Filsafat islam vs filsafat sekuler
https://bariqunnury.blogspot.com/2017/01/filsafat-islam-vs-filsafat-sekuler.html
*FILSAFAT ISLAM VERSUS FILSAFAT SEKULER*
Pengantar Diskusi: Ismail Al Alam*
Filsafat sebagai pondasi ilmu pengetahuan telah menjadi materi wajib di kampus-kampus negeri. Buku-buku filsafat telah mengalami proses pengkajian, pembedahan sampai dengan kritik.
Sebagian kalangan yg meyakini bahwa argumen-argumen filsafat dalam referensi yang mereka peroleh adalah capaian tertinggi dari kemampuan nalar manusia untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Tak jarang dari mereka yang menghilangkan peran agama baik secara sadar maupun tidak sadar, secara terang terangan maupun malu malu.
Agama dinyatakan sebagai musuh terbesar nalar manusia karena praktik keagamaan sebuah agama di wilayah tertentu dan di masa tertentu pernah mengebiri agama sedemikian rupa.
Di bagian lain, ada kalangan yang menolak sama sekali menggunakan filsafat sebagai salah satu modal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Filsafat memicu sikap dan pandangan berbahaya terhadap suatu hal yang dianggap tabu dalam agama. Tabu untuk dipertimbangkan. Dua kalangan ini pada akhirnya terpaksa berhadap-hadapan dan seringkali saling hujat dalam beberapa kesempatan.
Think Tank, Filsafat, dan Islam
Think Tank, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, adalah “Wadah Pemikir(an)”. Kerja think tank adalah menelaah bidang-bidang tertentu, dengan cara pandang tertentu, yang hasilnya adalah produk-produk ilmiah sebagai rekomendasi bagi pengambil kebijakan (pemerintah), media massa, ormas, orpol, kehidupan masyarakat sehari-hari, dsb.
Think tank banyak ditemukan di berbagai isu. Di musim kampanye, think tank di bidang politik biasanya mengambil keuntungan besar dari penyelenggaraan jajak pendapat (survey) sebagai mitra konsultasi kubu politik (cagub, partai dll). Yang tidak mampu menyelenggarakan survey, biasanya menggelar seminar-seminar atau menyajikan publikasi-publikasi ilmiah untuk mendorong keadaan politik agar sesuai kehendaknya. Yang pernah kuliah di IPB, mungkin pernah mendengar nama “Sajogyo Institut”, yakni think tank yang fokus pada isu-isu agraria. Dalam isu-isu keagamaan, ada PUSAD Paramadina, Wahid Institute, Dian Interfidei, dsb.
Apa kaitan materi filsafat Islam dengan uraian itu semua? Kata kuncinya adalah “pemikiran” dan “masyarakat”. Pemikiran bisa mengubah masyarakat, apapun bentuknya. Pemikiran yang mendalam akan mendorong masyarakat untuk tekun mengkaji keadaan dan sistematis dalam menyampaikan pandangan. Hal itu akan mempengaruhi orang lain. Jika ia bersetuju, pendukung suatu pikiran akan semakin meluas, bahkan mendapat dukungan dari pengambil kebijakan.
Sebaliknya, pemikiran yang dangkal akan membentuk masyarakat serba gampangan, ingin cepat menjangkau segala hal yang baginya sudah cukup untuk menjelaskan keadaan. Maka jadilah ia masyarakat yang gampang panik, gampang marah, gampang mendayu-dayu, dst.
Pertanyaannya, ada di mana posisi “kita”, khususnya umat Islam di Indonesia?
Dalam sepekan terakhir (8-14 Januari 2017), koran Kompas memuat 8-9 opini tentang kebangsaan. Empat di antaranya dari dosen-dosen filsafat di STF Driyarkara dan UI. Mereka menjelaskan apa itu “manusia”, “masyarakat”, “bangsa”, “keadilan”, “kerukunan”, dsb. Keempat dosen itu (di hari yang berbeda-beda) menuliskan “manusia” dengan sangat sekular, yang berdampak pada pengelolaan hidup manusia (sebagai masyarakat dan warga negara) yang juga sangat sekular. Mereka seakan sepakat bahwa hidup beragama, membawa agama di ruang publik, apalagi dengan kekuatan politik/sosial/ekonomi tertentu adalah ancaman bagi “bangsa”. Artikel ini mungkin tidak banyak dibaca orang, tetapi yang sering membacanya adalah orang-orang dengan kapasitas tertentu dalam mempengaruhi keadaan masyarakat lebih luas (akademisi, peneliti, pemerintah).
