Benarkah Harus “Penguasa Adalah Cerminan Rakyatnya”?

Oleh : Acad Syahrial

بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله



 Benarkah Harus “Penguasa Adalah Cerminan Rakyatnya”?

Oleh sebagian orang, ketika menyikapi penguasa yang zhôlim, seringkali dibawakan perkataan Imâm Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah رحمه الله:

وتأمل حكمته تعالى في ان جعل ملوك العباد وأمراءهم وولاتهم من جنس اعمالهم بل كأن أعمالهم ظهرت في صور ولاتهم وملوكهم فإن ساتقاموا استقامت ملوكهم

(arti) “Sesungguhnya di antara hikmah Allôh Ta‘âla dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin dan pelindung ummat manusia adalah sama dengan ‘amalan rakyatnya, bahkan perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa mereka.” [lihat: Miftah Dâris Sa‘adah II/177-178].
Sehingga seakan-akan, “terima saja kezhôliman itu, karena toh penguasa yang buruk itu naik dan berasal dari rakyat yang buruk juga”.

Namun jika kita pelajari baik-baik “Sejarah Ummat Manusia”, maka ungkapan “pemimpin itu adalah cerminan rakyatnya” adalah suatu kaidah yang tidak 100% benar. Sebab, ia didustakan oleh perjalanan sejarah kemanusiaan itu sendiri.
Lihatlah berapa fakta berikut ini:
Para Nabiyullôh itu diutus oleh الله Subhânahu wa Ta‘âla ketika keadaan masyarakat kaumnya sedang rusak, dan kemudian mereka lah yang memperbaiki keadaan kaumnya tersebut?

Junjungan kita, Baginda Rosûlullôh Nabî Muhammad صلى الله عليه و سلم, diutus kepada masyarakat jahiliyyah ‘Arab di Makkah, di mana kemudian Beliau mentransformasi mereka menjadi sebaik-baik kaum dari ummat manusia dari awal sampai akhir.

Kholîfah ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Azîz رحمه الله memperbaiki keadaan rakyat di negerinya yang saat beliau mulai menjabat telah dalam keadaan yang tidak baik.

Syaikh Muhammad ibn ‘Abdul Wahhâb رحمه الله dan Imâm Muhammad ibn Sa‘ud رحمه الله yang berjuang memperbaiki masyarakat ‘Arab dari kerusakan Tahayul – Bid‘ah – Khurofat.
3 Hajji (Hajji Piobang, Hajji Sumanik, dan Hajji Miskin) sepulang dari Harômain berusaha memperbaiki keadaan masyarakat Minangkabau pada akhir Abad ke-18 yang kemudian melahirkan gerakan Paderi yang fenomenal.

Sejak Recep Tayyip Erdoğan حفظه الله berkuasa, tampak jelas terlihat bahwa Islâm mulai menggelora kembali di negeri Turkiy, setelah “mati suri” selama 80 tahun dikuasai pemahaman rusak Sekularisme - Pluralisme - Liberalisme.

Jelas dari contoh-contoh di atas bahwa keadaan yang terjadi adalah “rakyat merupakan cerminan pemimpinnya”, karena pemimpinnya lah yang berusaha keras untuk mengubah keadaan kaumnya.

Begitu juga apabila melihat fakta bahwa Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mengirimkan surat kepada raja-raja kerajaan di sekitar Jazirah ‘Arab, Beliau صلى الله عليه و سلم mengatakan “أسلم تسلم” – “aslim taslam” (arti: masuklah ke dalam Islâm, maka anda akan selamat).

Di dalam surat yang dibawa oleh Shohâbat Dihyah al-Kalbiy رضي الله عنه kepada Heraklius (Kaisar Romawi Timur), Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mengatakan:

يُؤْتِكَ اللَّهُ أَجْرَكَ مَرَّتَيْنِ ، فَإِنْ تَوَلَّيْتَ فَإِنَّ عَلَيْكَ إِثْمَ الأَرِيسِيِّينَ

(arti) “(Apabila anda masuk Islâm) Allôh akan memberikan balasan dua kali lipat, sedangkan jika anda menolak, maka bagi anda dosa rakyat yang mengikuti anda.” [HR al-Bukhôrî no 7; Muslim no 1773].
Artinya, penguasa itu merupakan faktor krusial / penting yang menentukan bagaimana keadaan masyarakat kaumnya. Karena jika penguasanya tidak berîmân dan suka bermaksiyat, maka kemungkinan besar rakyatnya juga tidak berîmân dan suka bermaksiyat pula – sebab, rakyat itu tabiatnya adalah mencontoh kelakuan para penguasa / pemimpinnya.

