang budak, kalau tidak sanggup maka berpuasa dua bulan beruturut-turut, kalau tidak sanggup maka dengan memberi makan 60 orang miskin.
Hanya kepada Allah-lah kami mohon taufik, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam, para keluarga dan para sahabat beliau.
Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa
Ttd
Ibrahim bin Muhammad Ali Syaikh (ketua)
Abdurrazzaq Afifi (wakil ketua)
Abdullah bin Ghudayyan (anggota)
Abdullah bin Mani’ (anggota)
4.Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Jawaban Al-Utsaimin ini didapat dalam Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb yang banyak dinukil di internet dan juga sudah dibukukan dalam bentuk e-book yang bisa diunduh di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=164159 atau di sini: http://shamela.ws/index.php/book/2300
berikut teksnya:
هل يجوز للرجل أن يقول لزوجته يا أختي بقصد المحبة فقط أو يا أمي؟
فأجاب
رحمه الله تعالى: نعم يجوز أن يقول لها يا أختي ويا أمي وما أشبه ذلك من
الكلمات التي توجب المودة والمحبة وإن كان بعض أهل العلم كره أن يخاطب
الرجل زوجته بمثل هذه العبارات ولكن لا وجه للكراهة وذلك لأن الأعمال
بالنيات وهذا الرجل لم ينوِ بهذه الكلمات أنها كأخته في التحريم والمحرمية
وإنما أراد أن يتودد إليها ويتحبب إليها وكل شيء يكون سبباً للمودة بين
الزوجين سواءٌ كان من الزوج أو من الزوجة فإنه أمرٌ مطلوب.
Apakah boleh seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya, “Wahai saudariku (ukhti) dengan maksud rasa cinta atau “wahai ibuku (ummi)”?
Syekh rahimahullah menjawab,
“Ya, boleh saja dia mengucapkan “wahai saudariku, atau wahai ibuku atau yang sejenisnya kepada istrinya itu berupa kata-kata yang menunjukkan kecintaan, meski ada sebagian ulama yang memakruhkan hal itu. Tapi tidak ada pembenaran untuk pemakruhan ini, karena amal itu tergantung niatnya dan orang ini tidak berniat menganggap istrinya itu sama dengan saudarinya dalam hal kemahraman, dia hanya mengungkapkan perasaan cinta dan semua hal yang menyebabkan rasa cinta antar suami istri baik dari pihak suami maupun istri maka itu memang dianjurkan.”
5.Al-Khaththabi dalam Ma’alim As-Sunan juz 3, hal. 249 (cetakan Mathba’ah Ilmiyyah – Halab (Aleppo) tahun 1932 M) mengatakan,
وذلك
أن من قال لامرأته أنت كأختي وأراد به الظهار كان ظهاراً كما تقول أنت
كأمي ، وكذلك هذا في كل امرأة من ذوات المحارم ، وعامة أهل العلم أو أكثرهم
متفقون على هذا إلاّ أن ينوي بهذا الكلام الكرامة فلا يلزمه الظهار
“Karena bila seorang mengatakan kepada istrinya, “Kamu seperti
saudariku”, dan dengan itu dia maksudkan sebagai zihar maka itu adalah
zihar sama halnya kalau dia mengatakan, “Kamu seperti ibuku”. Hal yang
sama berlaku kepada semua wanita mahramnya. Kebanyakan ulama atau
sebagian besarnya sepakat akan hal itu, kecuali kalau niatnya dengan
ucapan tersebut hanyalah penghormatan maka tidak ada konsekuensi zihar
atas dirinya.”Hadits Abu Daud
Ada sebagian ulama menganggap makruh ucapan suami kepada istrinya “Wahai saudariku”, karena terdapat sebuah hadits riwayat Abu Daud dalam sunannya, no. 2210 bahwa ada seorang laki-laki memanggil istrinya dengan sebutan “Wahai ukhti (saudariku)” lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, “Apa dia memang saudarimu?!” Beliau tidak suka ucapan itu dan melarangnya.”
Akan tetapi hadits ini dianggap lemah oleh Al-Albani sebagaimana dijelaskannya dalam kitab Dha’if Sunan Abi Daud di kitab induk yaitu yang diterbitkan oleh yayasan Ghiras di Kuait cetakan pertama tahun 1423 H pada juz 2 hal. 240. Alasan utamanya adalah idhthirab (kesimpangsiuran) dalam sanad, bahkan andaipun tidak idhthirab maka satu delik lagi yang melemahkan hadits ini, yaitu mursal. Bahkan Syamsul Haq Azhim Abadi dalam kitab Aunul Ma’bud syarh Sunan Abi Daudpun mengakui bahwa hadits ini mudhtharib (hal. 1037 yang diterbitkan oleh Dar Ibnu Hazm tahun 2005 M).
Anshari Taslim
Bogor, 1 Desember 2010
Posting Komentar