Kisah Raja dan Pengrajin Baju Istana
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/03/kisah-raja-dan-pengrajin-baju-istana.html
Alkisah, sebuah kerajaan dipimpin oleh raja yang bijaksana dan menyayangi rakyatnya. Sang raja prihatin karena masih ada rakyat miskin di wilayah yang ia pimpin. Lalu ia kumpulkan beberapa warga miskin di sebuah pendopo dalam lingkungan istana. Di sana warga miskin itu diinapkan untuk beberapa hari, dan diberi proyek pembuatan pakaian untuk abdi dalem istana.
“Upah untuk kalian sudah saya bayarkan di muka. Tugas kalian untuk 10 hari ini adalah membuat baju untuk pegawai istana, masing-masing lima buah,” ujar raja kepada para warga yang sebelumnya sudah dibekali keahlian membuat baju dengan kualitas baik.
Maka bekerjalah sebanyak 20 orang warga tersebut.
Di antara mereka, ada yang merasa bersyukur atas kemurahan hati sang raja kepadanya. Maka orang itu bekerja dengan teliti dan dijaga betul kualitas pekerjaannya. Bahkan ketika malam tiba, ia masih bekerja dengan telaten mempercantik tiap baju yang ia buat.
Di antara mereka ada yang bekerja biasa saja. Yang penting sesuai dengan pesanan.
Di antara mereka ada yang tidak serius bekerjanya. Mereka bekerja malas-malasan, dan kualitas bajunya buruk. Asal jahit, asal potong, yang penting memenuhi pesanan.
Bahkan ada juga yang tidak mencapai target. Kerja mereka sehari-hari hanya menikmati keindahan istana dengan berbagai fasilitasnya.
Hingga dead line tiba, masing-masing sudah siap dengan hasil karyanya. Raja berkunjung ke pendopo tempat mereka menginap. Lantas mengumumkan sesuatu hal.
“Rakyatku, selesai sudah waktu yang aku berikan. Dan waktu kalian di pendopo ini pun telah usai. Silakan kembali ke rumah masing-masing. Kalian akan di antar dengan salah satu kereta istana. Untuk baju yang telah kalian buat, sesungguhnya itu adalah untuk kalian sendiri. Baju itu boleh kalian pakai atau kalian jual bila perlu uang.”
Setelah raja menyampaikan pesannya, maka yang membuat baju dengan sungguh-sungguh bersuka cita karena telah memiliki baju yang indah hasil buah tangannya. Dan yang membuat baju tanpa memperhatikan kualitasnya, menyesal karena membawa pulang baju dengan kualitas yang buruk yang ia sendiri tak ingin mengenakan baju itu.
*****
Saudaraku, persis seperti itulah perumpamaan ibadah yang kita lakukan. Tak pernah Allah merasa butuh atas ibadah kita. Semua rukuk dan sujud kita manfaatnya akan kembali pada diri kita sendiri.
“Barang siapa yang mengerjakan amal yang shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidakah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat: 46)
Hanya saja, ada di antara kita yang mengerjakan semua ibadah dengan begitu baik. Merajut sujud dan rukuk dengan kekhusyukan yang syahdu. Menghadirkan hati di tiap kata pada dzikir di dalam sholat. Tak mencemari istighfar dengan ingatan dunia.
Namun ada pula di antara kita yang bangkit untuk beribadah dengan rasa malas. Mengerjakannya tanpa kesungguhan. Rukuknya terisi ingatan dunia. Sujudnya terisi fikiran untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Tanpa menyerahkan kemurnian hati hanya untuk Allah dalam tiap ibadah.
Akhirnya, saat amal ibadah itu berpulang kembali pada diri masing-masing, ia datang dengan kondisi yang berbeda-beda.
“Sesungguhnya seseorang selesai (dari mengerjakan sholat) dan tidaklah ditulis baginya pahala kecuali sepersepuluh sholatnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya, atau seperenamnya, atau seperlimanya, atau seperempatnya, atau sepertiganya, atau separuhnya”. (HR Abu Dawud)
Zico Alviandri
“Upah untuk kalian sudah saya bayarkan di muka. Tugas kalian untuk 10 hari ini adalah membuat baju untuk pegawai istana, masing-masing lima buah,” ujar raja kepada para warga yang sebelumnya sudah dibekali keahlian membuat baju dengan kualitas baik.
Maka bekerjalah sebanyak 20 orang warga tersebut.
Di antara mereka, ada yang merasa bersyukur atas kemurahan hati sang raja kepadanya. Maka orang itu bekerja dengan teliti dan dijaga betul kualitas pekerjaannya. Bahkan ketika malam tiba, ia masih bekerja dengan telaten mempercantik tiap baju yang ia buat.
Di antara mereka ada yang bekerja biasa saja. Yang penting sesuai dengan pesanan.
Di antara mereka ada yang tidak serius bekerjanya. Mereka bekerja malas-malasan, dan kualitas bajunya buruk. Asal jahit, asal potong, yang penting memenuhi pesanan.
Bahkan ada juga yang tidak mencapai target. Kerja mereka sehari-hari hanya menikmati keindahan istana dengan berbagai fasilitasnya.
Hingga dead line tiba, masing-masing sudah siap dengan hasil karyanya. Raja berkunjung ke pendopo tempat mereka menginap. Lantas mengumumkan sesuatu hal.
“Rakyatku, selesai sudah waktu yang aku berikan. Dan waktu kalian di pendopo ini pun telah usai. Silakan kembali ke rumah masing-masing. Kalian akan di antar dengan salah satu kereta istana. Untuk baju yang telah kalian buat, sesungguhnya itu adalah untuk kalian sendiri. Baju itu boleh kalian pakai atau kalian jual bila perlu uang.”
Setelah raja menyampaikan pesannya, maka yang membuat baju dengan sungguh-sungguh bersuka cita karena telah memiliki baju yang indah hasil buah tangannya. Dan yang membuat baju tanpa memperhatikan kualitasnya, menyesal karena membawa pulang baju dengan kualitas yang buruk yang ia sendiri tak ingin mengenakan baju itu.
*****
Saudaraku, persis seperti itulah perumpamaan ibadah yang kita lakukan. Tak pernah Allah merasa butuh atas ibadah kita. Semua rukuk dan sujud kita manfaatnya akan kembali pada diri kita sendiri.
“Barang siapa yang mengerjakan amal yang shalih maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidakah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat: 46)
Hanya saja, ada di antara kita yang mengerjakan semua ibadah dengan begitu baik. Merajut sujud dan rukuk dengan kekhusyukan yang syahdu. Menghadirkan hati di tiap kata pada dzikir di dalam sholat. Tak mencemari istighfar dengan ingatan dunia.
Namun ada pula di antara kita yang bangkit untuk beribadah dengan rasa malas. Mengerjakannya tanpa kesungguhan. Rukuknya terisi ingatan dunia. Sujudnya terisi fikiran untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Tanpa menyerahkan kemurnian hati hanya untuk Allah dalam tiap ibadah.
Akhirnya, saat amal ibadah itu berpulang kembali pada diri masing-masing, ia datang dengan kondisi yang berbeda-beda.
“Sesungguhnya seseorang selesai (dari mengerjakan sholat) dan tidaklah ditulis baginya pahala kecuali sepersepuluh sholatnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya, atau seperenamnya, atau seperlimanya, atau seperempatnya, atau sepertiganya, atau separuhnya”. (HR Abu Dawud)
Zico Alviandri
Posting Komentar