Lihatlah di dalam al-Qur-ân bahwa الله Subhânahu wa Ta‘âla menceritakan bagaimana rakyat yang mengikuti pemimpin-pemimpin mereka yang tidak di atas kebenaran kelak akan menyesalinya:
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا

(arti) “Dan mereka berkata: ‘Wahai Robb kami, sesungguhnya kami telah menta‘ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).’” [QS al-Ahzâb (33) ayat 67].

Apabila pemimpin suatu kaum itu zhôlim, yaitu: suka berdusta, suka ingkar janji, suka fajir jika berselisih, suka khianat jika diberi amanah, maka rakyatnya pun akan mencontoh kelakuan buruk pemimpinnya itu.
Maka dari itu, Heraklius diancam mendapatkan dosa kekufuran rakyatnya jika ia menolak untuk berîmân kepada Nabî Muhammad صلى الله عليه و سلم.

Lalu bagaimana dengan hadîts:

عُّمَّالكم أعمالكم ، كما تكونوا يُولّى عليكمعُّمَّالكم أعمالكم ، كما تكونوا يُولّى عليكم
(arti) “‘Amal-‘amal kalian adalah pemimpin-pemimpin kalian. Sebagaimana keadaan diri kalian, maka seperti itulah kalian akan dipimpin.” [HR ad-Dailami, Musnad al-Firdaus, dari Abû Bakroh; al-Baihaqî, dari Abû Ishaq as-Sabi‘î secara mursal].

Ternyata hadîts tersebut di atas dilemahkan lebih dari satu ‘ulamâ’ ahli hadîts, baik dari kalangan terdahulu seperti misalnya adalah al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqolânî رحمه الله, maupun dari kalangan moderen seperti

Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî رحمه الله. Syaikh al-Albânî bahkan menghimpun keseluruhan jalurnya dalam kitab beliau, as-Silsilah adh-Dho‘ifah I/490, di mana beliau menilainya dho‘if sembari menyatakan bahwa fakta justru mendustai (bertentangan) dengan hadîts tersebut.
Jadi, tidak bisa menafikan bahwa rakyat itu adalah cerminan dari pemimpinnya.

Lebih lanjut, di dalam sebuah hadîts, Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا
(arti) “Sesungguhnya Allôh akan mengutus (menghadirkan) bagi ummat ini (ummat Islâm) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir 100 tahun.” [HR Abû Dâwûd no 4291; al-Hâkim no 8592; ath-Thobaroni, al-Mu’jam al-Ausath no 6527 ~ dinilai shohîh oleh Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî; as-Silsilah al-Ahâdîts ash-Shohîhah no 599].
Artinya, الله Subhânahu wa Ta‘âla akan membangkitkan orang yang akan memperbaiki keadaan ummat Islâm yang telah rusak pada setiap 100 tahun.

Jadi, sama sekali tidak bisa menjadikan ungkapan “pemimpin adalah cerminan rakyatnya” sebagai suatu kaidah yang paten, kemudian membangun darinya pemahaman bahwa rakyat harus “nrimo saja” terhadap kezhôliman penguasa – apabila punggungnya dihajar dan hartanya digasak – karena toh penguasa itu adalah cerminan rakyatnya, jadi bolehnya hanya mendo‘akan kebaikan saja. Sungguh itu kaidah yang bathil…!

Ketika Do‘a Menjadi Senjata Mu’min Terhadap Kezhôliman Penguasa
Ketika Nabiyullôh Mûsâ عليه الصلاة و السلام sudah merasa begitu marah akan kejahatan penguasa negeri Mesir, yaitu Fir‘aûn dan kroni-kroninya, terhadap agama الله dan kezhôlimannya terhadap orang-orang yang berîmân.

Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام pun berdo‘a kepada الله Subhânahu wa Ta‘âla sebagaimana yang diabadikan-Nya pada ayat yang agung QS Yûnus (10) ayat 88:
رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَن سَبِيلِكَ ۖ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَىٰ أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّىٰ يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
{robbanâ innaka atayta fir‘auna wamalâhu zînatan wa-amwalan fî alhâyatiddunyâ, robbanâ liyudhillû ‘an sabîlika, robbanâ ithmis ‘alâ amwâlihim wasydud ‘alâ qulûbihim falâ yu’minû hattâ yarawû al‘âdzâbal-alîm}
(arti) “Wahai Robb kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir‘aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan Dunia, Wahai Robb kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu.

Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak berîmân hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”
Betapa “mengerikannya” permintaan Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام kepada الله untuk keburukan penguasa negeri Mesir itu…?

Maka apa jawaban الله Subhânahu wa Ta‘âla…?
قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

(arti) “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kalian berdua. Sebab itu, tetaplah kalian berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kalian mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” [QS Yûnus (10) ayat 89].

Banyak contoh do‘a para Nabiyullôh yang diabadikan oleh الله Subhânahu wa Ta‘âla di dalam al-Qur-ân meminta keburukan terhadap kaumnya termasuk penguasanya yang kâfir lagi zhôlim.

✗ Tetapi kan penguasa sekarang tidak sebengis dan sekâfir Fir‘aun, dan kamu juga bukan Nabî Mûsâ?
✓ Iya, mungkin tidak ada lagi penguasa yang sebengis, selalim, dan sekâfir Fir‘aun pada masa sekarang, dan pastinya kita juga tidak akan mungkin seperti Nabî Mûsâ عليه الصلاة و السلام.

Namun benarkah itu jadi larangan mendo‘akan keburukan bagi penguasa yang zhôlim?
Bahkan telah jelas Baginda Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم mendo‘akan keburukan bagi siapapun yang mempunyai kekuasaan atas ummat Islâm lalu berbuat zhôlim kepadanya…

Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم berdo‘a:
اللّٰهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
{allôhumma man waliya min amri ummatî syay-an ‘alayhim fasyquq ‘alayhi wa man waliya min amri ummatî syay-an farfaqo bihim farfuq bih}
(arti) “Wahai Allôh, barang siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu ia mempersulit urusan mereka, maka persulitlah ia, dan barang siapa yang menjabat suatu jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu ia berusaha menolong mereka, maka tolong pula lah ia.” [HR Muslim no 1828; Ahmad no 23481, 25003, 25015].

Di dalam riwayat oleh Abû ‘Awânah dalam kitab shohîhnya, Nabî صلى الله عليه و سلم bersabda:
مَنْ وَلِيَ مِنْهُمْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَعَلَيْهِ بَهْلَةُ اللَّهِ فَقَالُوا ، يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا بَهْلَةُ اللَّهِ قَالَ ، لَعْنَةُ اللَّهِ
(arti) “Barang siapa yang memimpin mereka (kaum Muslimîn) dalam suatu urusan lalu menyulitkan mereka, maka semoga bahlatullôh atasnya.”

Maka para Shohâbat pun bertanya: “Wahai Rosûlullôh, apa bahlatullôh itu?”
Beliau menjawab: “La‘nat Allôh.” [lihat: Subulus-Salâm no 1401].

Padahal Baginda Nabî صلى الله عليه و سلم bukan dalam posisi dizhôlimi ketika itu, namun jelas-jelas Nabî صلى الله عليه و سلم mendo‘akan keburukan penguasa yang zhôlim kepada kaum Muslim.
Maka apalagi do‘a orang (rakyat) yang dizhôlimi?
Bukankah Nabî صلى الله عليه و سلم pernah bersabda:
اتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ ، فَإِنَّهَا لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

(arti) “Takutlah dengan do‘a orang yang dizhôlimi, karena tidak ada pembatas antara ia dengan Allôh.” [HR al-Bukhôrî no 1496, 2448, 4347; Muslim no 19; Abû Dâwûd no 1584; at-Tirmidzî no 625, 2014; an-Nasâ-î no 2435, 2522; Ibnu Mâjah no 1783; Ahmad no 1967; ad-Dârimî no 1655].

Jika dilihat redaksi lengkap dari hadîts tersebut, maka jelas-jelas itu adalah perintah Nabî صلى الله عليه و سلم kepada Mu‘âdz ibn Jabal رضي الله عنه untuk berlaku adil terhadap orang-orang dari penduduk Yaman yang ta‘at kepadanya kelak setelah ia diutus ke sana.

Maka sungguh lucu kalau sudah dizhôlimi sebegitu rupa malah dikatakan tidak boleh mendo‘akan keburukan bagi yang menzhôlimi, sementara Nabî صلى الله عليه و سلم memerintahkan untuk berhati-hati dengan do‘a orang yang dizhôlimi?

