Krisis Turki-Rusia, Akankah Berlanjut?


by Sitaresmi S Soekanto (Doktor Ilmu Politik UI)

Pada Selasa 24 November 2015,  Angkatan udara Turki menembak jatuh jet tempur Sukhoi Su-24 milik Rusia di wilayah perbatasan Turki-Suriah. Kantor kepresidenan Turki mengumumkan bahwa Angkatan udara Turki sudah memberikan peringatan berkali kali pada pesawat jet Rusia yang melintasi wilayah udara Turki. Presiden Rusia, Vladimir Putin pun bereaksi keras dan mengatakan penembakan tersebut sebagai sebuah kejahatan serta mengancam tidak akan membiarkan hal tersebut begitu saja. Rusia pun segera melarang warganya bepergian ke Turki lalu berencana sejak 1 Desember akan menghentikan ekspor gas alam dan minyak mentah. Selain itu Rusia sebagai bentuk reaksi atas insiden tersebut, Rusia segera menempatkan rudal-rudal anti jet serta senjata senjata mutakhirnya di perbatasan Turki sebagai ‘warning’ agar Turki dan negara-negara lainnya tidak mengintervensi aksi militer angkatan udara Rusia di Suriah.

Erdogan menegaskan bahwa Turki hanya melindungi kedaulatan dan keamanan segenap wilayah negaranya serta tidak ingin memicu ketegangan dan perselisihan. Turki juga menyatakan siap berdialog untuk menciptakan perdamaian. Ketika Rusia meminta penjelasan Turki terkait insiden penembakan SU-24 Turki pun menjawabnya dengan segera merilis bukti rekaman peringatan terhadap pilot Rusia. Pernyataan keras Putin menyusul terjadinya penembakan pesawat (Koran Sindo, Kamis 27 November 2015) bahwa ia merasa ditusuk dari belakang oleh Turki, juga dijawab dengan lugas dan tegas oleh Erdogan yang melarang Putin berdusta karena faktanya daerah Turkmendagi di wilayah Suriah tidak ada ISIS. Sebab sebagai anggota NATO Turki juga memerangi ISIS dan Turki tahu persis bahwa kawasan tersebut bertempat tinggal orang Suriah keturunan Turki yang disebut sebagai Turkmen dan gunung Turkmen adalah semacam perisai di perbatasan Turki. Etnis Turki yang disebut sebagai Turkmen memang ada di beberapa negara, termasuk di Suriah.

Bahkan dalam beberapa hari ini sebagaimana diberitakan di situs-situs berita di Turki. Rusia mulai membombardir lagi wilayah Suriah yang berdekatan dengan perbatasan Turki dan target yang terkena rudal-rudal pesawat tempur adalah wilayah pemukiman. Akibatnya 12 rakyat sipil tewas dan 20 orang lainnya luka-luka. Truk-truk pengangkut bantuan logistik pun tak luput pula menjadi sasaran kebrutalan Rusia. Maka pertanyaannya bila ingin melawan kaum milisi ISIS mengapa rakyat sipil yang tidak berdosa yang kembali menjadi sasaran? Sementara kaum milisi ISIS aman-aman saja di daerah basisnya.
Pertanyaan lainnya pun mengemuka, mengapa yang menjadi sasaran rudal rudal Rusia adalah justru bantuan logistik ke wilayah masyarakat sipil? Mengapa pula yang menjadi sasaran adalah rakyat yang bersatu menjadi kelompok oposisi Asad pro Reformasi yang notabe adalneah Sunni? Mengapa tentara Iran masuk ke wilayah Suriah bersatu dengan tentara Asad untuk melawan kelompok-kelompok oposisi yang notabene rakyat Suriah?

Kepentingan apa yang dimiliki Iran Iran, Rusia, Amerika, dan Eropa di Suriah? Di Suriah saat ini nyawa manusia seolah sudah tidak ada harganya, puluhan orang tiap hari kehilangan nyawanya dan tidak pernah ada yang mempermasalahkannya di dunia internasional. Bahwa ada sebuah rezim totaliter yang melakukan represi dan membunuhi rakyatnya sendiri yang semula hanya melakukan unjuk rasa damai pro Reformasi.  Mengapa sebaliknya satu dua nyawa melayang jika terjadinya di Eropa dan di Amerika maka akan menjadi isu internasional dan seolah seluruh dunia berduka. (Diterjemahkan koresponden Istanbul, Azzam dari link: http://mobile.tgrthaber.com.tr/dunya/rus-ucaklari-oraya-bomba-yagdiriyor-99013)
Pembelaan Turki, baik pemimpinnya maupun rakyatnya yang bahkan bersedia menampung dua juta orang pengungsi Suriah dan diperlakukan dengan sangat baik membuat mereka tidak tinggal diam melihat kesewenang-wenangan. Boleh jadi insiden penembakan tersebut selain karena memang melanggar wilayah kedaulatan udara negara Turki, sekaligus juga merupakan ‘warning’ bagi Rusia untuk tidak ikut campur ke dalam urusan internal sebuah bangsa antara pemerintah dan oposisi, antara pemimpin dan rakyatnya, namun berdalih memerangi ISIS.

