Penjelasan bagus dari ustadz Rappung Samuddin Seputar Maulid



Polemik seputar hukum Maulid kayaknya tidak pernah surut. Hampir setiap menjelang bulan Rabi'ul Awwal, persoalan ini kembali diungkit, diperdebatkan, lalu kemudian masing-masing dari kelompok yang berdebat menghukumi lawan debatnya menurut apa yang mereka yakini.


Saya termasuk yang banyak mendapat pertanyaan serupa dari para mahasiswa. Yang ujung-ujungnya pasti didebat pula. Sebab sikap saya terhadap Maulid sedikit lebih moderat. Walau secara sengaja, saya tidak pernah mengikuti acara Maulid, apalagi mengisi ceramah pada acara tersebut. Akan tetapi, saya tetap menghormati mereka yang bermaulid. Tentunya di sini maulid yang kosong dari ritual dan seremoni-seremoni yang menyimpang dari ajaran syariat.

Awalnya begini. Saat mengisi pengajian di salah satu kecamatan di Kab. Muna, salah seorang jama'ah yang kebetulan berprofesi sebagai guru di SLTA negeri bertanya. Pertanyaannya, "Ust, di sekolah sdh ada instruksi untuk Maulid. Itu harus, tidak boleh tidak. Dan kami menjadi bingung dengan apa yang telah kami nonton dan baca terkait hukum maulid itu. Nah, bagaimana kalau Maulid itu kami setting menjadi tabligh akbar saja. Undang Ustadz ceramah seputar kelahiran dan cinta Nabi, tanya jawab, kemudian bubar".

Maka saya jawab, "Kalau demikian keadaannya, maka ia tidak masalah. Yg sy ketahui dr penjelasan para ulama terkait larangan Maulid itu, kebanyakan lebih pada faktor-faktor luar yang bukan merupakan subtansi, berupa ikhtilat, bacaan kasidah-kasidah yang mengandung kesyirikan, adanya keyakinan-keyakinan khurafat padanya, dan lain sebagainya".

Nampaknya, sebagian jama'ah tidak puas dgn jawaban saya. Dan saya pun didebat. Maka saya hanya tegaskan begini, bahwa yang saya tahu, di negeri kita ini masalah Maulid itu sebatas "memperingati", dan bukan "merayakan". Mungkin ada juga yang merayakan, tapi saya tidak tahu. Jadi tolong bedakan antara "memperingati" dan "merayakan". Semua yg disinggung para ulama yg melarang itu terkait dengan "merayakan" atau ihtifal. Sebab ia hanya diuntukkan bagi Hari Raya. Adapun "memperingati" tadzkirah, itu dilakukan terkait momen-momen tertentu yang sifatnya ada hikmah dan pelajaran padanya. Tidak diharuskan, apalagi diwajibkan untuk dilakukan. Namanya juga momen.

Saya lalu balik bertanya, "Berarti, walau sekedar memperingati dengan mengadakan tabligh akbar atau pengajian tidak boleh ya?". Ia menjawab, "Iya, sebab ia masuk dalam kategori Maulid". Saya bertanya lagi, "Kalau begitu, itu artinya setiap ceramah atau materi terkait kelahiran, cinta, dan kewajiban mengikuti Nabi di bulan Rabi'ul Awwal itu tidak boleh, sebab jangan sampai dikategorikan sebagai acara Maulid?". Jama'ah itu diam.

Saya melanjutkan, sebenarnya, walau kita berbeda terkait istilah atau penamaan, namun pada hakikatnya yang kita lakukan di bulan Rabi'ul Awwal ini subtansinya sama. Lihatlah tabligh-tabligh akbar yang digelar atau diisi oleh Para Asatidz terkenal dari kelangan yang keras menolak Maulid. Acaranya di bulan Rabi'ul Awwal, materinya juga terkait cinta Nabi. Jadi apa bedanya dengan acara di sekolah bapak ini? Apakah acara Asatidz ternama itu juga bisa dikategorikan sebagai maulid?". Dia diam sejenak lalu menjawab, "Ya, bukanlah. Itukan hanya tabligh akbar biasa, kebetulan di bulan Rabi'ul Awwal". Saya balik menyanggah, tapi acara itu juga disetting oleh sebuah mesjid besar ternama, dan ada juga yang diselenggarakan resmi oleh instansi pemerintah, dan materinya juga seputar cinta Nabi". "Itu momen kali", jawabnya. "Nah, kalau itu terkait momen, maka itulah yang saya maksud sebagai "peringatan". Sama dengan ceramah-ceramah tarawih. Kan aneh, antum melarang peringatan akan momen Rabi'ul Awwal, tapi membolehkan peringatan terkait momen Ramadhan. Padahal posisinya sama persis. Sama-sama tidak ada dalil dan contohnya serta sama-sama dikhususkan waktunya".

Terakhir, saya sampaikan, "Kalau sekedar "peringatan" dalam bentuk ceramah dan tabligh akbar pun tidak boleh, maka hendaknya para ulama dan Asatidz yang melarangnya harus mengeluarkan seruan dan fatwa, bahwa setiap masuk bulan Rabi'ul Awwal, tidak boleh berceramah atau bertabligh akbar yang materinya menyinggung kelahiran dan cinta Nabi. Khusus sepanjang bulan Rabi'ul Awwal, sebagai dzari'ah agar tidak jatuh dalam kategori Maulid. Dan saya kira, tidak ada yang berpendapat demikian.

Ikhwani, sebagian dari isi dialog ini tambahan dari kami pribadi agar lebih jelas. Tapi intinya, itulah yang terjadi. Mungkin saya salah. Namun yang saya pahami, ada perbedaan antara istilah "memperingati" dan "merayakan". sekali lagi, mungkin saya salah.

Olehnya, silahkan dipahami baik-baik isi status ini, agar komentarnya nyambung dan tidak buang2 energi mendatangkan puluhan dalil-dalil yg melarang atau yang membolehkan Maulid, sebab kita semua sudah kenyang dengannya melalui forum-forum debat sepanjang bulan Rabi'ul Awwal setiap tahunnya. Wallahu A'lam.

Related

Rappung Samuddin 2329962964853946519

Posting Komentar

Recent

Recent Posts Widget

Arsip

Entri yang Diunggulkan

Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

Hot in week

Tayangan Laman

item