8 Persamaan Amerika dan Romawi Saat Menjelang Keruntuhannya...
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/03/8-persamaan-amerika-dan-romawi-saat.html
Lawrence Lessig dalam bukunya berjudul “Republic, Lost” menyoroti kerusakan sistemik sebagai akibat dari politik uang yang berasal dari kelompok-kelompok kepentingan tertentu dalam perpolitikan di Amerika Serikat. Profesor bidang hukum Harvard ini secara persuasif mencoba menggugah kesadaran betapa saat ini kita sedang menyaksikan krisis & kemunduran terjadi dalam sistem pemerintahan republik di Amerika. Menurutnya, para politisi di Washington tidak lagi mencerminkan visi dan aspirasi mayoritas rakyat yang notabene merupakan konstituen mereka, melainkan lebih dominan sebagai wakil para donatur yang ikut mendanai kampanye.
Ritual politik pemilu berbiaya tinggi yang diselenggarakan secara berkala ini merupakan residu demokrasi sebagai produk peradaban Romawi kuno yang tidak bisa dihindari. Ironisnya, meski berasal dari sumber yang tidak jelas, milyaran dolar tersebut harus tetap disediakan untuk sebuah proses “penyaringan aspirasi” suara mayoritas, namun hasil akhir jalannya pemerintahan adalah milik kelompok minoritas termasuk segelintir orang-orang super kaya.
Anthony Everitt, penulis buku “Rise of Rome” menguraikan sejarah kebangkitan imperium Romawi dengan cukup menarik. Ia memulai kisahnya dengan sejarah Romawi kuno, dari masa awal mula pendiriannya pada tahun sekitar 750 SM hingga masa keruntuhan Republik Romawi tersebut pada tahun sekitar 45 SM.
Jika kita baca kedua tulisan/buku itu bersama-sama, akan kita dapatkan benang merah persamaan-persamaan yang cukup mencolok antara kegagalan maupun krisis yang saat ini tengah dilalui superpower Amerika dengan masalah dan krisis yang pada akhirya memicu keruntuhan imperium Romawi. Berbagai krisis/kemunduran itu di antaranya:
1 – Biaya Pemilu Menggelembung Drastis Dengan Sumber Tidak Jelas
Menurut data KPU, Pemilu Amerika tahun 2012 dilaporkan menghabiskan biaya US$ 3 milyar (Rp 39 trilyun). Seluruh dana sebanyak itu diperoleh dari sumber-sumber pribadi yang selalunya mendorong terciptanya realita bahwa para elit atau pemimpin negara yang memegang kekuasaan berhutang budi kepada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Selama era imperium Romawi, proses pemilihan umum secara mengagetkan menjadi sedemikian mahal, sama mengagetkannya dengan hasil-hasil yang diperoleh yang banyak disesalkan. Kaisar dilaporkan bahkan sampai harus mengutang uang dengan jumlah yang besar hanya untuk sebuah kampanye politik, karena ia begitu takut nasibnya bakal hancur seandainya tidak kembali terpilih.
2 – Politik Sebagai Jalan untuk Memperkaya Diri
Selama periode Republik atau imperium Romawi, salah satu jalan utama untuk seseorang menjadi kaya adalah dengan menguasai sektor publik, kemudian dengan eksploitasi posisi tersebut untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Lawrence Lessig, seorang akademisi dan profesor di Fakultas Hukum Universitas Harvard mengatakan, “Anggota-anggota Kongres, para senator, dan seluruh staf mereka berusaha menjadikan posisi mereka sebagai pelayan publik saat duduk di pemerintahan seolah-oleh menjadi milik pribadi, dengan meminta gaji tiga hingga sepuluh kali lipat sebagai kompensasi atas pekerjaan mereka sebagai pejabat pemerintahan”. Dengan cara membuat regulasi finansial semacam ini, “Fokus mereka tidak lagi memikirkan nasib dan aspirasi para pemilih yang telah mengirim mereka ke Washington, melainkan lebih banyak membela kepentingan/aspirasi pihak-pihak yang membuat mereka kaya.”
