SIKAP BIJAK PARA IMAM AHLUS SUNNAH MENGHADAPI PERSOALAN QUNUT SHUBUH (Bag-1)
https://bariqunnury.blogspot.com/2015/10/sikap-bijak-para-imam-ahlus-sunnah.html
Pemateri: Ust. FARID NU'MAN HASAN SS.
Persoalan membaca doa qunut pada shalat shubuh ketika i’tidal kedua, merupakan perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi.
Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, fikiran, bahkan sampai memecahkan barisan kaum muslimin.
Sebenarnya, bagaimanakah sebenarnya masalah ini?
Benarkah para Imam Ahlus Sunnah satu sama lain saling mengingkari secara keras, sebagaimana perilaku para penuntut ilmu dan orang awam yang kita lihat hari ini dari kedua belah pihak?
Kali ini, saya tidak akan membahas qunut pada posisi, “Mana yang lebih benar, qunut atau tidak qunut?” yang justru kontra produktif dengan tema yang sedang saya bahas.
Walau dalam keseharian saya lebih sering berqunut subuh karena begitulah kebiasaan di daerah saya tinggal sejak kecil sampai sekarang.
Mereka yang berqunut dan juga yang tidak berqunut adalah saudara seiman yang harus dijaga perasaannya dan dipelihara hubungannya.
Tidak saling mengingkari, lantaran keduanya berpijak pada pendapat para Imam Ahlus Sunnah, yang masing-masing memiliki sejumlah dalil dan alasan yang dipandang kuat oleh mereka.
Sedangkan para imam kita telah menegaskan kaidah,
๐ฌ“Al Ijtihad Laa Yanqudhu bil Ijtihad (Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya), ” dan
“Laa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah).”๐ฌ
๐ Qunut Shubuh Benar-Benar Perselisihan Eksis Sejak Dahulu ๐
Kita lihat peta perbedaan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sebagai berikut:
๐Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya sebagai berikut:
َูุงุฎْุชَََูู ุฃَُْูู ุงْูุนِْูู ِ ِูู ุงُُْููููุชِ ِูู ุตََูุงุฉِ ุงَْููุฌْุฑِ َูุฑَุฃَู ุจَุนْุถُ ุฃَِْูู ุงْูุนِْูู ِ ู ِْู ุฃَุตْุญَุงุจِ ุงَّููุจِِّู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุบَْูุฑِِูู ْ ุงُُْููููุชَ ِูู ุตََูุงุฉِ ุงَْููุฌْุฑِ ََُููู َُْููู ู َุงٍِูู َูุงูุดَّุงِูุนِِّู ู َูุงَู ุฃَุญْู َุฏُ َูุฅِุณْุญَُู َูุง َُْูููุชُ ِูู ุงَْููุฌْุฑِ ุฅَِّูุง ุนِْูุฏَ َูุงุฒَِูุฉٍ ุชَْูุฒُِู ุจِุงْูู ُุณِْูู َِูู َูุฅِุฐَุง َูุฒََูุชْ َูุงุฒَِูุฉٌ َِْูููุฅِู َุงู ِ ุฃَْู َูุฏْุนَُู ِูุฌُُููุดِ ุงْูู ُุณِْูู َِูู
“Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (shubuh),
๐นSebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat shubuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafi’i.
๐นSedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)
๐ Berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :
ุงุฎุชูููุง ูู ุงููููุช، ูุฐูุจ ู ุงูู ุฅูู ุฃู ุงููููุช ูู ุตูุงุฉ ุงูุตุจุญ ู ุณุชุญุจ، ูุฐูุจ ุงูุดุงูุนู ุฅูู ุฃูู ุณูุฉ ูุฐูุจ ุฃุจู ุญูููุฉ ุฅูู ุฃูู ูุง ูุฌูุฒ ุงููููุช ูู ุตูุงุฉ ุงูุตุจุญ، ูุฃู ุงููููุช ุฅูู ุง ู ูุถุนู ุงููุชุฑ ููุงู ููู : ุจูููุช ูู ูู ุตูุงุฉ، ููุงู ููู : ูุง ูููุช ุฅูุง ูู ุฑู ุถุงู، ููุงู ููู : ุจู ูู ุงููุตู ุงูุงุฎูุฑ ู ูู ููุงู ููู : ุจู ูู ุงููุตู ุงูุงูู ู ูู.