Nah, dari hal-hal seperti ini lah, sejak puluhan tahun lalu, Kompas, think tank yang menjadi rekannya (seperti CSIS, LP3ES, Paramadina), dan pemerintah menyebarkan dan mendukung ide-ide yang kita kenal sebagai sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ide-ide seperti itu berangkat dari pemikiran filosofis tertentu.
Di sinilah, konsep-konsep utama dalam filsafat Islam mesti kita gali kembali, untuk membaca persoalan hari ini. Jika sebagian besar pembaca adalah mahasiswa dan mantan mahasiswa, apakah ilmu-ilmu yang dipelajari di ruang kelas sudah sesuai dengan Islam?
Di beberapa kampus kini sering terdapat mata kuliah “Filsafat Ilmu” untuk jurusan non-filsafat. Mata kuliah itu, jika dipelajari dengan cermat, adalah pendasaran bagi ilmu yang sekuler. Artinya, ilmu-ilmu yang kita pelajari di ruang akademik hari ini, khususnya yang mengambil kuliah non-agama, adalah ilmu-ilmu sekuler.
Untuk memberikan “tambahan Islami” dari yang sekuler itu, biasanya ada aktif di organisasi dakwah, tetapi itu belum menjawab persoalan. Sebagian lain dari kita juga sering melakukan “cocoklogi”, bahwa kejadian alam tertentu sudah ada dalam Qur’an dan binatang tertentu sudah ada dalam hadits. Tentunya solusi untuk mengobati hal-hal yang sekuler tidak sesederhana itu. Kita harus membangun jembatan epistemologi (teori tentang ilmu pengetahuan) antara filsafat dan agama. Artinya, harus ada titik temu yang dapat mempersatukan pandangan filsafat dan agama. Di sinilah pentingnya membangun kembali filsafat Islam yang mendahulukan wahyu untuk membimbing akal budi manusia
Baca selengkapnya>>> https://indonesianthinktank.wordpress.com/2017/01/19/filsafat-islam-versus-filsafat-sekuler/
Pengantar Diskusi: Ismail Al Alam*
Filsafat sebagai pondasi ilmu pengetahuan telah menjadi materi wajib di kampus-kampus negeri. Buku-buku filsafat telah mengalami proses pengkajian, pembedahan sampai dengan kritik.
Sebagian kalangan yg meyakini bahwa argumen-argumen filsafat dalam referensi yang mereka peroleh adalah capaian tertinggi dari kemampuan nalar manusia untuk menyelesaikan persoalan yang ada. Tak jarang dari mereka yang menghilangkan peran agama baik secara sadar maupun tidak sadar, secara terang terangan maupun malu malu.
Agama dinyatakan sebagai musuh terbesar nalar manusia karena praktik keagamaan sebuah agama di wilayah tertentu dan di masa tertentu pernah mengebiri agama sedemikian rupa.
Di bagian lain, ada kalangan yang menolak sama sekali menggunakan filsafat sebagai salah satu modal untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Filsafat memicu sikap dan pandangan berbahaya terhadap suatu hal yang dianggap tabu dalam agama. Tabu untuk dipertimbangkan. Dua kalangan ini pada akhirnya terpaksa berhadap-hadapan dan seringkali saling hujat dalam beberapa kesempatan.
Think Tank, Filsafat, dan Islam
Think Tank, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, adalah “Wadah Pemikir(an)”. Kerja think tank adalah menelaah bidang-bidang tertentu, dengan cara pandang tertentu, yang hasilnya adalah produk-produk ilmiah sebagai rekomendasi bagi pengambil kebijakan (pemerintah), media massa, ormas, orpol, kehidupan masyarakat sehari-hari, dsb.
Think tank banyak ditemukan di berbagai isu. Di musim kampanye, think tank di bidang politik biasanya mengambil keuntungan besar dari penyelenggaraan jajak pendapat (survey) sebagai mitra konsultasi kubu politik (cagub, partai dll). Yang tidak mampu menyelenggarakan survey, biasanya menggelar seminar-seminar atau menyajikan publikasi-publikasi ilmiah untuk mendorong keadaan politik agar sesuai kehendaknya. Yang pernah kuliah di IPB, mungkin pernah mendengar nama “Sajogyo Institut”, yakni think tank yang fokus pada isu-isu agraria. Dalam isu-isu keagamaan, ada PUSAD Paramadina, Wahid Institute, Dian Interfidei, dsb.