Akibatnya terjadi eskalasi suhu politik antara Turki dan Rusia sehingga dikhawatirkan menyulut perang terbuka antara Turki dan Rusia. Namun sejauh ini Turki dalam hal ini pemimpinnya yakni Presiden Erdogan dikenal piawai mengelola krisis hubungan luar negeri, sebagaimana sebelumnya pada tahun 2012, Turki juga pernah mengalami krisis hubungan dengan Amerika Serikat. Pada saat itu tiba-tiba terdengar kabar bahwa Kongres AS akan mengajukan kembali  ke PBB kasus genosida 95 tahun yang lalu dalam PD I yang menurutnya dilakukan tentara Turki Utsmani terhadap etnis Armenia. Padahal  di saat itu juga prospek Turki menjadi anggota penuh Uni Eropa mulai nampak setelah menjadi anggota kehormatan Uni Eropa. Rencana pengajuan kasus genosida oleh kongres AS ini memperburuk hubungan bilateral AS-Turki yang selama ini dianggap bersekutu dan sama-sama merupakan negara anggota NATO. Turki menarik pulang Duta Besarnya di Washington, AS.  Akibat kasus ini Turki mungkin akan mendapat sangsi PBB dan menghadapi ancaman embargo serta semakin sulitnya proses realisasi keanggotaan Turki ke dalam Uni Eropa.

Fenomena di atas merupakan gejala yang nampak di permukaan gunung es, namun bila dielaborasi lebih jauh maka akar permasalahan yang sesungguhnya memang multifaktor. Hubungan Armenia dan Turki selama ini memang relatif buruk, karena kesenjangan ekonomi di antara dua negara. Armenia terletak di antara Turki dan Azerbaijan di Rusia, namun sementara hubungan kerjasama karena kesamaan agama dan budaya antara Turki dan Azerbaijan sangat baik, tidak demikian halnya dengan Armenia yang terpuruk kondisi ekonominya. Armenia juga menyimpan dendam yang belum kunjung hilang karena masih ada beberapa puluh orang saksi mata pada saat itu yang masih hidup hingga saat ini dan selalu menceritakan ulang peristiwa yang terjadi 95 tahun silam itu. Saat itu tentara Turki Utsmani setelah turun tahtanya Sultan Abdul Hamid, yang mendeportasi etnis Armenia dari wilayah Turki dan dalam perjalanan tersebut banyak yang mati terbunuh atau mati kelaparan.

Jumlah penduduk Armenia di AS sendiri tidak terlalu besar dan 95% lebih beragama Kristen Ortodoks. Namun karena Obama dalam kampanyenya saat akan menjadi Presiden Amerika Serikat menjanjikan dalam beberapa kesempatan di beberapa negara bagian bahwa ia akan mengungkap kembali kasus genocide di Armenia oleh tentara Turki Utsmani pada PD I, maka persoalan itu pun sangat mempengaruhi hubungan AS – Turki. Mencuatnya persoalan “genocide” 95 tahun silam, yang diangkat kembali ke PBB oleh Kongres AS, menurut Kemal Stamboel[1] adalah murni persoalan tarik menarik kepentingan dalam hubungan bilateral AS dan Turki.

Namun di dalam Kongres AS sendiri terjadi perbedaan pandangan. Dalam rapat yang membahas rencana pengangkatan masalah tersebut dan mengajukannya ke Dewan Keamanan PBB, Gedung Putih melalui Menlu Hillary Clinton ternyata menginginkan agar Kongres menunda proses voting masalah tersebut dan mempertimbangkan kembali hubungan bilateral AS dengan Turki yang telah terjalin baik selama ini. Hillary meminta agar istilah genocida  juga tidak digunakan dalam kasus ini. Karena bagaimanapun juga selama ini Turki telah menjadi sekutu utama AS di dunia Muslim dan sama-sama merupakan anggota NATO.