“Mereka berselisih tentang qunut,
๐นMalik berpendapat bahwa qunut dalam shalat shubuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan
๐นAbu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat shubuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir.
๐นAda kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat.
๐นKaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan.
๐นKaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. ๐นAda juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.”
(Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 107-108. Darul Fikr)
Juga diterangkan di dalam kitab Al Mausu’ah sebagai berikut:
ุฐََูุจَ ุงْูู َุงَِِّูููุฉُ َูุงูุดَّุงِูุนَِّูุฉُ ุฅَِูู ู َุดْุฑُูุนَِّูุฉِ ุงُُْููููุชِ ِูู ุงูุตُّุจْุญِ . َูุงู ุงْูู َุงَِِّูููุฉُ : َُููุฏِุจَ ُُูููุชٌ ุณِุฑًّุง ุจِุตُุจْุญٍ ََููุทْ ุฏَُูู ุณَุงุฆِุฑِ ุงูุตَََّููุงุชِ َูุจْู ุงูุฑُُّููุนِ ، ุนَِูุจَ ุงِْููุฑَุงุกَุฉِ ุจِูุงَ ุชَْูุจِูุฑٍ َูุจَُْูู .
ََููุงู ุงูุดَّุงِูุนَِّูุฉُ : ُูุณَُّู ุงُُْููููุชُ ِูู ุงุนْุชِุฏَุงู ุซَุงَِููุฉِ ุงูุตُّุจْุญِ ، َูุนِْูู ุจَุนْุฏَ ู َุง ุฑََูุนَ ุฑَุฃْุณَُู ู َِู ุงูุฑُُّููุนِ ِูู ุงูุฑَّْูุนَุฉِ ุงูุซَّุงَِููุฉِ ، ََููู ْ َُِّูููุฏُُูู ุจِุงَّููุงุฒَِูุฉِ .
ََููุงู ุงْูุญَََِّูููุฉُ ، َูุงْูุญََูุงุจَِูุฉُ : ูุงَ ُُูููุชَ ِูู ุตَูุงَุฉِ ุงَْููุฌْุฑِ ุฅِูุงَّ ِูู ุงََّูููุงุฒِู َูุฐََِูู ِูู َุง ุฑََูุงُู ุงุจُْู ู َุณْุนُูุฏٍ َูุฃَุจُู ُูุฑَْูุฑَุฉَ - ุฑَุถَِู ุงَُّููู ุนَُْููู َุง - : ุฃََّู ุงَّููุจَِّู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ ََููุชَ ุดَْูุฑًุง َูุฏْุนُู ุนََูู ุฃَุญَْูุงุกٍ ู ِْู ุฃَุญَْูุงุกِ ุงْูุนَุฑَุจِ ุซُู َّ ุชَุฑََُูู ، َูุนَْู ุฃَุจِู ُูุฑَْูุฑَุฉَ - ุฑَุถَِู ุงَُّููู ุนَُْูู : - ุฃََّู ุฑَุณُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุงَู ูุงَ َُْูููุชُ ِูู ุตَูุงَุฉِ ุงูุตُّุจْุญِ ุฅِูุงَّ ุฃَْู َูุฏْุนُู َِْูููู ٍ ุฃَْู ุนََูู َْููู ٍ َูู َุนَْูุงُู ุฃََّู ู َุดْุฑُูุนَِّูุฉَ ุงُُْููููุชِ ِูู ุงَْููุฌْุฑِ ู َْูุณُูุฎَุฉٌ ِูู ุบَْูุฑِ ุงَّููุงุฒَِูุฉِ
๐น“Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafi’iyah (pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat shubuh adalah disyariatkan. ๐นBerkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalat shubuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku setelah membaca surat tanpa takbir dulu.