3 – Perang yang Berkesinambungan: Isu Keamanan Nasional Terus Dipelihara, Mengalihkan Perhatian Para Penentang/Oposisi dalam Negeri dengan Isu Perang
Persis seperti leluhur mereka di masa Republik Romawi, bahwa AS selama 100 tahun terakhir terus aktif melibatkan diri ke dalam berbagai peperangan. Selesai dari perang yang satu, kemudian bersiap untuk perang yang lain, di antaranya: PD I (1917-1918), PD II (1941-1945), Perang Dingin (1947-1991), Perang Korea (1950-1953), Perang Vietnam (1953-1975), Perang Teluk (1990-1991), Invasi Afghanistan (2001- sekarang), Aneksasi Irak (2003 – sekarang), dan yang terkini adalah perang tanpa batas untuk mencegah kekuatan Islam mengatur negara. Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang pernah membunuh ratusan ribu manusia dengan menggunakan senjata pemusnah masal seperti yang terjadi di Hiroshima-Nagasaki pada tahun 1945. Demikian juga jutaan nyawa melayang termasuk anak-anak akibat perang dan embargo Amerika atas Iraq dan Afghanistan. Lebih dari 1,3 rakyat Vietnam tewas, sementara penduduk asli di Amerika utara mengalami genosida.
4 – Kekuatan-Kekuatan Asing Menghibahkan Uang/Perhatian kepada Para Pemimpin
Perang di negara asing dianggap akan bisa meningkatkan pengaruh oleh berbagai kekuatan dan kepentingan asing terhadap para pemimpin politik. Itulah yang telah terjadi pada Romawi, dan saat ini terjadi juga pada Amerika. Pada abad sebelumnya, kedutaan-kedutaan asing, agen-agen dan para pelobi mereka beroperasi dan berkembang di ibukota negara. Salah satu contoh spesifik: Seorang pengusaha asing telah menyumbang untuk berbagai kegiatan Bill Clinton. Clinton lalu membuka pintu untuknya, sehingga kadang-kadang ia bertindak yang bertentangan dengan kepentingan dan kebijakan luar negeri Amerika.
5 – Profit Asing Menentukan Arah Kebijakan Internal Negara
Karena berbagai kekayaan/properti para bangsawan Romawi berasal dari tanah dan negeri asing, maka kebijakan Romawi pun dibuat untuk memfasilitasi berbagai kekayaan ini. Para milyuner dan perusahaan-perusahaan Amerika semakin mempengaruhi jalannya Pemilu di negara itu. Dalam banyak kasus, mereka (secara resmi) memang tercatat sebagai orang-orang Amerika, tetapi memiliki kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat Amerika. Sebagai contoh, Fox News merupakan bagian dari grup media internasional News Corporation, dengan pendapatan US$ 30 milyar di seluruh dunia. Tetapi apakah nasionalisme mereka (Fox News) yang berlebihan itu merupakan produk kepentingan non-Amerika dari perusahaan News Corp.?
6 – Ambruknya Golongan Kelas Menengah
Di era ataupun periode menjelang jatuhnya Republik (Imperium) Romawi, golongan masyarakat kelas menengah di Romawi hancur – akibat murahnya biaya tenaga kerja/budak yang diperoleh dari negara asing. Di masa sekarang ini, kita menyaksikan terus meningkatnya kesenjangan pendapatan, stagnasi kelas menengah, dan hilangnya pekerjaan warga negara karena diambil alih oleh tenaga kerja asing yang dibayar lebih murah namun dengan hak-hak yang terbatas.