Turki dengan posisinya sebagai salah satu negara Islam moderat yang maju ekonominya memang tak terhindarkan untuk menjadi sorotan dunia. Dan pengungkapan kembali kasus genocida etnis Armenia oleh Turki di PD I yang diajukan oleh Amerika Serikat adalah sebuah cara Amerika Serikat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Amerika Serikat tetap merupakan negara yang memperjuangkan pelaksanaan HAM di dunia dan mengecam pelanggaran HAM, walaupun kejadiannya di masa silam dan dilakukan oleh sekutunya. Turki sendiri awalnya terus berupaya melakukan berbagai cara untuk mencegah rencana kongres AS mengajukan ke DK PBB dengan melalui jalur eksekutif dan juga legislatif, salah satu di antaranya mengirimkan para anggota parlemen Turki dari Komisi Luar Negeri untuk menemui Kongres AS.

Selain itu Turki juga sempat membuat pernyataan yang mengakui bahwa saat itu memang telah terjadi kekejian terhadap etnis Armenia namun bukan sesuatu yang sistemik dan direncanakan melainkan menjadi tidak terkendali karena dalam kondisi perang.
Ketika nampaknya usaha Turki dan bahkan juga usaha eksekutif AS yakni pemerintahan Obama mencegah hal tersebut tidak dihiraukan oleh Kongres AS, maka pemerintahan Turki mengambil langkah drastis dengan menarik Dubes Turki untuk AS. Kesemuanya itu merupakan ekspresi Turki yang menunjukkan bahwa Turki berani mengambil sikap tegas pada AS. Turki memiliki kepercayaan diri yang baik terkait dengan kemajuan ekonominya, posisi geopolitisnya sehingga siap mengambil resiko apapun termasuk tekanan ekonomi berupa embargo.

Namun Stamboel menilai kasus ini tidak memiliki efek negatif terhadap Turki karena dewasa ini konfigurasi kekuatan politik dunia terus mengalami perubahan, termasuk AS sendiri yang saat ini bukan satu-satunya pusat kekuatan dunia. Menurutnya AS juga memiliki banyak kepentingan dalam hubungan bilateralnya dengan Turki sehingga akan berusaha pula mencari titik temu dengan Turki terkait dengan kasus Armenia. Jadi persoalan Armenia hanyalah political tool (sarana politik) yang digunakan oleh AS dalam tarik menarik kepentingan dengan Turki.
Dalam hal ini pelanggaran HAM menjadi kasus yang sulit diungkapkan namun juga sulit dilupakan sehingga masih tetap relevan serta applicable sebagai alat politik. Seperti kasus Timor Timur 35 tahun lalu yang selalu bisa diungkit-ungkit kembali di dunia internasional sebagai bentuk pelanggaran HAM oleh militer Indonesia.

Kita melihatnya sebagai pembelajaran bahwa ketika kasus pelanggaran HAM diangkat kembali di permukaan belum tentu secara substansial permasalahannya adalah persoalan HAM an sich, melainkan persoalan tarik menarik antara kepentingan dua negara.  Dalam hal ini ada dua negara yang sama-sama memiliki kepentingan atau kebutuhan satu sama lain, namun sedang melakukan tawar menawar, yang boleh jadi ujung-ujungnya adalah motif ekonomi. Selain itu mungkin juga ada kaitannya dengan sikap tegas Erdogan terhadap Israel dan lobby Yahudi di kongres AS kuat, dan AS adalah pelindung utama Israel. Namun hal yang tak diduga oleh AS adalah bahwa bagi Turki ini adalah masalah sovereignty, (kedaulatan) yakni bahwa  Turki tidak takut digertak oleh AS dan tak sudi diintervensi  atau ditekan oleh AS.
Menurut Stamboel[2] yang lebih penting dilihat adalah pasca peristiwa ini, konsensus seperti apa yang akan ditawarkan oleh masing-masing negara yakni AS, Turki dan Armenia yang terlibat dalam kasus ini.