๐นKalangan Asy Syafi’iyah mengatakan: qunut disunahkan ketika i’tidal kedua shalat shubuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.
๐นKalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali qunut nazilah.
Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, tsumma tarakahu ( kemudian beliau meninggalkan doa tersebut).” (HR. Muslim dan An Nasa’i).
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat shubuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibban).
Artinya, syariat berdoa qunut pada shalat shubuh telah mansukh (dihapus), selain qunut nazilah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)
Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut.
Merupakan hadits shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jami’ish Shalah Idza Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677.
Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat shubuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.
Disebutkan oleh Imam Az Zaila’i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih. (Al Hazifh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 3/180. Mawqi’ Al Islam)
Sedangkan dalil pihak yang menyunnahkan qunut shubuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut shubuh sampai faraqad dunia (meninggalkan dunia/wafat).
(HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711.
Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139)
๐ Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafaznya dari Rabi’ bin Anas:
Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya:
“Apakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?”
Anas pun memberikan peringatan padanya, dan berkata: “Rasulullah senantiasa berqunut shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.”
Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183)
Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.
๐Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut shubuh adalah masyru’ (disyariatkan), yakni:
๐ kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i.
Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya.
Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346).
Itulah nama-nama yang meyetujui qunut shubuh pada rakaat kedua.
๐ Nah, demikian peta perselisihan mereka, dan juga sebagian kecil dalil-dalil kedua kelompok.
⚠ Pastinya, sekuat apapun seorang pengkaji meneliti masalah ini, dia tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini, bahwa memang KHILAFIYAH ini benar-benar wujud (ada). ⚠
Maka, yang lebih esensi dan krusial pada saat ini adalah:
"๐ Bagaimana mengelola perbedaan ini menjadi kekayaan yang bermanfaat, bukan warisan pemikiran yang justru membahayakan ๐"
Selanjutnya, kita akan lihat bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah menyikapi perselisihan qunut shubuh ini.
Bersambung..
Persoalan membaca doa qunut pada shalat shubuh ketika i’tidal kedua, merupakan perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi.
Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, fikiran, bahkan sampai memecahkan barisan kaum muslimin.
Sebenarnya, bagaimanakah sebenarnya masalah ini?
Benarkah para Imam Ahlus Sunnah satu sama lain saling mengingkari secara keras, sebagaimana perilaku para penuntut ilmu dan orang awam yang kita lihat hari ini dari kedua belah pihak?
Kali ini, saya tidak akan membahas qunut pada posisi, “Mana yang lebih benar, qunut atau tidak qunut?” yang justru kontra produktif dengan tema yang sedang saya bahas.
Walau dalam keseharian saya lebih sering berqunut subuh karena begitulah kebiasaan di daerah saya tinggal sejak kecil sampai sekarang.
Mereka yang berqunut dan juga yang tidak berqunut adalah saudara seiman yang harus dijaga perasaannya dan dipelihara hubungannya.
Tidak saling mengingkari, lantaran keduanya berpijak pada pendapat para Imam Ahlus Sunnah, yang masing-masing memiliki sejumlah dalil dan alasan yang dipandang kuat oleh mereka.