7 – Gerrymandering, Memanipulasi Daerah Pemilihan untuk Memperoleh Keuntungan Politik
Pada zaman dahulu, Republik Romawi menempuh segala macam cara untuk mengurangi hak-hak dan potensi kekuatan rakyatnya. GOP atau Partai Republik secara efektif berhasil memanipulasi pemilihan di tingkat distrik untuk memilih seorang anggota Kongres. Hasilnya, mereka berhasil memperoleh mayoritas 53 persen dari jumlah kursi yang ada di Kongres, meskipun para caleg partai mereka hanya memenangi 48 suara konstituen pada Pemilu 2012.
8 – Hilangnya Semangat Berkompromi
Republik Romawi, seperti juga negara Amerika, tata-politik kenegaraan bersandar pada sistem “checks and balances”. Filosofinya adalah untuk mencegah dominasi suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, karena dalam sistem demokrasi sumber dan parameter suatu kebenaran itu bersifat dinamis yang bisa berubah di setiap zaman, dan berasal dari aspirasi kelompok-kelompok itu. Oleh karenanya, kompromi sangat diperlukan supaya sistem politik semacam ini bisa berjalan. Pada faktanya, “konsensus nasional” itu sulit dilakukan dan akhirnya imperium Romawi telah kehilangan semangat kompromi, dengan semakin meningkatnya polarisasi politik antara kelompok elit/kaya dan rakyat biasa. Apa yang tengah terjadi di Amerika tidak jauh beda.
Episode kemunduran imperium Romawi ditandai dengan kekalahan telak mereka dalam 2 perang besar di 2 zaman yang berbeda. Momentum bersejarah yang mengubah peta dunia itu akhirnya menyudahi dominasi superpower Romawi yang takluk oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Sahabat Khalid Ibnu Walid RA di Era Khalifah Umar ra dalam perang Yarmuk, dan Sultan Muhammad Al-Fatih di Era Khilafah Utsmaniyah dengan dibebaskannya Istanbul Lama (Konstantinopel). Saat ini, sebagai pewaris peradaban Romawi, Amerika juga sedang menghadapi krisis dan kerusakan sistemik pada sendi-sendi kehidupan negaranya. Perang tanpa batas terhadap kekuatan Islam berpotensi mengakhiri hegemoni imperium Amerika sebagaimana leluhur mereka dahulu. Siapakah pemimpin pasukan Islam yang akan memutar kembali episode itu? Kita lihat saja, karena sejarah akan selalu berulang. [kiblat]
Ritual politik pemilu berbiaya tinggi yang diselenggarakan secara berkala ini merupakan residu demokrasi sebagai produk peradaban Romawi kuno yang tidak bisa dihindari. Ironisnya, meski berasal dari sumber yang tidak jelas, milyaran dolar tersebut harus tetap disediakan untuk sebuah proses “penyaringan aspirasi” suara mayoritas, namun hasil akhir jalannya pemerintahan adalah milik kelompok minoritas termasuk segelintir orang-orang super kaya.
Anthony Everitt, penulis buku “Rise of Rome” menguraikan sejarah kebangkitan imperium Romawi dengan cukup menarik. Ia memulai kisahnya dengan sejarah Romawi kuno, dari masa awal mula pendiriannya pada tahun sekitar 750 SM hingga masa keruntuhan Republik Romawi tersebut pada tahun sekitar 45 SM.
Jika kita baca kedua tulisan/buku itu bersama-sama, akan kita dapatkan benang merah persamaan-persamaan yang cukup mencolok antara kegagalan maupun krisis yang saat ini tengah dilalui superpower Amerika dengan masalah dan krisis yang pada akhirya memicu keruntuhan imperium Romawi. Berbagai krisis/kemunduran itu di antaranya:
1 – Biaya Pemilu Menggelembung Drastis Dengan Sumber Tidak Jelas
Menurut data KPU, Pemilu Amerika tahun 2012 dilaporkan menghabiskan biaya US$ 3 milyar (Rp 39 trilyun). Seluruh dana sebanyak itu diperoleh dari sumber-sumber pribadi yang selalunya mendorong terciptanya realita bahwa para elit atau pemimpin negara yang memegang kekuasaan berhutang budi kepada kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Selama era imperium Romawi, proses pemilihan umum secara mengagetkan menjadi sedemikian mahal, sama mengagetkannya dengan hasil-hasil yang diperoleh yang banyak disesalkan. Kaisar dilaporkan bahkan sampai harus mengutang uang dengan jumlah yang besar hanya untuk sebuah kampanye politik, karena ia begitu takut nasibnya bakal hancur seandainya tidak kembali terpilih.
