BERUANG YANG MENUSUK MATA TEMANNYA
https://bariqunnury.blogspot.com/2015/11/beruang-yang-menusuk-mata-temannya.html
Analisa oleh : Ahmad Al-Hila
"Tetangga utara kami juga memberikan bantuan di Suriah, tetapi tidak senang dengan perlawanan "Islam". Dalam kasus apapun, kami memberikan bantuan atas dasar berbagi kepentingan; tetapi tidak jelas apakah Rusia sejalan dengan Iran berkaitan dengan posisi "Presiden Suriah" Bashar Al-Assad. "Pernyataan ini, dibuat oleh Panglima Tentara Garda Revolusi Iran Mohammad Ali Jafari pada 3 November. Sebagai reaksi saat Kementerian Luar Negeri Rusia mengumumkan bahwa "memastikan bahwa Presiden Suriah Bashar Al-Assad tetap berkuasa bukanlah masalah prinsip untuk Moskow."
Pernyataan tersebut menunjukkan perbedaan mendasar antara Iran dan Rusia, meskipun status mereka adalah sekutu, terutama berkaitan dengan masalah Suriah. Namun, jelas sejauh ini konflik mulai tumbuh antara kedua belah pihak dimana ada sejumlah perbedaan yang serius dan sengketa antara Teheran dan Moskow.
Tidak ada keraguan bahwa sejak awal krisis Suriah Teheran telah berusaha untuk memperluas pengaruhnya di wilayah yang membentang dari Teheran ke pantai timur Laut Mediterania melalui Suriah, Lebanon, dan Irak. Mereka melakukannya untuk mengamankan peran penting sebagai pemain utama regional, dan telah memanfaatkan isu sektarian dan doktrin untuk melakukannya. Hal ini dibuktikan dengan kata-kata Mohammad Ali Jafari ketika ia mengatakan bahwa: ". Penyatuan hati Syria, Irak dan Iran akan membentuk satu bangsa, yang akan membuka jalan bagi munculnya Imam Mahdi" (kantor berita Mehr , 3 November)
Namun, kebijakan Iran ini dihadapkan dengan oposisi yang kuat dari negara-negara penentang Teheran (terutama Arab Saudi, Qatar dan Turki), yang memberikan dukungan untuk oposisi Suriah. Oposisi ini boleh dibilang telah mencegah keberhasilan proyek Iran sampai sekarang, bahkan melemahkan ekonomi Iran; sehingga mendorong Teheran untuk membekukan proyek nuklirnya dengan imbalan menghapus sanksi ekonomi dan militer yang dikenakan padanya. Iran juga terpaksa mengandalkan "teman" Rusia nya untuk menyelamatkan sekutunya dengan melindungi rezim Suriah dari kejatuhan setelah mulai goyah dalam menghadapi pukulan dari oposisi bersenjata Suriah, khususnya Angkatan Darat Jaish Al-Fatah, kelompok yang dibentuk dengan dukungan Saudi dan Turki.
Munculnya perbedaan, setidaknya yang mulai tampak pada posisi politik Teheran dan Moskow hanya sebulan setelah dimulainya intervensi militer Rusia dalam krisis Suriah (yang seharusnya mendukung kebijakan Iran di negara ini) menunjukkan bahwa Iran, dengan meningkatnya tantangan, telah "keluar dari penggorengan menuju ke dalam api". Ini tidak hanya berlaku dalam konfrontasi dengan lawan-lawan politik tradisionalnya, tetapi juga konfrontasi dengan "sekutu strategis" nya, Moskow.
Kebijakan militer Rusia baru-baru ini mulai menyimpang dari agenda Iran. Pertama, Moskow mulai mengabaikan usaha untuk mempertahankan posisi Bashar Al-Assad dan lebih fokus dalam mempertahankan pengaruh dan pangkalan militernya di Tartus serta hubungan ekonomi dengan Turki, Arab Saudi, Qatar dan negara-negara Teluk. Rusia juga dapat menggunakan intervensi di Suriah untuk menekan NATO mengenai krisis Ukraina. Bagaimana Iran akan menghadapi sengketa ini atas nasib Al-Assad, yang dianggap garis merah untuk Teheran, terutama jika kita mempertimbangkan fakta bahwa Rusia adalah pemegang keputusan dan merupakan komandan operasi militer di Suriah saat ini, dan mengingat posisinya sebagai anggota tetap di Dewan Keamanan PBB dan statusnya sebagai sumber utama senjata untuk proyek nuklir Iran ?
Kedua, Rusia mulai waspada akan resiko tenggelam dalam krisis Suriah, dan oleh karena itu mereka membatasi intervensinya hanya sebatas keterlibatan Angkatan Udara dan tergantung pada rezim militer Suriah dan ribuan pejuang dari Iran, Irak, Afghanistan dan Hizbullat untuk serangan darat. Ini berarti bahwa harga yang lebih tinggi akan dibayar oleh Iran, yang telah terlibat dalam krisis Suriah selama empat tahun terakhir. Akankah Iran terus bergantung dengan Al-Assad meskipun fakta bahwa hal itu akan membuatnya terus membayar harga yang lebih tinggi untuk menjaga dia berkuasa - terutama karena indikator intervensi Rusia tidak menunjukkan bahwa pertempuran dan agresi militer akan dipertahankan di masa depan?
Ketiga, dominasi Rusia terhadap Hizbullat di Suriah, terutama di bagian selatan (Golan), untuk melayani kebutuhan keamanan Israel. Ini mengambil kartu pemenang dari tangan Iran, dimana selam ini Hizbullat telah memainkan peran penting dalam melaksanakan agenda Iran di Suriah.
Keempat, koordinasi keamanan dan militer yang sedang berlangsung antara Rusia dan Israel di Suriah menyebabkan Iran dipermalukan, karena Iran secara terbuka menyuarakan permusuhan terhadap Israel. Ini berakibat hancurnya kredibilitas wacana Iran mengenai masalah Palestina. Selain ini, perilaku Rusia menghasilkan kekhawatiran politik dan keamanan untuk Hizbullat, dimana Sekretaris Jenderal Hassan Nasrallat mengatakan dalam pidatonya bahwa pembebasan Yerusalem harus melalui Zabadani (sebuah kota di barat daya Suriah). Jadi bagaimana bisa disatu sisi Rusia mendukung aliansi dengan rezim Suriah tetapi di sisi lain secara terbuka menjalin koordinasi keamanan dengan pendudukan Israel?
Jelas bahwa Iran sedang mengalami dilema kompleks di Suriah, termasuk kegagalan untuk melindungi rezim Suriah dari krisis Suriah; dan beralih meminta bantuan dari beruang Rusia, yang memiliki agenda sendiri yang tidak selalu sejajar dengan Iran; dan kembalinya Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AKP) sebagai partai berkuasa tunggal di Turki, dimana AKP adalah rival Iran yang memegang visi yang sangat berbeda dalam krisis Suriah.
Kondisi ini menegaskan bahwa aksi militer tidak mampu menyelesaikan pertempuran di Suriah dan bahwa kekuatan lebih yang digunakan oleh rezim Suriah dan sekutunya hanya akan menyebabkan lebih banyak pertumpahan darah. Akhirnya akan membuka sekali lagi pintu solusi politik, yang hanya akan berhasil jika mempertimbangkan kepentingan dan aspirasi rakyat Suriah sebagai pertimbangan pertama dan utama.
Diterjemahkan dari Alkhaleejonline, 9 November 2015.
Middle East Monitor
Posting Komentar