Jika membuka kitab Hisnul Muslim, karya Syaikh Dr Sa‘îd ibn ‘Alî Wahf al-Qothoni, maka akan ditemukan do‘a berikut yang diajarkan oleh Nabî صلى الله عليه و سلم kepada kaum Muslim ketika bertemu penguasa yang zhôlim:
اَللّٰهُـمَّ إِنّاا نَجْـعَلُكَ فِي نُحُـوْرِهِـمْ ، وَنَعـُوْذُ بِكَ مِنْ شُرُوْرِهِـمْ

{allôhumma innâ naj‘aluka fî nuhû rihim, wa na‘ûdzu bika min syurûrihim}
(arti) “Wahai Allôh, sesungguhnya kami menjadikan Engkau di depan kami dalam menghadapi mereka, dan kami berlindung kepada Engkau dari kejahatan mereka.” [HR Abû Dâwûd no 1537 ~ Shohîh Sunan Abî Dâwûd II/335].

Di dalam kitab Hisnul Muslim, Nabî صلى الله عليه و سلم juga mengajarkan do‘a berikut kepada ummatnya ketika takut terhadap kezhôliman penguasa:

اَللّٰهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ ، وَرَبَّ الْعَرشِ الْعَظِيْمِ ، كُنْ لِيْ جَارًا مِنْ ~فُلَانِ~ وَأَحْزَابِهِ مِنْ خَلَائِقِكَ ، أَنْ يَفْرُطَ عَلَيَّ أَحَدٗ مِنْهُمْ أَوْ يَطْغَى ، عَزَّ جَارُكَ ، وَجَلَّ ثَنَاؤُكَ ، وَلَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ

{allôhumma robbassamâwâtissab‘i, wa robbal ‘arsyil ‘azhîm, kun-lî jâron min ~nama si Fulân~ wa ahzâbihi min kholâ-iqik, an yafrutho ‘alayya ahadû minhum aw yathghô, ‘azza jâruk, wa jalla tsanâ-uk, wa lâ ilâha illâ ant}

(arti) “Wahai Allôh, Robb tujuh Langit dan Bumi, Robb ‘Arsy yang agung, jadilah penolongku kala menghadapi ~nama si Fulân~ dan dari sekutunya dari makhluk ciptaan-Mu, (agar) tiada seseorang pun dari mereka berlaku sewenang-wenang terhadapku atau melampaui batas, pembelaan Engkau amatlah besar, pujian terhadap-Mu amatlah agung, dan tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain dari Engkau.” [HR al-Bukhôrî, al-Adab al-Mufrod no 707; Ibnu Abî Syaibah no 29176 ~ ~ dinilai shohîh oleh

Syaikh Muhammad Nâshiruddîn al-Albânî, as-Silsilah adh-Dho‘ifah no 2400].
Atau lafazh lain:
اَللهُ أَكْبَرُ ، اَللهُ أَعَزُّ مِنْ خَلْقِهِ جَمِيْعًا ، اَللهُ أَعَزُّ مِمَّا أَخَافُ وَأَحْذَرُ ، أَعُوْذُ باِللهِ الَّذِيْ لَا إِلٰهَ إِلَّا هُوَ الْمُمْسِكِ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ أَنْ يَقَعْنَ عَلَى اْلأَرْضِ إِلَّا بِإِذْنِهِ ، مِنْ شَرِّعَبْدِكَ ~فُلاَنٍ~ ، وَجُنُوْدِهِ وَأَتْبَاعِهِ وَأَشْيَاعِهِ ، مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ ، اَللّٰهُمَّ كُن لِيْ جَارًا مِنْ شَرِّهِمْ ، جَلَّ ثَنَاؤُكَ وَعَزَّ جَارُكَ ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ ، وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ

{allôhu akbar, allôhu a-‘azzu min kholqihi jamî-‘an, allôhu a-‘azzu mimmâ akhôfu wa ahdzar, a-‘ûdzu billâhilladzî lâ ilâha illâ huwal mumsikissamâwâtissab‘i an yaqo‘na ‘alâl ardhi illâ bi-idznih, min syarri ‘abdika ~nama si Fulân~, wa junûdihi wa atbâ-‘ihi wa asy-yâ‘ih, minal jinni wal ins, allôhumma kun-lî jâron min syarrihim, jalla tsanâ-uka wa ‘azza jâruk, wa tabârokasmuk, wa lâ ilâha ghoyruk}
(arti) “Allôh Maha Besar, Allôh lebih perkasa dibanding seluruh makhluk-Nya, Allôh lebih perkasa dibanding semua yang aku takuti dan aku khawatirkan, aku berlindung kepada Allôh yang tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain-Nya, Yang mengendalikan 7 Langit hingga tidak runtuh ke Bumi kecuali seizin-Nya, dari kejahatan hamba-mu ~nama si Fulân~ dan bala tentaranya serta pendukung-pendukungnya dari golongan jinn dan manusia.

