Kisah Dosen Universitas Islam Madinah yang Anti Wahabi
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/01/kisah-dosen-universitas-islam-madinah.html
Ini adalah kisah yang sungguh mengagumkan. Ketika Universitas Islam di Madinah baru saja dibuka oleh Syaikh bin Baz rahimahullahu, tentunya beliau membutuhkan banyak ulama dari penjuru dunia Islam. Sedangkan metode Syaikh bin Baz adalah beliau melakukan pendekatan kepada seluruh kelompok tanpa membedakannya. Siapa saja yang masuk ke rumah syaikh, bermulazamah kepada beliau, pasti tahu bahwa inilah manhaj Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Namun beliau tidak pernah berkata suatu yang batil atau bahkan mengajak kepada kebatilan. Beliau juga tidak pernah mengingkari pelaku kebatilan dengan cara keras. Sebaliknya, beliau bersikap ramah, bergurau, mengunjungi mereka, tersenyum, memberikan hadiah dan memberikan bantuan kepada mereka atas setiap hal yang mendatangkan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Inilah metode dan manhaj Syaikh bin Baz. Barangsiapa mengatakan selain ini maka ia telah berdusta. Beliau selalu menasehati, mengajak kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar.
Tetapi dengan penuh kelembutan, kesantunan, hikmah, bijaksana dan murah senyum.
Diantara para masyaikh yang didatangkan untuk mengajar di Universitas Islam Madinah adalah masyaikh ahli qiro’ah dari Mesir, diantara mereka adalah Syaikh Abdul Fattah al-Qadhi. Beliau termasuk salah seorang ulama yang mengoreksi mushaf terbitan Mujamma’ al-Malik Fahd.
Syaikh Abdul Fattah ini termasuk ulama yang tidak ada tandingannya di zaman ini dalam ilmu qiro’ah dan ulumul Qur’an. Beliau adalah ulama yang pengetahuannya tentang ilmu Qur’an bagaikan samudera.
Sebelum berangkat ke Madinah, orang-orang Mesir sudah memperingatkan beliau bahwa dia akan mendatangi kaum (Wahhabi) yang bersifat begini dan begitu. Berhati-hatilah dalam berbicara dengan mereka, karena jika tidak mereka tidak akan memaafkanmu.
Akhirnya Syaikh pun berangkat ke Madinah. Di Madinah, beliau sangat waspada dan berhati-hati, hanya saja beliau orang yang tempramental, walau pandai berdebat, tetapi jika beliau murka, akan keluar dari mulut beliau perkataan yang tidak layak.
Semoga Alloh merahmati beliau.
Singkat cerita, beliaupun diberi jadwal mengajar di Jami’ah dan mulai mengajar. Pada suatu waktu di tengah mengajar, secara tidak sadar beliau mengucapkan “wan-nabi” (demi Nabi).
Orang-orang Mesir memang memiliki kebiasaan bersumpah dengan nama Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam. Tiba-tiba seorang mahasiswa berdiri dan berkata : “ Ya Syaikh! Anda telah bersumpah dengan nama Nabi, padahal beliau bersabda : “ Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Alloh maka ia telah kafir atau musyrik” ( Diriwayatkan Tirmidzi.” )
Syaikh tiba-tiba langsung berubah seperti orang gila, marah-marah dan berkata, “Saya kafir ?! Saya Musyrik?! Saya yang mengajarkan al-Qur’an kepada kalian dan kalian mengatakan saya kafir atau musyrik ?!!”
Emosi beliaupun mulai naik dan berbicara kasar memaki-maki mahasiswa tersebut. Beliau mengatakan mahasiswa tersebut dengan ucapan buruk, dikatakan bodoh lah, tidak punya adab, tidak punya sopan santun, dan lain sebagainya.
Padahal mahasiswa tadi hanya menyampaikan sabda Rasulullah, “ Barangsiapa bersumpah dengan selain nama Alloh maka dia telah kafir atau musyrik”.