Bila dikaitkan dengan kemungkinan Turki mendapatkan keanggotaan Uni Eropa, maka kasus ini juga akan dijadikan senjata sekaligus bukti oleh Armenia dan Yunani untuk tidak mengabulkan permintaan Turki menjadi anggota Uni Eropa. Sikap Uni Eropa yang selama ini sudah menerima Turki sebagai mitra Uni Eropa diprediksi akan mendua antara negara-negara yamg menyetujui keanggotaan Uni Eropa misalnya karena motif ekonomi, kemudahan suplai gas Turki ataupun yang menentang karena jumlah penduduk Turki yang sangat banyak  akan mengancam negara-negara anggota Uni Eropa lainnya   dalam   hal   kesempatan kerja dan sebagainya.

Atau bahkan sebagaimana dikatakan oleh Presiden Perancis saat itu Giscard D’estaing dan dibenarkan oleh Kanselir Jerman Barat lebih karena alasan bahwa Turki bukanlah bagian dari Eropa. Sebab menurut mereka sebagian besar wilayah Turki ada di Asia dan memiliki perbedaan yang sangat mencolok dalam hal budaya, agama  dan lain-lainnya dengan negara-negara anggota Uni Eropa pada umumnya.
Bila dalam krisis hubungan Turki-AS pada tahun 2012 diduga dipicu oleh  sikap tegas Erdogan terhadap Israel sementara lobby Yahudi di kongres AS kuat, dan  sebagaimana diketahui AS adalah pelindung utama Israel. Dalam krisis hubungan Turki-AS terbukti sikap tegas Turki yang tidak takut dengan ancaman AS, membuat masalah tersebut dapat teratasi secara baik dan berangsur-angsur hubungan Turki-AS pun membaik. Maka kini pertanyaannya apakah krisis hubungan Turki-Rusia saat ini berakhir dengan baik atau justru memburuk dan memicu perang terbuka.

Sebagaimana diketahui secara terbuka Presiden Suriah, Bashar Assad memang meminta Rusia membantu memerangi pasukan Suriah anti pemerintah. Mereka adalah para tentara yang desersi karena melihat pemerintahan Bashar Assad sangat represif terhadap rakyatnya sendiri yang menginginkan reformasi.  Sejak akhir 2011 dan berlanjut di awal 2012 terjadi fenomena Arab Spring yakni tuntutan rakyat di negara-negara Timur Tengah akan terjadinya reformasi berupa keterbukaan, kesamaan hak dan kebebasan. Gerkan reformasi tersebut dimulai  dari Tunisia, Libya, Mesir, Yaman hingga akhirnya juga menyentuh Suriah. Pemerintahan Bashar Assad awalnya bersikap seolah akan mengakomodasi tuntutan perubahan dari rakyatnya, namun kemudian ternyata ia menangani para demonstran pro Reformasi tersebut dengan penculikan, penganiayaan dan pembunuhan. Semua itu nyaris tidak diliput media massa mainstream, namun hal itu sebenarnya dapat disimpulkan dari fakta bahwa ratusan ribu rakyat Suriah tewas sejak 2011 dan jutaan rakyat Suriah mengungsi ke Turki (2 juta), ke Yordania (1 juta), dan ke negeri negeri lainnya termasuk ke Eropa.

Oleh karena itu intervensi Rusia membantu pemerintahan represif Bashar Assad yang memerangi tentara Suriah yang desersi karena berada di belakang rakyat yang menginginkan kebebasan dari tiran Assad sehingga mengakibatkan jutaan rakyat Suriah menjadi pengungsi di berbagai negara, membuat geram Erdogan. Turki sendiri menampung dua juta pengungsi Suriah. Ketidakjelasan fokus Rusia dalam memerangi ISIS dan  malah mencampuri urusan internal bangsa lain menyebabkan ia mengalami masalah. Apalagi dalam insiden Selasa 24 November itu, angkatan udara Rusia berada di wilayah minoritas etnis Turki yang ada di Suriah.