2 – Politik Sebagai Jalan untuk Memperkaya Diri
Selama periode Republik atau imperium Romawi, salah satu jalan utama untuk seseorang menjadi kaya adalah dengan menguasai sektor publik, kemudian dengan eksploitasi posisi tersebut untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Lawrence Lessig, seorang akademisi dan profesor di Fakultas Hukum Universitas Harvard mengatakan, “Anggota-anggota Kongres, para senator, dan seluruh staf mereka berusaha menjadikan posisi mereka sebagai pelayan publik saat duduk di pemerintahan seolah-oleh menjadi milik pribadi, dengan meminta gaji tiga hingga sepuluh kali lipat sebagai kompensasi atas pekerjaan mereka sebagai pejabat pemerintahan”. Dengan cara membuat regulasi finansial semacam ini, “Fokus mereka tidak lagi memikirkan nasib dan aspirasi para pemilih yang telah mengirim mereka ke Washington, melainkan lebih banyak membela kepentingan/aspirasi pihak-pihak yang membuat mereka kaya.”
3 – Perang yang Berkesinambungan: Isu Keamanan Nasional Terus Dipelihara, Mengalihkan Perhatian Para Penentang/Oposisi dalam Negeri dengan Isu Perang
Persis seperti leluhur mereka di masa Republik Romawi, bahwa AS selama 100 tahun terakhir terus aktif melibatkan diri ke dalam berbagai peperangan. Selesai dari perang yang satu, kemudian bersiap untuk perang yang lain, di antaranya: PD I (1917-1918), PD II (1941-1945), Perang Dingin (1947-1991), Perang Korea (1950-1953), Perang Vietnam (1953-1975), Perang Teluk (1990-1991), Invasi Afghanistan (2001- sekarang), Aneksasi Irak (2003 – sekarang), dan yang terkini adalah perang tanpa batas untuk mencegah kekuatan Islam mengatur negara. Amerika menjadi satu-satunya negara di dunia yang pernah membunuh ratusan ribu manusia dengan menggunakan senjata pemusnah masal seperti yang terjadi di Hiroshima-Nagasaki pada tahun 1945. Demikian juga jutaan nyawa melayang termasuk anak-anak akibat perang dan embargo Amerika atas Iraq dan Afghanistan. Lebih dari 1,3 rakyat Vietnam tewas, sementara penduduk asli di Amerika utara mengalami genosida.
4 – Kekuatan-Kekuatan Asing Menghibahkan Uang/Perhatian kepada Para Pemimpin
Perang di negara asing dianggap akan bisa meningkatkan pengaruh oleh berbagai kekuatan dan kepentingan asing terhadap para pemimpin politik. Itulah yang telah terjadi pada Romawi, dan saat ini terjadi juga pada Amerika. Pada abad sebelumnya, kedutaan-kedutaan asing, agen-agen dan para pelobi mereka beroperasi dan berkembang di ibukota negara. Salah satu contoh spesifik: Seorang pengusaha asing telah menyumbang untuk berbagai kegiatan Bill Clinton. Clinton lalu membuka pintu untuknya, sehingga kadang-kadang ia bertindak yang bertentangan dengan kepentingan dan kebijakan luar negeri Amerika.