Sedangkan para imam kita telah menegaskan kaidah,
๐ฌ“Al Ijtihad Laa Yanqudhu bil Ijtihad (Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya), ” dan
“Laa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah).”๐ฌ
๐ Qunut Shubuh Benar-Benar Perselisihan Eksis Sejak Dahulu ๐
Kita lihat peta perbedaan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sebagai berikut:
๐Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya sebagai berikut:
َูุงุฎْุชَََูู ุฃَُْูู ุงْูุนِْูู ِ ِูู ุงُُْููููุชِ ِูู ุตََูุงุฉِ ุงَْููุฌْุฑِ َูุฑَุฃَู ุจَุนْุถُ ุฃَِْูู ุงْูุนِْูู ِ ู ِْู ุฃَุตْุญَุงุจِ ุงَّููุจِِّู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุบَْูุฑِِูู ْ ุงُُْููููุชَ ِูู ุตََูุงุฉِ ุงَْููุฌْุฑِ ََُููู َُْููู ู َุงٍِูู َูุงูุดَّุงِูุนِِّู ู َูุงَู ุฃَุญْู َุฏُ َูุฅِุณْุญَُู َูุง َُْูููุชُ ِูู ุงَْููุฌْุฑِ ุฅَِّูุง ุนِْูุฏَ َูุงุฒَِูุฉٍ ุชَْูุฒُِู ุจِุงْูู ُุณِْูู َِูู َูุฅِุฐَุง َูุฒََูุชْ َูุงุฒَِูุฉٌ َِْูููุฅِู َุงู ِ ุฃَْู َูุฏْุนَُู ِูุฌُُููุดِ ุงْูู ُุณِْูู َِูู
“Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (shubuh),
๐นSebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat shubuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafi’i.
๐นSedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)
๐ Berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :
ุงุฎุชูููุง ูู ุงููููุช، ูุฐูุจ ู ุงูู ุฅูู ุฃู ุงููููุช ูู ุตูุงุฉ ุงูุตุจุญ ู ุณุชุญุจ، ูุฐูุจ ุงูุดุงูุนู ุฅูู ุฃูู ุณูุฉ ูุฐูุจ ุฃุจู ุญูููุฉ ุฅูู ุฃูู ูุง ูุฌูุฒ ุงููููุช ูู ุตูุงุฉ ุงูุตุจุญ، ูุฃู ุงููููุช ุฅูู ุง ู ูุถุนู ุงููุชุฑ ููุงู ููู : ุจูููุช ูู ูู ุตูุงุฉ، ููุงู ููู : ูุง ูููุช ุฅูุง ูู ุฑู ุถุงู، ููุงู ููู : ุจู ูู ุงููุตู ุงูุงุฎูุฑ ู ูู ููุงู ููู : ุจู ูู ุงููุตู ุงูุงูู ู ูู.
“Mereka berselisih tentang qunut,
๐นMalik berpendapat bahwa qunut dalam shalat shubuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan
๐นAbu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat shubuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir.
๐นAda kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat.
๐นKaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan.
๐นKaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. ๐นAda juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.”
(Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 107-108. Darul Fikr)
Juga diterangkan di dalam kitab Al Mausu’ah sebagai berikut:
ุฐََูุจَ ุงْูู َุงَِِّูููุฉُ َูุงูุดَّุงِูุนَِّูุฉُ ุฅَِูู ู َุดْุฑُูุนَِّูุฉِ ุงُُْููููุชِ ِูู ุงูุตُّุจْุญِ . َูุงู ุงْูู َุงَِِّูููุฉُ : َُููุฏِุจَ ُُูููุชٌ ุณِุฑًّุง ุจِุตُุจْุญٍ ََููุทْ ุฏَُูู ุณَุงุฆِุฑِ ุงูุตَََّููุงุชِ َูุจْู ุงูุฑُُّููุนِ ، ุนَِูุจَ ุงِْููุฑَุงุกَุฉِ ุจِูุงَ ุชَْูุจِูุฑٍ َูุจَُْูู .
ََููุงู ุงูุดَّุงِูุนَِّูุฉُ : ُูุณَُّู ุงُُْููููุชُ ِูู ุงุนْุชِุฏَุงู ุซَุงَِููุฉِ ุงูุตُّุจْุญِ ، َูุนِْูู ุจَุนْุฏَ ู َุง ุฑََูุนَ ุฑَุฃْุณَُู ู َِู ุงูุฑُُّููุนِ ِูู ุงูุฑَّْูุนَุฉِ ุงูุซَّุงَِููุฉِ ، ََููู ْ َُِّูููุฏُُูู ุจِุงَّููุงุฒَِูุฉِ .
