Menguji Doktrin Sakti HTI
https://bariqunnury.blogspot.com/2015/12/menguji-doktrin-sakti-hti.html
Menguji Doktrin Sakti HTI
@ Diskusi Pergerakan
Beberapa kali terlibat dlm diskusi HTI, maka meme seperti ini selalu muncul. Ini semacam kartu As teman2 HTI dalam berdiskusi, untuk mematahkan hujjah yg tidak sesuai dengan fikrah HTI. Perlu diketaui, fikrah sebagaimana yg tergambar dlm meme ini termasuk materi - materi dasar dalam program halaqah HTI.
Melalui pintu inilah, seorang pelajar SMA / mahasiswa menolak semua sistem dan hanya mau mengikuti sistem khilafah versi HTI. Artinya, mematahkan doktrin ini sama dengan menghancurkan pondasi pengkaderan HTI yg paling asasi.
Sebuah premis dan gagasan itu perlu diuji dengan logika dan akal sehat. Jangan disakralkan, karena Al Qur’an sekalipun menantang bagi siapapun yg ragu akan kebenaran yg dibawanya. Dengan segala hormat, sebaiknya meme ini jangan lagi diposisikan sebagai kartu sakti dalam berdiskusi. Karena akibatnya memang fatal, bisa jadi senjata makan tuan. Mari kita analisa bersama.
Pertama, demokrasi bukan ajaran nabi dan rosul. Tidak ada nabi yg mengajarkan demokrasi. Jawabannya betul. Kalau mau lebih vulgar, tidak ada ayatnya dan tidak ada dalilnya. Lalu apa yg diajarkan oleh nabi dan rosul?
Nabi dan rasul, menyerukan tentang tauhid, inilah metode yg diikuti oleh ikhwan salafi. Nabi dan rasul mengajarkan tentang tata cara beribadah (fiqih dll), inilah yg diikuti oleh kaum nahdliyin. Nabi dan rasul membicarakan ttg iman dan amal sholeh, inilah jalan yg ditempuh oleh jama’ah tabligh. Dan banyak hal lainnya.
Pertanyaannya sekarang berbalik ke HTI, apakah nabi dan rosul mengajarkan ttg membuat negara? Mana ayat yg memerintahkan umat Islam untuk mendirikan khilafah islamiyah? Kalau masalah pentingnya kepemimpinan, dalilnya melimpah ruah. Tapi kalau ttg lembaga kekhilafahan? Ayolah, itu ijmak para shahabat saat di saqifah bani sa’idah. Kalau mau dibahas, bisa panjang lebar dan luas. Butuh status tersendiri.
Kedua, demokrasi adalah ajaran plato, orang kafir, tidak beriman dan sebagainya. Jawabannya betul. Apakah ini membuat kita jadi tidak bisa mengadopsi dan mengharamkan sama sekali? Jawabannya tidak.
Dalam urusan keduniaan (muamalah dll) kaidahnya semua halal sampai ada dalil yg melarang. Dalam urusan ubudiyah, semua haram sampai ada dalil yg memerintahkan. Nah, teman2 HTI sering melihat dengan cara terbalik. Secara jujur, aq malah jadi penasaran kepada siapa mereka belajar fikih. Itu sudah tak tanyakan bolak balik dan tidak ada jawabannya.
Antum a’lamu bi umurid dun-yakum. Dalam urusan dunia, yg penting tidak menabrak nash. Tidak masalah kita mengadopsi ide dan praktek pihak diluar islam, tentu harus ditimbang maslahat dan mudharatnya. Strategi perang khandak, stempel, penanggalan dll adalah contoh sederhana. Sangat berlebihan juga jika dalam urusan seperti ini dihukumi dg konsep tasyabbuh.
Lalu dimana jatidiri islamnya? Jadi dalil syara sudah memberikan rambu kepada kita agar identitas keislaman tidak hilang. Segala sesuatu ditimbang dg kacaata syariat. Ada yg diterima (tahmil), ada yg ditolak (tahrim) dan adapula yg harus dimodifikasi dan dirubah (taghyir). Dan yg berhak melakukan hal itu adalah para ulama, bukan anak kemarin sore. Produk pesantren atau ma’had jurusan syariah, bukan produk doktrinasi dalam forum liqoat. Supaya tidak muncul fatwa - fatwa yg serampangan.
Ketiga, dalam demokrasi manusia yg membuat hukum, bukan Allah. So, yg jadi masalahnya disini bukan hanya pemimpinnya nanti kafir, sekuler dll. Jawabannya, premis ini perlu dikaji lebih dalam.
Allah adalah Musyarri. Namun untuk menerjemahkan hukum yg masih global, ada keterlibatan manusia. Rasulullah juga Musyarri, hanya saja beliau senantiasa terbimbing oleh Allah. Para mujtahid juga musyarri karena merekalah yg memberikan kesimpulan hukum polanya bisa dengan shahib asy syari’at, bisa pula dengan model isthimbat.
Diantara bentuk kesalahan logika HTI, mereka selalu memposisikan pembuat hukum kepada pemerintah. Tidak salah, tapi kurang tepat. Karena dalam perkara agama, kita tunduknya pada ulama, bukan umara. Karena itu, meskipun tidak ada undang - undang ttg sholat, kita masih bisa sholat. Karena aturannya ada dalam kitab - kitab fikih. Jikapun pemerintah ikut membuat regulasi (spt undang - undang zakat) maka statusnya hanya penguat.