5 – Profit Asing Menentukan Arah Kebijakan Internal Negara
Karena berbagai kekayaan/properti para bangsawan Romawi berasal dari tanah dan negeri asing, maka kebijakan Romawi pun dibuat untuk memfasilitasi berbagai kekayaan ini. Para milyuner dan perusahaan-perusahaan Amerika semakin mempengaruhi jalannya Pemilu di negara itu. Dalam banyak kasus, mereka (secara resmi) memang tercatat sebagai orang-orang Amerika, tetapi memiliki kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan masyarakat Amerika. Sebagai contoh, Fox News merupakan bagian dari grup media internasional News Corporation, dengan pendapatan US$ 30 milyar di seluruh dunia. Tetapi apakah nasionalisme mereka (Fox News) yang berlebihan itu merupakan produk kepentingan non-Amerika dari perusahaan News Corp.?
6 – Ambruknya Golongan Kelas Menengah
Di era ataupun periode menjelang jatuhnya Republik (Imperium) Romawi, golongan masyarakat kelas menengah di Romawi hancur – akibat murahnya biaya tenaga kerja/budak yang diperoleh dari negara asing. Di masa sekarang ini, kita menyaksikan terus meningkatnya kesenjangan pendapatan, stagnasi kelas menengah, dan hilangnya pekerjaan warga negara karena diambil alih oleh tenaga kerja asing yang dibayar lebih murah namun dengan hak-hak yang terbatas.
7 – Gerrymandering, Memanipulasi Daerah Pemilihan untuk Memperoleh Keuntungan Politik
Pada zaman dahulu, Republik Romawi menempuh segala macam cara untuk mengurangi hak-hak dan potensi kekuatan rakyatnya. GOP atau Partai Republik secara efektif berhasil memanipulasi pemilihan di tingkat distrik untuk memilih seorang anggota Kongres. Hasilnya, mereka berhasil memperoleh mayoritas 53 persen dari jumlah kursi yang ada di Kongres, meskipun para caleg partai mereka hanya memenangi 48 suara konstituen pada Pemilu 2012.
8 – Hilangnya Semangat Berkompromi
Republik Romawi, seperti juga negara Amerika, tata-politik kenegaraan bersandar pada sistem “checks and balances”. Filosofinya adalah untuk mencegah dominasi suatu kelompok terhadap kelompok yang lain, karena dalam sistem demokrasi sumber dan parameter suatu kebenaran itu bersifat dinamis yang bisa berubah di setiap zaman, dan berasal dari aspirasi kelompok-kelompok itu. Oleh karenanya, kompromi sangat diperlukan supaya sistem politik semacam ini bisa berjalan. Pada faktanya, “konsensus nasional” itu sulit dilakukan dan akhirnya imperium Romawi telah kehilangan semangat kompromi, dengan semakin meningkatnya polarisasi politik antara kelompok elit/kaya dan rakyat biasa. Apa yang tengah terjadi di Amerika tidak jauh beda.
Episode kemunduran imperium Romawi ditandai dengan kekalahan telak mereka dalam 2 perang besar di 2 zaman yang berbeda. Momentum bersejarah yang mengubah peta dunia itu akhirnya menyudahi dominasi superpower Romawi yang takluk oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Sahabat Khalid Ibnu Walid RA di Era Khalifah Umar ra dalam perang Yarmuk, dan Sultan Muhammad Al-Fatih di Era Khilafah Utsmaniyah dengan dibebaskannya Istanbul Lama (Konstantinopel). Saat ini, sebagai pewaris peradaban Romawi, Amerika juga sedang menghadapi krisis dan kerusakan sistemik pada sendi-sendi kehidupan negaranya. Perang tanpa batas terhadap kekuatan Islam berpotensi mengakhiri hegemoni imperium Amerika sebagaimana leluhur mereka dahulu. Siapakah pemimpin pasukan Islam yang akan memutar kembali episode itu? Kita lihat saja, karena sejarah akan selalu berulang. [kiblat]
Posting Komentar