Akhirnya terjadi keributan keras di kelas antara mahasiswa dan Syaikh sehingga kelas menjadi ricuh dan gaduh. Dengan kemarahan yang masih meluap-luap, syaikh langsung keluar dari kelas sembari berteriak-teriak,
“Kamu mengkafirkan saya?! Padahal saya adalah syaikh para ahli qiro’ah di Mesir! Apakah pada usia ini saya sudah menjadi kafir?! Setelah beruban seperti ini menjadi musyrik?!…” Beliau terus menceracau macam-macam…
Syaikh Abdul Aziz al-Qori’, ketua panitia pengawasan penerbitan mushaf bertemu beliau dijalan, dan bertanya kepadanya, “ada apa ya syaikh? ada apa?”
Syaikh Abdul Fattah menjawab, “Anda tidak tahu apa yang dikatakan mahasiswa itu ? Mereka mengatakan saya telah kafir! Mengatakan saya begini dan begitu!”
Syaikh Abdul Aziz berkata, “ Sudahlah ya syaikh, mereka itu hanya mahasiswa, masih anak-anak. Mereka tidak bermaksud mengkafirkan anda, mereka cuma ingin menasehati anda. Mungkin hanya salah ucap saja”
Syaikh Abdul Aziz yang menceritakan kisah ini kepada saya (Syaikh Muhammad Duwaisy) mengatakan bahwa beliau berupaya menenangkannya, dan akhirnya beliau mengajaknya untuk naik ke mobil beliau dan mengajak ke rumahnya.
Yang jelas, hari itu adalah hari terburuk bagi Syaikh Abdul Fattah. Beliaupun memutuskan untuk mengakhiri kontraknya mengajar di Jami’ah dan mempacking barang-barangnya untuk segera pulang ke Mesir, karena beliau mendengar bahwa kaum ini (Wahhabi) tidak akan memaafkan jika ada seseorang berbuat salah, mereka akan menghukumnya dengan hukum yang sangat keras.
Semenjak pagi Syaikh bin Baz sudah mendengar kejadian tersebut. Beliau pun menelpon Syaikh Abdul Aziz al-Qori untuk menjemput Syaikh Abdul Fattah dan membawa beliau ke kantornya.
Keesokan harinya, Syaikh Abdul Aziz dan Syaikh Abdul Fattah mendatangi kantor Syaikh bin Baz. Syaikh Abdul Fattah mengira bahwa dirinya akan diberhentikan dan dipecat. Beliau membayangkan bahwa Syaikh bin Baz akan mengatakan, “ Wahai Abdul Fattah,sesungguhnya kamu melakukan kesalahan yang besar, karena itu tidak ada tempat di sini bagi orang yang bersumpah dengan selain nama Alloh dan mengajarkan hal itu kepada anak didik kami di Universitas.”
Kira – kira coba anda bayangkan apa yang dilakukan Syaikh bin Baz?! Ketika Syaikh Abdul Fattah tiba, Syaikh bin Baz langsung bangkit menuju pintu, padahal beliau orang yang buta, dalam rangka menyambut dan menyalami Syaikh Abdul Fattah, beliau berkata : “ Bagaimana kabar anda ya Syaikh Abdul Fattah ? Bagaimana keadaan Anda ? Bagaimana di Jami’ah, senangkah Anda tinggal di sini? tinggal di Madinah?…”
Kemudian Syaikh bin Baz mempersilakan Syaikh Abdul Fattah duduk di samping beliau, lalu berkata kepadanya : “ Ya Syaikh, anda kan tinggal sendirian di Madinah, bagaimana jika kami menikahkan Anda di sini agar Anda merasa nyaman dan ada yang melayani Anda?”
Syaikh Abdul Fattah terheran-heran, sebab tadi malam beliau mengira bahwa hari ini adalah hari terakhirnya di kota Nabi Madinah. Namun Syaikh bin Baz sepertinya mengubah tema pembahasan dan sama sekali tidak membahas ucapan keliru Syaikh Abdul Fattah.
Beliau sama sekali tidak mengatakan, “anda telah salah, tidak faham sedikitpun! ahli bid’ah! orang sesat! miskin!!!…” Tidak, Syaikh bin Baz sama sekali tidak mengatakan demikian, karena hal ini adalah tidak pantas.
Syaikh Abdul Fattah sebenarnya adalah orang yang mudah untuk menerima kebenaran. Hanya saja perlu cara dan teknik tertentu agar beliau bisa menerima kebenaran dengan mudah.
