Qiyadah yang Tak Malu Mengaku Salah
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/05/qiyadah-yang-tak-malu-mengaku-salah.html
By: Nandang Burhanudin
*****
Sunnatullah. Manusia tempat salah dan dosa. Tapi manusia juga, terpilih menjadi khalifah. Berksh dari akhlak mulia menjadi mahkota. Salah dan keliru adalah hal lumrah. Tapi enggan mengakui khilaf, justru belenggu. Efeknya tidak hanya di dunia. Tapi di akhirat kelak.
Alkisah. Malaikat serentak melakukan penolakan terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga Rasulullah di surga). Penyebabnya, dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada Nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Nabi saw. bahkan mendoakan kecelakaan kepada mereka yang enggan melakukan introspeksi. Gengsi melakukan koreksi. Sigap menerima kebenaran yang ada di depan mata.
Muhasabah atau evaluasi diri merupakan cara mengoreksi diri. Tandanya menerima sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.
Suami istri yang memilih bercerai dan enggan rujuk. Cermin mengutamakan sikap tafarrud (egosentris) daripada tajarrud (menyingkirkan emosional). Suatu kelompok yang bertikai, padahal dulu satu lingkaran perjuangan. Tanda ketidakdewasaan sikap. Apalagi jika menjadikan keputusan pengadilan sebagai ketetapan. Bukankah hukum AlQuran kebenaran yang dipegang?
Lalu mengapa susah sekali berdamai, mengedepankan muhasabah daripada menebar wabah penyakit dari akar hingga pucuk dedaunan? Mengapa tak introspeksi, bahwa yang berguguran di medan kebajikan bukan hanya ranting, daun, dan akar rumput. Tapi juga batang pohon yang nampak gagah tapi goyah, yang tak sadar digerogoti rayap?
Ada beberapa sebab, seorang pasangan suami istri atau kelompok organisasi susah rujuk dan muhasabah.
Pertama, menutup diri dari saran pihak lain. Mengeleminasi syuuro. Menolak mediasi. Menjadikan tongkat komando sebagai jurus sakti.
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakar radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan AlQuran. Tatkala itu Abu Bakar menolak usul tersebut. Namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakar pun menerima dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu, hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. AlBukhari].
Abu Bakar tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, tidak lagi mementingkan persahabatan dengan rekan yang shalih.
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa.” [HR. AlBukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, kita harus berteman dengan seorang yang shalih. Kita jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka Al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. AlBukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Ketiga, tidak terbuka untuk melakukan muhasabah.
Ibarat pisau. Tumpul ke atas. Tajam ke bawah. Padahal di antara bentuk muhasabah paling efektif an-naqd ad-dzaati (mengkritisi diri sendiri). Terutama untuk keputusan yang menyangkut hajat publik. Apalagi keputusan yang dipandang bisa membuat kegaduhan dan memecah persatuan ukhuwwah.
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi]
Rujuk. Berdamai. Mengakui kesalahan. Bukanlah aib. Justru jika dilakukan, niscaya orang dan organisasi yang melaksanakannya akan berunung. Bukankah di materi tingkat dasar diajarkan. Sosok yang kuat bukan yang main hadang dan main tendang. Tapi sosok yang kuat, yang mampu mengontrol emosi jiwa. Sebab musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kekeliruan.
*****
Sunnatullah. Manusia tempat salah dan dosa. Tapi manusia juga, terpilih menjadi khalifah. Berksh dari akhlak mulia menjadi mahkota. Salah dan keliru adalah hal lumrah. Tapi enggan mengakui khilaf, justru belenggu. Efeknya tidak hanya di dunia. Tapi di akhirat kelak.
Alkisah. Malaikat serentak melakukan penolakan terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga Rasulullah di surga). Penyebabnya, dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada Nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Nabi saw. bahkan mendoakan kecelakaan kepada mereka yang enggan melakukan introspeksi. Gengsi melakukan koreksi. Sigap menerima kebenaran yang ada di depan mata.
Muhasabah atau evaluasi diri merupakan cara mengoreksi diri. Tandanya menerima sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.
Suami istri yang memilih bercerai dan enggan rujuk. Cermin mengutamakan sikap tafarrud (egosentris) daripada tajarrud (menyingkirkan emosional). Suatu kelompok yang bertikai, padahal dulu satu lingkaran perjuangan. Tanda ketidakdewasaan sikap. Apalagi jika menjadikan keputusan pengadilan sebagai ketetapan. Bukankah hukum AlQuran kebenaran yang dipegang?
Lalu mengapa susah sekali berdamai, mengedepankan muhasabah daripada menebar wabah penyakit dari akar hingga pucuk dedaunan? Mengapa tak introspeksi, bahwa yang berguguran di medan kebajikan bukan hanya ranting, daun, dan akar rumput. Tapi juga batang pohon yang nampak gagah tapi goyah, yang tak sadar digerogoti rayap?
Ada beberapa sebab, seorang pasangan suami istri atau kelompok organisasi susah rujuk dan muhasabah.
Pertama, menutup diri dari saran pihak lain. Mengeleminasi syuuro. Menolak mediasi. Menjadikan tongkat komando sebagai jurus sakti.
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakar radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan AlQuran. Tatkala itu Abu Bakar menolak usul tersebut. Namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakar pun menerima dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu, hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. AlBukhari].
Abu Bakar tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, tidak lagi mementingkan persahabatan dengan rekan yang shalih.
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa.” [HR. AlBukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, kita harus berteman dengan seorang yang shalih. Kita jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka Al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
“Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. AlBukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Ketiga, tidak terbuka untuk melakukan muhasabah.
Ibarat pisau. Tumpul ke atas. Tajam ke bawah. Padahal di antara bentuk muhasabah paling efektif an-naqd ad-dzaati (mengkritisi diri sendiri). Terutama untuk keputusan yang menyangkut hajat publik. Apalagi keputusan yang dipandang bisa membuat kegaduhan dan memecah persatuan ukhuwwah.
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi]
Rujuk. Berdamai. Mengakui kesalahan. Bukanlah aib. Justru jika dilakukan, niscaya orang dan organisasi yang melaksanakannya akan berunung. Bukankah di materi tingkat dasar diajarkan. Sosok yang kuat bukan yang main hadang dan main tendang. Tapi sosok yang kuat, yang mampu mengontrol emosi jiwa. Sebab musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kekeliruan.
Posting Komentar