Demokrasi itu cuma sistem. Ibarat mesin, berlaku hukum GIGO. Jika yg dimasukkan sampah, produknya sampah. Jika yg dimasukkan emas, produknya juga emas. Jika diisi orang baik, demokrasi melahirkan pemimpin yg shaleh, menghasilkan DPR yg shaleh. Demikian pula sebaliknya.
Keempat, siapapun yg memimpin jalur demokrasi, maka tidak akan mau menerapkan syariat Allah, hukum islam dll. Jawabannya, mari kita lihat faktanya dilapangan.
Diantara kesalahan berfikir HTI, semua harus menjadi regulasi negara. Istilah bekennya, formalisasi syariat. Anehnya, dulu yg diserang dg istilah ini adalah PKS, melalui produk hukum perda syariah. HTI aman - aman saja, karena berstatus sebagai penonton diluar pagar.
Menerapkan hukum Allah bisa dilaksanakan secara mandiri. Zina, riba dll bisa kita terapkan baik dalam skala pribadi, keluarga dll. Tidak harus diformalkan dlm bentuk peratiran perundangan negara. Karena nanti di akherat, yg akan dihisab atas hukum - hukum taklif juga manusia secara individu, bukan pemerintahan atau negara.
Menerapkan peraturan yg dilandasi nilai syariat juga bisa dilakukan dalam skala lokal. Mulai perdes sampai perda. Tidak harus dalam skala nasional. Dan tidak harus mengubah negara menjadi bentuk khilafah dulu baru bisa dijalankan. Kisah Bu Risma menutup lokalisasi Gg Dolly adalah contoh yg mudah. HTI malah tidak jelas keberadaannya. Padahal Surabaya adalah salah satu markas HTI.
Dan semuanya perlu pentahapan. Monggo lah belajar sendiri ttg bagaimana tahap pensyariatan jihad, pensyariatan zakat dan puasa, pensyariatan sholat, pelarangan khamr dan riba dll. Pembahasannya bisa panjang, lebar dan luas. Disini diuji bagaimana konsep social engineering sebuah harakah.
Kelima, oleh sebab itu demokrasi adalah bentuk kemaksiatan yg perlu dijauhi sama sebagaimana zina dan riba. Bahkan karena demokrasi zina dibolehkan. Jawabannya, ini kesimpulan yg berlebihan. Yg membuat meme harus menghadirkan dalil yg kuat.
Mengharamkan itu bukan perkara ringan. Imam Malik bin Anas (gurunya Imam Syafi’i) selalu berkeringat takut jika ditanya masalah halal haram. Lain dengan produk harokah jaman sekarang. Sedikit - sedikit haram. Sungguh, kami penasaran kepada siapa mereka menimba ilmu agama.
Dan ini adalah satu doktrin paling awal yg ditanamkan kepada syabab HTI. Bahwa demokrasi akan menghalalkan riba, zina dll. Padahal kenyataanya tidak selalu demikian. Ini pengandaian yg saat diuji dgn fakta tidak selalu paralel. Padahal kalau dlm dunia ilmiah, sebuah premis jika diuji dilapangan mendapatkan kenyataan yg tidak selalu sama, maka premisnya batal.
Dan bagaimanakah kita seharusnya berdakwah kepada sesama manusia? Ayolah, mari kita buka kitab sirah nabawiyah bareng - bareng. Yg diajarkan bukan masalah membentuk khilafah. Dan sampai rasul wafat, tidak ada satu wasiat pun untuk membentuk khilafah. Yang ada, dakwah dimulai dengan tauhid, trus beriman kepada hari akhir dll. Baru meningkat ke peribadatan, halal haram dan seterusnya.
Dari sini saja, manhaj dakwah HTI sungguh perlu dikoreksi. Karena belum apa - apa langsung membentuk khilafah. Lalu diberi gambaran kekaguman sebagaimana keberhasilan kaum yahudi, yg mencanangkan pembentukan negara israel lalu dlm jangka waktu kurang dr 100 tahun negara israel sdh terbentuk.
Keenam, jadi jangan dekati tempat maksiat. Yaitu tempat produk - produk demokrasi. Jawabannya, gimana ya? Fakta dilapangan menunjukkan banyak kontradiksi atas seruan di point ini. Kami tidak sampai hati untuk menguliti point ini.
Jika memang menganggap suatu negeri yg menerapkan pola demokrasi sebagai negeri yg kufur sebagaimana pesan tersirat atas status meme ini, maka semestinya HTI melakukan hijrah. Bukan sekedar hijrah secara maknawi, tapi hijrah secara makani. Monggo dibaca tesisnya Dr Ahzami Sami’un Jazuli yg bertajuk Al Hijrah fil Qur’anil Karim. Panjang lebar dibahas ttg apa itu hijrah.
Khatimah
Kami menulis ini tergerak atas rasa cinta, bukan kebencian. Pesan kami cuma satu : jika ingin belajar agama, belajarlah kepada para ulama. Agar kita tidak menjadi kaum ruwaibidhah. Afwan minkum.
Posting Komentar