KELUARGA BERENCANA
https://bariqunnury.blogspot.com/2015/12/keluarga-berencana.html
(Masih tentang pentingnya tahun pertama dan mengurangi peluang terjadinya Attachment Disorder) -
Oleh: Yeti Widiati S.
"Keluarga Berencana" adalah istilah generik yang digunakan pada masa pak Harto lebih dari 30 tahun lalu untuk mengurangi jumlah penduduk di Indonesia saat itu.
Saya segera teringat dengan istilah ini, setelah membaca kembali teori perkembangan psikososial Erik Erikson mengenai anak usia 0-12 bulan. Betapa dahsyatnya pengaruh tahun pertama menjadi fondasi bagi perkembangan anak kemudian. Terutama dari sisi kemampuan kendali emosi dan keberanian untuk masuk ke lingkungan sosial yang lebih besar dan berinteraksi dengan orang-orang baru di lingkungannya.
Anak yang dalam tahun pertamanya terpenuhi semua kebutuhan fisik dan psikologisnya dengan segera, akan mengembangkan trust pada pengasuh utamanya (primary caregiver), bisa ibu kandungnya ataupun pengasuh lainnya. Ia memiliki rasa aman (secure) karena tahu ke mana ia bisa bersandar dan mencari perlindungan. Sehingga ketika ia mencoba-coba untuk masuk ke suatu lingkungan baru, ia tahu ke mana ia harus kembali dan memperoleh penguatan. Itulah yang membuat mengapa anak-anak ini menjadi lebih berani masuk ke lingkungan baru.
Bagaimana mekanismenya sehingga anak yang terpenuhi kebutuhannya segera, dapat mengembangkan trust kepada ibu/pengasuhnya?
Saya teringat cerita seorang teman yang akan dioperasi. Saat menunggu proses obat bius bekerja sempurna ke seluruh tubuhnya, ia ditinggalkan di sebuah lorong sebelum masuk ruang operasi. Ia merasa sekujur badannya lumpuh, namun masih setengah sadar sehingga masih bisa melihat ke sekelilingnya.
Tiba-tiba seekor lalat terbang berputar-putar di atas kepalanya lalu hinggap di atas hidungnya. Ia saling bertatapan dengan lalat tersebut dan merasa sangat jijik. Tapi, tak ada seorang pun yang bisa menolongnya. Keluarganya ada di luar sementara perawat dan dokter sedang mempersiapkan ruang operasi.
Ia menceritakan pada saya, betapa ia kesal luar biasa pada lalat tersebut. Ia kesal karena tidak bisa melakukan hal yang paling sederhana sekalipun, yaitu mengibaskan tangan untuk mengusir lalat. Dalam kondisi begitu lemah, maka yang ia butuhkan adalah tangan orang lain untuk membantunya. Ia kesal karena adanya lalat yang hinggap, ia kesal karena tidak bisa melakukan pekerjaan sederhana, ia kesal karena harus bergantung pada orang lain, dan juga kesal karena tidak ada orang lain yang membantunya.
Saya perhatikan, kondisi emosi yang mudah terpicu ini terjadi pada orang yang "lemah", baik secara obyektif, seperti bayi yang baru lahir, orang yang sudah sangat tua sehingga mengalami penurunan fisik dan kemampuan juga orang sakit parah. Maupun secara subyektif, seperti mereka yang dibully, dilecehkan, mengalami kekerasan, kesehatan yang buruk, rendahnya kondisi pendidikan, sosial dan ekonomi.
Baiklah, saya kembali kepada orang dengan kelemahan obyektif yang sedang saya bahas, yaitu bayi-bayi usia 0-12 bulan. Bayi-bayi ini sepenuhnya bergantung pada pengasuhnya. Kalau lapar/haus ia menangis minta disusui atau diberi makan, ketika pipis, ia minta segera diganti popok dan pakaiannya dengan yang kering dan nyaman. Ketika kedinginan, ia ingin diselimuti. Ketika tidak nyaman ia ingin dipeluk. Ia ingin disentuh dengan lembut, dirawat dengan baik, ditatap dengan wajah penuh senyum dan semangat. Betul-betul seorang raja/ratu kecil yang memaksa, tak suka ditunda dan ingin yang terbaik.
Sekarang, bagaimana kalau sang pengasuh tak hadir dan segera melayaninya dengan baik? Sama seperti yang dialami teman saya yang akan operasi. Dia kesal, marah, sedih, dan bila itu terjadi berulang bahkan menjadi pola serta kebiasaan, maka sang bayi mungil ini akan selalu merasa cemas dan kuatir. Ia kehilangan trust/rasa percaya kepada orang-orang di lingkungannya. Ia menjadi anak yang rewel, sensitif, dependen, penakut, dll. Bila hal ini berlanjut, maka bayi akan tumbuh menjadi anak bahkan orang dewasa yang mengalami kondisi Attachment Disorder yang ditandai dengan kekurangmampuan seseorang untuk membangun hubungan interpersonal yang sehat dan resiprokal/timbal balik dengan orang lain *Diana - Lea Baranovich.
Ada sementara ibu muda berkomentar, "Masa iya setiap bayi nangis kita harus segera datang, kan kita juga urusannya bukan cuma dia. Kita juga harus masak, beres-beres, ngurus kakaknya juga bapaknya. Nanti malah dia manja dan 'bau tangan' dong. Belum lagi kalau nangisnya malam-malam, kan kita juga cape dan ngantuk ..."
Nah, saya sudah menjelaskan di atas bagaimana mekanisme terbentuknya trust pada bayi usia 0-12 bulan. Sehingga masalah lainnya, saya kira penyelesaiannya adalah di strategi pembagian kerja (dengan suami atau melibatkan orang lain) dan juga mengelola hati agar bersedia berkorban mengurangi waktu tidur dan kesenangan setiap hari tanpa jeda dan tanpa libur.
Lelah itu pasti, namun kesiapan pasangan untuk memiliki anak, berarti juga kita menyiapkan diri untuk menghadapi konsekuensinya. Berdua lho, bukan hanya istri.
Bagi yang masih menanti kelahiran bayi, atau yang bayinya masih berusia di bawah 12 bulan, ini juga saatnya untuk mengatur jarak kelahiran, sehingga baik si kakak maupun si adik tidak terambil haknya atas kasih sayang dan perhatian penuh orangtuanya. Rencanakan mengandung kembali saat si kakak sudah cukup mampu untuk melakukan ketrampilan bantu diri, makan sendiri, buang air dan mandi sendiri, hingga berpakaian sendiri.
Bagi yang sudah kepalang punya anak dengan jarak terlalu dekat, sehingga kakak masih membutuhkan bantuan sementara adik baru lahir, maka ini saatnya untuk mengatur kembali strategi, waktu, berbagi kerja, mempertimbangkan meminta bantuan pihak lain, dlsb.
Bagi yang belum menikah, berarti ini kesempatan anda untuk mempersiapkan diri, memasuki tanggung jawab yang lebih besar, sekaligus memperoleh kesempatan mengembangkan diri dengan lebih baik.
Bila kita berfokus pada target dan prioritas, maka kita akan mengurangi "ongkos kerugian" emosi dan psikologis pada waktu yang akan datang.
Posting Komentar