Syaikh bin Baz terus saja menyenangkan hati beliau, bergurau dengannya dan sampai akhirnya Syaikh bin Baz berkata kepadanya, “ Wahai Syaikh, para mahasiswa itu terkadang tidak faham bagaimana cara berbuat sopan di hadapan para masyaikh. Karena itu seharusnya Syaikh bisa bersikap bijak terhadap mereka dan bersabar atas perlakuan mereka.”
Syaikh kemudian menjelaskan kepada beliau, “ Anda wajib mengajarkan kepada mereka sopan santun, menjadikan mereka terdidik, bertindak bijak terhadap mereka, tidak mudah emosi akan kesalahan yang ada pada mereka. Anda sendiri pasti tahu bahwa
Anda adalah orang yang lebih pandai dari kita semua. Kita harus bersabar menghadapi mereka dan berdiskusi dengan mereka dengan cara yang hikmah.”
Akhirnya Syaikh Abdul Fattah melunak hatinya dan mengatakan “Baiklah Syaikh”, karena beliau tahu bahwa tindakannya kemarin adalah sangat tidak pantas.
Syaikh Abdul Aziz al-Qori, yang menceritakan hal ini kepada saya mengatakan, “Setelah itu kami keluar dari kantor dengan rasa penuh hormat dan kemuliaan. Kami pun beranjak keluar dari area Jami’ah. Kemudian saya bertanya kepada Syaikh Abdul Fattah, “Anda mau pergi ke mana wahai Syaikh?”
Syaikh menjawab, “Saya ingin pulang ke rumah.”
Saya berkata, “Baiklah, saya akan mengantarkan Anda ke rumah.”
Kemudian Syaikh Abdul Fattah naik mobil bersamaku, kemudian beliau menoleh kepadaku dan berkata, “Wahai Syaikh Abdul Aziz al-Qori, saya punya permintaan.”
Saya menjawab, “ Apa permintaan Anda?”.
Beliau menjawab, “Orang-orang Wahhabi ini, saya ingin membaca buku-buku mereka.”
Saya berkata, “baiklah”.
Setelah itu saya pilihkan beberapa buku karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan beberapa ulama lainnya, lalu kuberikan kepada beliau. Setelah itu beliau membacanya selama seminggu penuh tanpa henti siang dan malam.”
Syaikh Abdul Aziz al-Qori melanjutkan, “ Seminggu kemudian saya mengunjungi beliau dan bertanya padanya, “ Bagaimana buku-buku yang telah Anda baca? Bagaimana pendapat Anda tentangnya?”
Beliau menjawab, “Demi Alloh! Kalian semua adalah benar dan dulu Saya yang salah. Adapun orang-orang ahlus sunnah yang saya temui, mereka jauh sekali dari praktik yang terdapat dalam buku-buku ini. Saya sekarang sudah mengetahui kebenaran tersebut. Demi Alloh ! Saya dulu meyakini bahwa kalian adalah orang-orang yang begini dan begitu… mudah-mudahan Alloh mengampuniku.”
Wahai saudara-saudaraku…
Apa yang mendorong beliau untuk membaca kebenaran dan puas menerimanya?! Jawablah pertanyaanku…
Tentunya ini semua dengan adab, kelemah lembutan, akhlaq yang mulia, kesabaran, sopan santun dan memenuhi kewajiban hak-hak seorang muslim, bukannya malah tindakan menghajr, membenci, mengucilkan dan lain sebagainya.
Wahai saudara-saudaraku…
Inilah akhlaq seorang alim besar, yang saya yakin bahwa saya dan anda bersepakat akan keilmuannya
Adakah kita mau mengambil dan memetik faidah ini?!
Maukah kita bercermin kembali, sudahkah akhlaq kita mencerminkan akhlaqnya para salaf yang shalih?!
Ataukah kita malah gemar menghujat, mencemooh, mencela, mengucilkan, bahkan sampai menvonis bid’ah secara serampangan?!
Memang benar kiranya ucapan Syaikh al-Albani, bahwa “ ajarkan aqidah kepada ummat dan ajarkan akhlaq kepada salafiyyin”.
Karena memang sebagian saudara kita salafiyyin butuh untuk lebih mempelajari akhlaq yang mulia.
Sumber: Abu Bassam
https://seindahsunnah.com/…/kisah-dosen-universitas-islam-…/.
Posting Komentar