PUNCAK SEJARAH & KHITTAH KOPI
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/03/puncak-sejarah-khittah-kopi.html
-melawat bandar muzakki di pontianak-
@salimafillah
Dalam memandang peristiwa, kita sering hanya memusatkan perhatian pada puncaknya. Padahal takkan ada puncak tanpa dasar dan penopang.
Dalam pembebasan kembali Masjidil Aqsha pada tahun 1187, kitapun cuma mengingat nama Shalahuddin Al Ayyubi dan Perang Hattin. Kita lupa bahwa ada tokoh-tokoh lain yang mengasasi kemenangan besar Shalahuddin atas Guy de Lusignan dan Reynald de Chattilon itu.
Setelah khuthbah Paus Urbanus II dalam Konsili Clermont pada 1095 untuk merebut Jerussalem, seorang 'alim yang zahid mengunjungi Masjidil Aqsha pada 1097. Orang itu, Abu Hamid Al Ghazali, dengan firasatnya yang kuat menangis di dekat Qubbatush Shakhrah, dan mengatakan, "Barangkali kita akan kehilangan kiblat pertama dan tempat mi'raj Rasulillah ini."
Sebagian mengiranya mengigau. Sebagian mengiranya meracau. Sebagian mengira pikirannya sedang kacau.
"Tak mungkin", ujar mereka.
Ya, Khalifah 'Abbasiyah masih bertakhta jaya di istana berbenteng tujuh lapis, tak berdaulat tapi dalam perlindungan para Wazir dan Sultan yang memerintah atas namanya.
Dan pada 1099 pasukan salib pertama dipimpin Godfrey de Bouillon membanjiri kota Al Quds dengan genangan darah selutut. Kerajaan Latin pun berdiri di Jerusalem. Semua terhenyak dan menyadari kebenaran tangis sang Imam.
Seusai musim haji 1102, Al Ghazali berkeliling ke kota-kota utama kaum muslimin dari Makkah, Madinah, Kairo, Aleppo, Damaskus, hingga Baghdad. Dia mencoba menyerukan persatuan kaum muslimin dan jihad membebaskan Al Aqsha. Apa jawaban yang didapatnya?
"Tak mungkin."
Al Ghazali sadar, bagi hati yang rapuh pegangannya, apapun jadi tak mungkin. Al Aqsha lepas? Tak mungkin. Mari kita rebut kembali? Tak mungkin. Maka seusai mengundurkan diri dari Madrasah Nizhamiyah dan kembali ke kampung halamannya di Thus, dia menulis hal yang menurutnya amat mendesak, "Ihya' 'Ulumiddin", menghidupkan kembali ilmu agama pada pribadi dan ummat. Dengan ilmu yang hidup, agama menjadi kefahaman, dengan kefahaman itu iman kembali berakar, tumbuh, dan mekar.
Upaya Al Ghazali adalah dasar, demikian dikatakan Dr. Majid 'Irsan Al Kilani dalam disertasi doktoralnya di Al Azhar, 'Hakadza Zhahara Jilu Shalahiddin wa Hakadza 'Adatul Quds', dan sebagai penopangnya ada satu nama lagi yang harus disebut: 'Abdul Qadir Al Jailani.
'Alim mulia dari keturunan Rasulillah yang digelari 'Sulthanul Auliya' dan namanya selalu disebut dalam munajat tahlil sebagian besar muslimin Nusantara inilah yang membangun zawiyah, pusat pendidikan berasrama semacam pesantren di negeri kita untuk mendidik kader-kader mujahid. Dalam mentarbiyah ruh, fikrah, dan jasad para muridnya, 'Alim yang secara fiqh bermadzhab Hanbali ini menggunakan kitab Ihya' 'Ulumiddin karya Al Ghazali yang bermadzhab Syafi'i sebagai kurikulum utama.
Kader-kader didikan Syaikh 'Abdul Qadir Al Jailani inilah yang kelak menjadi tulang punggung jihad yang digelorakan 'Imaduddin Zanki, putranya Nuruddin Mahmud, dan dituntaskan Shalahuddin Al Ayyubi.
Seratusan tahun kemudian, bahkan 'ulama lain yang di negeri kita dijadikan anutan muslimin yang merasa berseberang faham dengan keduanya; Ibn Taimiyah, memuji 'Abdul Qadir Al Jailani sebagai Ahlul Bait panutan. Muridnya, Imam Adz Dzahabi yang juga bermadzhab Syafi'i menulis, "Andai tiada ilmu musthalahil hadits, Ihya' 'Ulumiddin akan menjadi kitab terbaik sepanjang masa."
Di Pontianak, saya mengenal seorang pemuda zaman kita yang ayahnya menamainya dengan nama penuh berkah itu; 'Abdul Qadir Al Jailani. Bersama kawan-kawannya yang dengan amat penuh kerelaan mengurusi kajian rutin Majelis Jejak Nabi, dia pula mengasaskan sebuah kafe bernama 'Bandar Muzakki'.
Semangat tempat 'nongkrong' nyaman yang dilengkapi perpustakaan mini ini adalah mengembalikan kopi pada khittahnya seperti ketika dibawa dari dataran tinggi Ethiopia ke wilayah Mukha' di Yaman pada abad ke-8. Kopi, kala itu adalah minuman dua macam manusia. Pertama, ahli ibadah agar betah menjauhkan diri dari ranjang dan bermesra dengan Allah di malam hari. Kedua, ahli ilmu yang harus menegakkan mata untuk membaca, mendaras, dan membincang kajinya dengan 'ulama lain.
Tempo hari, saya mendapat kehormatan untuk mencicip Kalosi racikannya sembari berbincang dengan hadirin yang menggali berbagai sudut pandang dari soal nikah, rizki, hingga syiar dakwah Nusantara. Mubaarak bagi Bandar Muzakki, yang namanya hendak menghimpun siapapun yang suka mensucikan diri, dari jiwa hingga hartanya.
Shalih(in+at) yang ke Pontianak, sila mampir ke Bandar Muzakki, tempat untuk meresapi Khittah Kopi.
Posting Komentar