Cariin aku suami aja mba
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/01/cariin-aku-suami-aja-mba.html
"Cariin aku suami aja mba.." Sahutnya pelan. Perempuan cantik di depanku ini lalu terdiam. Pandangannya kini beralih ke motor yang lalu lalang di depan kami. Aku tidak sengaja berpaspasan dengannya di jalan yang biasa aku lewati sepulang mengantar anakku sekolah. Lalu seperti biasa kami pun mengobrol tentang banyak hal.
Sebut saja namanya Bunga. Usia kami terpaut lima tahun. Dia seusia kakakku yang nomor dua. Tapi aku dan mba Bunga sudah seperti teman sebaya. Kami belum lama saling mengenal, tapi sudah seperti sahabat lama.
Mba Bunga baru saja menapaki eposide baru kehidupannya. Dulu sepenuh waktunya untuk mentaati suami, mengurus anak- anak dan rumah tangga. Dulu ia sebagaimana fitrah wanita, rumah adalah tempat ternyamannya untuk berkarya, jahit menjahit adalah hobinya sekaligus bisnis kecil- kecilannya. Dulu ia mungkin tidak sempat berpikir bahwa beberapa bulan terakhir ini ia harus membesarkan anak- anaknya seorang diri, tanpa suami di sisi.
"Aku lelah mbak. Sebenarnya udah beberapa hari ini badanku ga enak, tapi hari ini aku benar- benar ngerasa ga kuat lagi. Aku butuh istirahat sehari dua hari. Mudah-mudahan bosku maklum" sambungnya datar. Iya aku mengerti, istirahat yang ia sebut itu tentulah bukan benar- benar istirahat. Dia masih tetap harus belanja, memasak untuk anak- anak, dan mengurus keperluan mereka.
Bekerja kantoran memang melelahkan bagi seorang perempuan single parent, tanpa saudara atau seorang pun yang membantunya. Seperti Mba Bunga, setelah bertahun- tahun ada yang menafkahi kini ia harus mengatur hidupnya sedemikian rupa agar semua terkendali. Mengurus dua anak yang sudah mulai sekolah dan juga harus mencari uang untuk menjawab semua kebutuhan rumahtangganya. Menemani anak- anak bermain dan mendidik mereka dengan iman. Menjadi sosok Ibu yang penuh kasih sayang sekaligus menghadirkan figur ayah dalam proses pengasuhan anak-anaknya.
"Kini aku ngerasain gmn beratnya jadi kepala keluarga mba.." Dia menatapku yang hanya diam menyimak curhatannya. Sesekali kuhempaskan napas yang selalu berat setiap kali mengikuti kisahnya.
"Kalo aku, ga punya uang aku masih bisa puasa.. Tapi anak- anak? Aku sering cemas mikirin hari esok gimana anakku makan, kadang gajiku sudah habis beberapa hari setelah gajian"
Aku tau persis kondisi keuangannya. Tidak ada saudara yang membantunya. Tidak juga ayah dari anak- anaknya, yang mestinya paham kewajibannya menafkahi.
"Terakhir aku menutup tabungan berencanaku yg belum seberapa.. Yaaa Alhamdulillah cukuplah untuk bernapas beberapa hari ini mba.. Walaupun kena potongan juga tapi gak papa". Sambungnya sambil menahan nyeri di dada, nyeri yang sering kambuh kalau dia kelelahan. Aku memandangnya iba. Wanita tangguh di depanku ini bagaimanapun tetaplah seorang wanita. Bukan kodratnya membanting tulang. Dia tidak selamanya kuat, seringkali dia lemah.
***
Kisah di atas mungkin tidak hanya terjadi pada satu dua orang, tapi ada banyak cerita serupa yang dialami orang lain. Perjuangan seorang wanita yang kembali hidup sendiri, tapi hidup bukan lagi tentang dirinya saja, melainkan ada wajah- wajah polos yang menggantungkan hidup padanya.
Pada mereka ini, patutlah kita tanam empati dalam- dalam. Tidak hanya hati yang kesepian, jiwa yang merindu belahan, tapi lebih dari itu, kebutuhan kebutuhan lahir yang tidak bisa dielakkan. Mereka memutar otak sendirian. Bagaimana mencukupi gizi anak- anak. Anak minta jajan. Minta beli mainan. Uang kontrakan. Dll.
