PERANG CILEGON TAHUN 1888 LANTARAN LARANGAN ADZAN
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/08/perang-cilegon-tahun-1888-lantaran.html
Asisten Belanda untuk Keresidenan Cilegon, Mister Goebels, melarang *Tarhim* dan *Adzan* serta *Sholawat* dari Menara Musholla di Cilegon - Banten.
Akibatnya, umat Islam Cilegon pada tanggal 9 Juli 1888, dipimpin oleh H.Wasith dan H.Ismail, memberontak dan bertempur melawan Penjajah Belanda hingga banyak menewaskan tentara Belanda, termasuk *Mister Goebels* Sang Asisten Belanda untuk Cilegon.
mendiang Buya Hamka juga pernah menulis soal Geger Cilegon. Uniknya, dalam buku berjudul Perbendaharaan Lama yang diterbitkan Pustaka Panjimas tahun 1982, bila salah satu pemicu kerusuhan itu adalah akibat adanya pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dengan suara keras.
Hamka menulis begini:
... Tetapi menurut catatan dari Pangeran Ahmad Jayadiningrat, bekas regen Serang dan salah satu pegawai tinggi pemerintah Belanda yang amat terkenal, sebab pemberontakan ialah karena di belakang rumah resident Goebels di Jombang Tengah ada sebuah langgar. Langgar itu bermenara.
Seketika waktu Maghrib orang selalu membaca shalawat atau tahrim atau azan dengan suara keras, sehingga selalu mengganggu beliau (Goebles--Red) yang nyenyak tidur.
Maka oleh karena kesenangan beliau terganggu beliau perintahkan kepada Patih, supaya dibuat surat edaran, melarang shalawat, tahrim, dan azan itu tidak dilakukan keras-keras, karena "Tuhan tidak pekak!" Dan menurut penyelidikan Tuan Patih, menara langgar di belakang rumah tuan asisten residen itu telah tua, lebih baik diruntuhkan saja. Lalu diperintahkan opas-opas untuk meruntuhan!
Tentu saja tokoh ulama setempat, H Wasit (yang kemudian menjadi salah satu pemimpin pemberontakan) merasa berang. Apalagi sebelumnya dia sempat terkena hukuman denda sebesar F.7,50 gulden karena menebang 'pohon kayu keramat' yang selama ini dipakai sebagai ajang praktik kemusyrikan oleh sebagian masyarakat. Akibat adanya dua tindakan itu maka para haji, ulama, dan tokoh masyarakat di Cilegon merasa bahwa perasaan ke-Islaman mereka telah sangat direndahkan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda.
Nah, adanya tingkat kemiskinan dan kesenjangan sosial yang akut, ditambah adanya kebijakan yang 'menyingkirkan praktik keagamaan kaum Muslim' di Cilegon, maka jiwa berontak di kalangan rakyat membesar dengan hebat. Apalagi kemudian aturan mengenai pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dari Goebles tersiar di seluruh kalangan kaum santri di Banten.
Kalau telah begini yang terjadi sekarang, betapa lagi selanjutnya? Apalah artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, kalau perbuatan musyrik (pembiaran Pohon Keramat--Red) mendapat perlindungan dari pemerintah, dan pegawai pemerintah sendiri telah berani berlancang meruntuhkan menara sebuah langgar? Niscaya akan datang lagi larangan lain, sehingga hapuslah Islam dari negri kita ini.
Demikian tulis Hamka ketika menggambarkan perasaan H Wasit dan kawan-kawan seperjuangannya.
Maka, ulas Hamka, Haji Wasit menemui temannya, Tubagus Ismail, dengan tujuan memperbincangkan bahaya yang menimpa agama Islam ini. Dan sama dengan Hawi Wasit, Haji Ismail pun telah merasakan hal yang sama. Kawan yang lain, ulama yang lain pun juga merasa sama!
''Apa akal? Berontak!'' tulis Hamka.
(Sumber Dari _"Perbendaharaan Lama"_, hlm. 87-88 - Buya Hamka).
Posting Komentar