ََููุงู ุงْูุญَََِّูููุฉُ ، َูุงْูุญََูุงุจَِูุฉُ : ูุงَ ُُูููุชَ ِูู ุตَูุงَุฉِ ุงَْููุฌْุฑِ ุฅِูุงَّ ِูู ุงََّูููุงุฒِู َูุฐََِูู ِูู َุง ุฑََูุงُู ุงุจُْู ู َุณْุนُูุฏٍ َูุฃَุจُู ُูุฑَْูุฑَุฉَ - ุฑَุถَِู ุงَُّููู ุนَُْููู َุง - : ุฃََّู ุงَّููุจَِّู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ ََููุชَ ุดَْูุฑًุง َูุฏْุนُู ุนََูู ุฃَุญَْูุงุกٍ ู ِْู ุฃَุญَْูุงุกِ ุงْูุนَุฑَุจِ ุซُู َّ ุชَุฑََُูู ، َูุนَْู ุฃَุจِู ُูุฑَْูุฑَุฉَ - ุฑَุถَِู ุงَُّููู ุนَُْูู : - ุฃََّู ุฑَุณُูู ุงَِّููู ุตََّูู ุงَُّููู ุนََِْููู َูุณََّูู َ َูุงَู ูุงَ َُْูููุชُ ِูู ุตَูุงَุฉِ ุงูุตُّุจْุญِ ุฅِูุงَّ ุฃَْู َูุฏْุนُู َِْูููู ٍ ุฃَْู ุนََูู َْููู ٍ َูู َุนَْูุงُู ุฃََّู ู َุดْุฑُูุนَِّูุฉَ ุงُُْููููุชِ ِูู ุงَْููุฌْุฑِ ู َْูุณُูุฎَุฉٌ ِูู ุบَْูุฑِ ุงَّููุงุฒَِูุฉِ
๐น“Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafi’iyah (pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat shubuh adalah disyariatkan. ๐นBerkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalat shubuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku setelah membaca surat tanpa takbir dulu.
๐นKalangan Asy Syafi’iyah mengatakan: qunut disunahkan ketika i’tidal kedua shalat shubuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.
๐นKalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali qunut nazilah.
Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, tsumma tarakahu ( kemudian beliau meninggalkan doa tersebut).” (HR. Muslim dan An Nasa’i).
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat shubuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibban).
Artinya, syariat berdoa qunut pada shalat shubuh telah mansukh (dihapus), selain qunut nazilah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)
Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut.
Merupakan hadits shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jami’ish Shalah Idza Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677.
Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat shubuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.
Disebutkan oleh Imam Az Zaila’i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih. (Al Hazifh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 3/180. Mawqi’ Al Islam)
Sedangkan dalil pihak yang menyunnahkan qunut shubuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut shubuh sampai faraqad dunia (meninggalkan dunia/wafat).
(HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711.
Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139)
๐ Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafaznya dari Rabi’ bin Anas:
Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya:
“Apakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?”
Anas pun memberikan peringatan padanya, dan berkata: “Rasulullah senantiasa berqunut shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.”
Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183)
Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.
๐Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut shubuh adalah masyru’ (disyariatkan), yakni:
๐ kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i.
Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya.
Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346).
Itulah nama-nama yang meyetujui qunut shubuh pada rakaat kedua.
๐ Nah, demikian peta perselisihan mereka, dan juga sebagian kecil dalil-dalil kedua kelompok.
⚠ Pastinya, sekuat apapun seorang pengkaji meneliti masalah ini, dia tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini, bahwa memang KHILAFIYAH ini benar-benar wujud (ada). ⚠
Maka, yang lebih esensi dan krusial pada saat ini adalah:
"๐ Bagaimana mengelola perbedaan ini menjadi kekayaan yang bermanfaat, bukan warisan pemikiran yang justru membahayakan ๐"
Selanjutnya, kita akan lihat bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah menyikapi perselisihan qunut shubuh ini.
Bersambung..
Posting Komentar