Sekaligus kita banyak- banyak bersyukur, bila sampai kini Allah masih menakdirkan kita hidup bersama pasangan. Banyak- banyak berdoa agar Allah mudahkan kita merawat pernikahan. Karena di luar sana, terlalu banyak jiwa yang merindukan anugrah yang sama.
~Monalisa Ummi Farza
Sebut saja namanya Bunga. Usia kami terpaut lima tahun. Dia seusia kakakku yang nomor dua. Tapi aku dan mba Bunga sudah seperti teman sebaya. Kami belum lama saling mengenal, tapi sudah seperti sahabat lama.
Mba Bunga baru saja menapaki eposide baru kehidupannya. Dulu sepenuh waktunya untuk mentaati suami, mengurus anak- anak dan rumah tangga. Dulu ia sebagaimana fitrah wanita, rumah adalah tempat ternyamannya untuk berkarya, jahit menjahit adalah hobinya sekaligus bisnis kecil- kecilannya. Dulu ia mungkin tidak sempat berpikir bahwa beberapa bulan terakhir ini ia harus membesarkan anak- anaknya seorang diri, tanpa suami di sisi.
"Aku lelah mbak. Sebenarnya udah beberapa hari ini badanku ga enak, tapi hari ini aku benar- benar ngerasa ga kuat lagi. Aku butuh istirahat sehari dua hari. Mudah-mudahan bosku maklum" sambungnya datar. Iya aku mengerti, istirahat yang ia sebut itu tentulah bukan benar- benar istirahat. Dia masih tetap harus belanja, memasak untuk anak- anak, dan mengurus keperluan mereka.
Bekerja kantoran memang melelahkan bagi seorang perempuan single parent, tanpa saudara atau seorang pun yang membantunya. Seperti Mba Bunga, setelah bertahun- tahun ada yang menafkahi kini ia harus mengatur hidupnya sedemikian rupa agar semua terkendali. Mengurus dua anak yang sudah mulai sekolah dan juga harus mencari uang untuk menjawab semua kebutuhan rumahtangganya. Menemani anak- anak bermain dan mendidik mereka dengan iman. Menjadi sosok Ibu yang penuh kasih sayang sekaligus menghadirkan figur ayah dalam proses pengasuhan anak-anaknya.
"Kini aku ngerasain gmn beratnya jadi kepala keluarga mba.." Dia menatapku yang hanya diam menyimak curhatannya. Sesekali kuhempaskan napas yang selalu berat setiap kali mengikuti kisahnya.
"Kalo aku, ga punya uang aku masih bisa puasa.. Tapi anak- anak? Aku sering cemas mikirin hari esok gimana anakku makan, kadang gajiku sudah habis beberapa hari setelah gajian"
Aku tau persis kondisi keuangannya. Tidak ada saudara yang membantunya. Tidak juga ayah dari anak- anaknya, yang mestinya paham kewajibannya menafkahi.
"Terakhir aku menutup tabungan berencanaku yg belum seberapa.. Yaaa Alhamdulillah cukuplah untuk bernapas beberapa hari ini mba.. Walaupun kena potongan juga tapi gak papa". Sambungnya sambil menahan nyeri di dada, nyeri yang sering kambuh kalau dia kelelahan. Aku memandangnya iba. Wanita tangguh di depanku ini bagaimanapun tetaplah seorang wanita. Bukan kodratnya membanting tulang. Dia tidak selamanya kuat, seringkali dia lemah.
***
Kisah di atas mungkin tidak hanya terjadi pada satu dua orang, tapi ada banyak cerita serupa yang dialami orang lain. Perjuangan seorang wanita yang kembali hidup sendiri, tapi hidup bukan lagi tentang dirinya saja, melainkan ada wajah- wajah polos yang menggantungkan hidup padanya.
Pada mereka ini, patutlah kita tanam empati dalam- dalam. Tidak hanya hati yang kesepian, jiwa yang merindu belahan, tapi lebih dari itu, kebutuhan kebutuhan lahir yang tidak bisa dielakkan. Mereka memutar otak sendirian. Bagaimana mencukupi gizi anak- anak. Anak minta jajan. Minta beli mainan. Uang kontrakan. Dll.
Sekaligus kita banyak- banyak bersyukur, bila sampai kini Allah masih menakdirkan kita hidup bersama pasangan. Banyak- banyak berdoa agar Allah mudahkan kita merawat pernikahan. Karena di luar sana, terlalu banyak jiwa yang merindukan anugrah yang sama.
~Monalisa Ummi Farza
Posting Komentar