Wahai Allôh, jadilah penolongku untuk menghindari kejahatan mereka. Pujian terhadap-Mu amatlah agung, perlindungan-Mu amatlah besar, Maha Suci nama-Mu, dan tiada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain dari-Mu.” [HR al-Bukhôrî, al-Adab al-Mufrod no 708; Ibnu Abî Syaibah no 29177; ath-Thobrônî, al-Mu’jam al-Kabîr no 10599; al-Baihaqî, ad-Da’awât no 422].

Mendo‘akan Kebaikan Suatu Negeri Adalah Sunnah Para Nabiyullôh

Salah satu do‘a dari para Nabiyullôh yang الله Subhânahu wa Ta‘âla abadikan dalam al-Qur-ân adalah do‘a al-Kholil Ibrôhîm عليه الصلاة و السلام untuk Makkah agar menjadi negeri yang aman:
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
(arti) “Dan (ingatlah) ketika Ibrôhîm berdo‘a: ‘Wahai Robb-ku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang berîmân (di antara mereka) kepada Allôh dan Hari Âkhir’.” [QS al-Baqoroh (2) ayat 126].
Nabî Ibrôhîm عليه الصلاة و السلام berdo‘a: robbi ij-‘al hâdzâ baladan aminan warzuq ahlahu mina atstsamarôti man amana minhum billâhi walyawmil akhir.

Begitu juga ketika Nabî Muhammad صلى الله عليه و سلم berda’wah di Thô-if, lalu dizhôlimi oleh penduduk Thô-if, yang mana tentunya dimotori para pemimpin / pemuka masyarakat di sana. Lalu datanglah Malâ-ikat Jibrîl dengan Penjaga Gunung, yang seandainya diperintahkan oleh Nabî untuk menimpakan gunung ke kota Thô-if, maka ia telah diberi izin oleh الله Subhânahu wa Ta‘âla.

Tetapi apa jawab Nabî صلى الله عليه و سلم?
Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم bersabda:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

(arti) “(Tidak,) Namun aku berharap (berdo‘a) supaya Allôh membangkitkan dari anak keturunan mereka orang yang beribadah kepada Allôh semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun juga.” [HR al-Bukhôrî no 3231; Muslim no 1795].
Itulah do‘a para Nabiyullôh ketika dihadapkan dengan kezhôliman rakyat – yang tentunya dimotori oleh para pemuka / pemimpin kaumnya.

Maka jelas bahwa mendo‘akan kebaikan bagi suatu negeri atau penduduknya adalah sunnah dari para Nabiyullôh – sementara mendo‘akan kebaikan bagi penguasa yang zhôlim lagi jahat kepada kaum Muslim, penguasa yang mengambil sekutu dari kaum kuffar yang memusuhi kaum Muslim, maka entahlah sunnah dari siapa itu…?

Sebab, penguasa yang zhôlim – yang suka menipu rakyatnya, suka ingkar janji, dan berlaku tidak adil – itu bahkan diancam oleh Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم di dalam sabdanya:


مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
(arti) “Barang siapa yang diberi beban oleh Allôh untuk memimpin rakyatnya, lalu ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allôh mengharômkan Syurga atasnya.” [HR Muslim no 142; ad-Dârimî no 2838].

Jadi bagaimana bisa masuk akal sehat jika para Nabiyullôh justru mendo‘akan keburukan bagi penguasa yang yang zhôlim, sementara malah ada yang nekad menentangnya dengan mendo‘akan kebaikan…?
Ingatlah bahwa mendukung kedustaan dan kezhôliman penguasa, entah dengan cara apapun – termasuk dengan cara memelintir pemahaman atas dalil – telah diancam keras oleh Rosûlullôh صلى الله عليه و سلم di dalam sabdanya:

إِنَّهُ سَتَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَىَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَىَّ الْحَوْضَ

(arti) “Sesungguhnya akan ada setelahku para penguasa, barang siapa yang mempercayai kedustaan mereka dan membantu kezhôliman mereka, maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan darinya, ia tidak akan menemuiku di Telaga, dan barang siapa yang tidak mempercayai kedustaan mereka dan tidak membantu kezhôliman mereka, maka ia adalah termasuk golonganku dan aku bagian darinya, ia akan datang menemuiku di Telaga.” [HR an-Nasâ-î no 4207; at-Tirmidzî no 2256; Ahmad no 4136].

وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله و صحبه أجمعين

Posting Komentar

Recent

Recent Posts Widget

Arsip

Entri yang Diunggulkan

Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

Hot in week

Tayangan Laman

item