Apa kaitan materi filsafat Islam dengan uraian itu semua? Kata kuncinya adalah “pemikiran” dan “masyarakat”. Pemikiran bisa mengubah masyarakat, apapun bentuknya. Pemikiran yang mendalam akan mendorong masyarakat untuk tekun mengkaji keadaan dan sistematis dalam menyampaikan pandangan. Hal itu akan mempengaruhi orang lain. Jika ia bersetuju, pendukung suatu pikiran akan semakin meluas, bahkan mendapat dukungan dari pengambil kebijakan.
Sebaliknya, pemikiran yang dangkal akan membentuk masyarakat serba gampangan, ingin cepat menjangkau segala hal yang baginya sudah cukup untuk menjelaskan keadaan. Maka jadilah ia masyarakat yang gampang panik, gampang marah, gampang mendayu-dayu, dst.
Pertanyaannya, ada di mana posisi “kita”, khususnya umat Islam di Indonesia?
Dalam sepekan terakhir (8-14 Januari 2017), koran Kompas memuat 8-9 opini tentang kebangsaan. Empat di antaranya dari dosen-dosen filsafat di STF Driyarkara dan UI. Mereka menjelaskan apa itu “manusia”, “masyarakat”, “bangsa”, “keadilan”, “kerukunan”, dsb. Keempat dosen itu (di hari yang berbeda-beda) menuliskan “manusia” dengan sangat sekular, yang berdampak pada pengelolaan hidup manusia (sebagai masyarakat dan warga negara) yang juga sangat sekular. Mereka seakan sepakat bahwa hidup beragama, membawa agama di ruang publik, apalagi dengan kekuatan politik/sosial/ekonomi tertentu adalah ancaman bagi “bangsa”. Artikel ini mungkin tidak banyak dibaca orang, tetapi yang sering membacanya adalah orang-orang dengan kapasitas tertentu dalam mempengaruhi keadaan masyarakat lebih luas (akademisi, peneliti, pemerintah).
Nah, dari hal-hal seperti ini lah, sejak puluhan tahun lalu, Kompas, think tank yang menjadi rekannya (seperti CSIS, LP3ES, Paramadina), dan pemerintah menyebarkan dan mendukung ide-ide yang kita kenal sebagai sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Ide-ide seperti itu berangkat dari pemikiran filosofis tertentu.
Di sinilah, konsep-konsep utama dalam filsafat Islam mesti kita gali kembali, untuk membaca persoalan hari ini. Jika sebagian besar pembaca adalah mahasiswa dan mantan mahasiswa, apakah ilmu-ilmu yang dipelajari di ruang kelas sudah sesuai dengan Islam?
Di beberapa kampus kini sering terdapat mata kuliah “Filsafat Ilmu” untuk jurusan non-filsafat. Mata kuliah itu, jika dipelajari dengan cermat, adalah pendasaran bagi ilmu yang sekuler. Artinya, ilmu-ilmu yang kita pelajari di ruang akademik hari ini, khususnya yang mengambil kuliah non-agama, adalah ilmu-ilmu sekuler.
Untuk memberikan “tambahan Islami” dari yang sekuler itu, biasanya ada aktif di organisasi dakwah, tetapi itu belum menjawab persoalan. Sebagian lain dari kita juga sering melakukan “cocoklogi”, bahwa kejadian alam tertentu sudah ada dalam Qur’an dan binatang tertentu sudah ada dalam hadits. Tentunya solusi untuk mengobati hal-hal yang sekuler tidak sesederhana itu. Kita harus membangun jembatan epistemologi (teori tentang ilmu pengetahuan) antara filsafat dan agama. Artinya, harus ada titik temu yang dapat mempersatukan pandangan filsafat dan agama. Di sinilah pentingnya membangun kembali filsafat Islam yang mendahulukan wahyu untuk membimbing akal budi manusia
Baca selengkapnya>>> https://indonesianthinktank.wordpress.com/2017/01/19/filsafat-islam-versus-filsafat-sekuler/
Posting Komentar