Namun bila kembali mencuat pertanyaan apakah eskalasi suhu politik antara Turki dan Rusia yang meningkat akan benar benar menyulut perang terbuka antara Turki dan Rusia, nampaknya kecil kemungkinannya. Sebab paling tidak ada sejumlah alasan yang membuat kecil kemungkinannya insiden penembakan pesawat Rusia yang melintasi wilayah udara Turki itu menyulut peperangan antara Turki dan Rusia.
  1. Alasan pertama adalah fakta dengan bukti rekaman bahwa Rusia  memang salah melanggar wilayah udara Turki yang berbatasan dengan Suriah. Hal itu diakui sendiri oleh netizen atau masyarakat sosmed Rusia sehingga reaksi keras Putin diyakini lebih agar tidak kehilangan muka dan untuk menjaga imej Putin dan Rusia.
  2. Alasan berikutnya bahwa perang antara Turki dan Rusia tidak akan pecah adalah karena hubungan bilateral antara Turki dan Rusia sangat erat dan bersifat multidimensional baik antara Government to Government dengan Person to Person
    1. Wisatawan kedua terbesar setelah Jerman adalah orang Rusia
    2. Rusia mengekspor gas alam, minyak mentah, baja ke Turki (50% kebutuhan Turki dipasok dari Rusia). Walaupun memang Rusia  mengancam per 1 Desember akan menghentikan pasokan gas, embargo.
    3. Di wilayah seperti kawasan perdagangan Aksaray banyak tinggal orang Rusia yang menjalankan bisnisnya di Turki
  3. Kondisi politik dan ekonomi Rusia saat ini sedang tidak stabil  dan gerakan oposisi sedang meluas, sementara cost perang sangat besar dan mereka baru saja mereka melewati krisis. Maka nampaknya kecil kemungkinannya Rusia melancarkan perang terbuka dg negara besar dan maju seperti Turki.
  4. Dalam sejarahnya, Ottoman Empire perang dengan Rusia 10 kali  dan tidak pernah jelas siapa yang menjadi pemenangnya. Namun dalam sejarah Turki modern belum pernah ada perang terbuka, walaupun hubungan diplomasi Turki-Rusia mengalami masa pasang surut.
  5. Wilayah geografis Turki sangat menguntungkan dan Rusia membutuhkan karena kapal perang Rusia jika mau keluar ke perairan internasional harus melewati Bosporus yang notabene mendapatkan izin dari pemerintahan Turki.
  6. Turki adalah anggota NATO dan memiliki kekuatan militer yang diperhitungkan di NATO. Tradisi militer di Turki sangat kuat dan bahkan tugas tentara dianggap sakral, terhormat serta jihad, sehingga jika gugur dalam tugas maka berarti mati syahid. Setiap tentara Turki disebut sebagai Mehmed atau Muhammad kecil
  7. Turki dibutuhkan sebagai kekuatan penggenap dan penyeimbang baik oleh Rusia maupun AS. Dalam upaya menghadapi Rusia, AS membutuhkan Turki sebagai sekutunya di Nato. Sebaliknya untuk menghadapai Barat, Rusia pun membutuhkan Turki sebagai mitra terutama dalam bidang ekonomi.
Rakyat Turki sendiri secara garis besar mendukung langkah kebijakan para pemimpinnya  bahkan kalangan Muslim konservatif menganggap tindakan penembakan jet tempur Rusia itu masih belum menunjukkan pembelaan yang cukup terhadap rakyat Suriah
Erdogan memang sejak lama sudah menyatakan menyatakan independensi Turki yang berdaulat dan bermartabat, bebas hutang IMF  yang merupakan warisan sejak masa pemerintahan CHP dan MHP, bebas secara politis di kawasan regional dan global. Hal yang menguntungkan Turki dibanding Rusia, di samping stabilitas sosial, politik dan ekonomi, kekuatan militernya pun tidak kalah dengan Rusia. Ketika Rusia melakukan showing off senjata-senjata rudal S-300 ke Suriah, maka Turki pun mengirim pesawat-pesawat tempur dan tank-tank Turki ke perbatasan Turki. Oleh karena itu setelah Putin berbicara secara keras dan mengancam akan membalas, juru bicara Kremlin cepat menambahkan bahwa balasannya tersebut bukan dalam konteks militer, maka dapat disimpulkan bahwa ancaman Rusia bukan dalam konteks militer, melainkan dalam konteks hubungan bilateral multi aspek terutama ekonomi yang selama ini berlangsung. Tarik menarik dan tawar menawar masih akan berlanjut di antara kedua negara yang sebenarnya saling membutuhkan ini, namun yang jelas krisis hubungan Turki-Rusia ini diprediksi tidak akan berlanjut ke konteks militer alias perang terbuka.()
___
[1] Wawancara dengan Kemal Stamboel, Ketua Komisi I, DPR RI pada Sabtu 3 Maret 2012.

[2] Ibid.

Sumber : http://doktor-politik-ui.net/2015/11/krisis-turki-rusia-akankah-berlanjut/

Related

Turki 3803579024877038788

Posting Komentar

Recent

Recent Posts Widget

Arsip

Entri yang Diunggulkan

Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

Hot in week

Tayangan Laman

item