X-Man dalam Dakwah
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/01/x-man-dalam-dakwah.html
By: Nandang Burhanudin
*****
Dalam sejarah Ikhwanul Muslimin. Tak sedikit tokoh-tokoh sentral IM keluar dari jamaah. Ada yang disebabkan alasan fikroh, konstelasi politik, ataupun idari. Di era awal, tercatat tokoh sekaliber Syaikh Al-Ghazali. Pengarang puluhan kitab motivasi di antaranya: Jaddid Hayatak, Fiqh Sirah, dll.
Suatu ketika, SYaikh Ghazali diundang wawancara TV. Pemilik TV menitipkan pesan, agar mengupas keburukan Ikhwanul Muslimin. Namun SYaikh Al-Ghazali menolak. Ketika diingatkan, bahwa jamaah IM telah memecatnya. Beliau menjawab tegas, "Jika Ikhwanul Muslimin telah menguatkan diriku di saat titik lemahku. Maka aku pastikan, diriku tak akan memanfaatkan kekuatanku untuk mengumbar aib Ikhwan dalam kondisi lemahnya. Bukan akhlakku mencubit luka yang menganga."
Bahkan Asy-Syahid Hasan Al-Banna mencontohkan akhlak terbaik bagi individu-individu yang keluar dari jamaah. Al-Banna memosisikannya sebagai "Al-Akh" (saudara), walaupun mungkin pernah melakukan hal yang tak mengenakkan.
Itulah akhlak. Mengumbar aib, menyoroti kesalahan, menganggap tiada jasa, membesar-besarkan masalah. Semua bisa melakukannya. Si bodoh atau si pintar. Si shalih atau si thalih. Terbina ataupun terhina. Atmosfir yang hanya mesra di kala bahagia. Namun saat terjadi friksi, menyerang dengan 1001 jurus sambil ketus dan kukulutus (marah di belakang).
Demikian yang dilakukan Syaikh Al-Bahi Al-Khuli dan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, generasi awal IM. Ketika politik Gamal Abdun Nasser sangat mengekang Ikhwan. Mereka berdua keluar dari aktivitas struktural. Namun semua didasari pada misi, risalah, target. Memberi sumbangsih nyata di medan amal untuk mengabdikan pada Islam. Sepanjang hidup kedua syaikh tersebut, tak terdengar isu-isu miring tentang Ikhwan. X-Ikhwan yang punya kapasitas, terus menunjukkan kualitas. Ia tidak pernah menjadikan dirinya X-Man yang penuh misteri. Mengumbar x-files bahkan aib yang sebenarnya mencoreng diri sendiri. Meniru Al-Ghazali, Al-Qaradhawi, Al-Khuli, Abdul Mu'izz Abdussattar, atau Sayyid Sabiq. Mereka tak pernah menjadikan kegaduhan, sikap reaktif sebagai pilihan. Semua sibuk berkarya nyata, mencetak generasi, membuahkan ratusan karya tulis. Karena dakwah tak kenal X-man
*****
Dalam sejarah Ikhwanul Muslimin. Tak sedikit tokoh-tokoh sentral IM keluar dari jamaah. Ada yang disebabkan alasan fikroh, konstelasi politik, ataupun idari. Di era awal, tercatat tokoh sekaliber Syaikh Al-Ghazali. Pengarang puluhan kitab motivasi di antaranya: Jaddid Hayatak, Fiqh Sirah, dll.
Suatu ketika, SYaikh Ghazali diundang wawancara TV. Pemilik TV menitipkan pesan, agar mengupas keburukan Ikhwanul Muslimin. Namun SYaikh Al-Ghazali menolak. Ketika diingatkan, bahwa jamaah IM telah memecatnya. Beliau menjawab tegas, "Jika Ikhwanul Muslimin telah menguatkan diriku di saat titik lemahku. Maka aku pastikan, diriku tak akan memanfaatkan kekuatanku untuk mengumbar aib Ikhwan dalam kondisi lemahnya. Bukan akhlakku mencubit luka yang menganga."
Bahkan Asy-Syahid Hasan Al-Banna mencontohkan akhlak terbaik bagi individu-individu yang keluar dari jamaah. Al-Banna memosisikannya sebagai "Al-Akh" (saudara), walaupun mungkin pernah melakukan hal yang tak mengenakkan.
Itulah akhlak. Mengumbar aib, menyoroti kesalahan, menganggap tiada jasa, membesar-besarkan masalah. Semua bisa melakukannya. Si bodoh atau si pintar. Si shalih atau si thalih. Terbina ataupun terhina. Atmosfir yang hanya mesra di kala bahagia. Namun saat terjadi friksi, menyerang dengan 1001 jurus sambil ketus dan kukulutus (marah di belakang).
Demikian yang dilakukan Syaikh Al-Bahi Al-Khuli dan Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, generasi awal IM. Ketika politik Gamal Abdun Nasser sangat mengekang Ikhwan. Mereka berdua keluar dari aktivitas struktural. Namun semua didasari pada misi, risalah, target. Memberi sumbangsih nyata di medan amal untuk mengabdikan pada Islam. Sepanjang hidup kedua syaikh tersebut, tak terdengar isu-isu miring tentang Ikhwan. X-Ikhwan yang punya kapasitas, terus menunjukkan kualitas. Ia tidak pernah menjadikan dirinya X-Man yang penuh misteri. Mengumbar x-files bahkan aib yang sebenarnya mencoreng diri sendiri. Meniru Al-Ghazali, Al-Qaradhawi, Al-Khuli, Abdul Mu'izz Abdussattar, atau Sayyid Sabiq. Mereka tak pernah menjadikan kegaduhan, sikap reaktif sebagai pilihan. Semua sibuk berkarya nyata, mencetak generasi, membuahkan ratusan karya tulis. Karena dakwah tak kenal X-man
Posting Komentar