Tokoh Pendiri NU Lampung: KH. Muhammad Thohir, Tokoh Agama yang Tegas dan Berilmu Tinggi
https://bariqunnury.blogspot.com/2016/06/tokoh-pendiri-nu-lampung-kh-muhammad.html
KH. Muhammad Thohir adalah seorang tokoh agama asal Lampung Barat yang amat disegani dan terkenal pada zamannya. Ilmu agamanya tinggi, karena belajar selama 30 tahun di tanah Arab, yaitu Mekah, Madinah, Mesir, Palestina, dan Baghdad. Salah seorang gurunya adalah Syech Abdul Qodir Jaelani, yang banyak mengajarkan ilmu tarekat.
Semasa hidupnya, KH. M. Thohir dikenal memiliki pendirian yang keras dan tegas terhadap hukum agama Islam. Meski begitu, beliau dikenal sebagai ulama yang lemah lembut dalam berbicara dan suka memaafkan orang lain.
Menurut salah seorang cucu beliau, H. Johan Iskandar TH, ketua PCNU Lampung Barat, kakeknya itu mengajar agama tanpa pamrih, atau tidak pernah memungut bayaran. Semua santri yang berjumlah sekitar 200-an orang tinggal di rumahnya, dan cukup hanya membawa pakaian sehari-hari.
KH. M. Thohir pun mengobati orang sakit dengan berbagai keluhan. Banyak diantara pasiennya itu harus menetap di rumahnya hingga berminggu-minggu sampai sembuh. Semuanya dilakukan tanpa pamrih dan ditanggung semua kebutuhan sehari-hari.
Pada tahun 1936, KH. M. Thohir mengikuti Muktamar Nahdlatul Ulama di Menes, Serang, Banten. Ada tiga usulan beliau dalam muktamar tersebut, seperti diungkapkan oleh KH Syukron Makmur, pemimpin pondok pesantren Darul Kalam, Jakarta. Yaitu, pembentukan lembaga pendidikan NU, muslimat NU, dan bank Islam. Usulan terakhir diduga merupakan cikal bakal bank berbasis syariah yang banyak dikenal belakangan ini.
Sepulang dari muktamar tersebut, KH. M. Thohir membentuk forum silaturahmi alim ulama, yang disebut jaringan NU di Lampung. Jaringan inilah yang kelak menjadi organisasi NU di propinsi Lampung, yang ketika itu masih bergabung dalam propinsi Sumatera Selatan.
KH Muhammad Thohir lahir dengan nama Adjma, anak H. Ahmad Khotib, seorang keturunan Banten yang hijrah ke Lampung. Sejak kecil Adjma sudah menunjukkan ketaatannya terhadap ajaran agama Islam. Di kampungnya, Pekon Penengahan, Laai, Krui (yang kini masuk kabupaten Pesisir Barat) Adjma kecil belajar mengaji dan ilmu fiqih.
Ketika berusia 16 tahun, Adjma berangkat ke Mekah untuk melanjutkan pelajaran agamanya dan menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ini Adjma mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Thohir.
Tak lama di Mekah, M. Thohir berangkat ke Kairo, Mesir, untuk memperdalam ilmu agama di perguruan Al Alzhar. Di sana M. Thohir tinggal di asrama yang disebut Ruwak Jawa yang artinya Asrama Jawa. Dari M. Thohir mengunjungi Masjidil Aqso di Palestina. Beliau lalu menuju Baghdad dan berguru pada Syech Abdul Qoodir Al Jaelani. Semua perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki.
Menurut salah seorang sahabat beliau selama di perantauan, KH Abdul Razak–yang berasal dari Penengahan, Way Lima Lampung Selatan– seperti dituturkan pada keluarga M. Thohir, para sahabat kerap tidak bisa mengikuti perjalanan beliau.
KH. M. Thohir suka sekali berziarah di makam nabi-nabi dan wali, terutama di makam Nabi Musa AS. Ketika baru pulang dari Mesir, beliau memiliki batu Musa yaitu batu yang dipukul Nabi Musa dengan tongkat ketika lasykarnya kehausan, yang kemudian mengeluarkan 12 mata air.
Ada lima rekan perjuangan KH M. Thohir ketika menuntut ilmu di tanah Arab. Selain KH. Abdul Razak, ada KH Hasbullah dari Kota Agung Kabupaten Tanggamus, KH Abdullah Syafi’uddin dari Rawa Bangke, Jatinegara Jakarta, KH. Syaim’un dari Citangkil Serang Banten, dan KH. Dahlan Djambek asal Payakumbuh , Sumatera Barat.
Setiba di kampung halamannya, beliau disambut dengan suka cita oleh masyarakat banyak, terutama oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. KH Thohir menikah dengan seorang gadis bernama Jamilah, tapi pernikahan itu tidak lama, karena Jamilah meninggal dunia. KH Thohir lalu menikah dengan Fatimah dan mendapatkan tiga anak.
KH M. Thohir mulanya mengajar agama di Pekon (Kampung) Balak Way Tegaga, Liwa, Lampung Barat. Beliau lalu diangkat oleh pemerintah Belanda menjadi guru agama Islam di Kewedanaan Krui. Pola pengajarannya adalah dengan bergiliran dari kampung satu ke kampung lain setiap hari jumat di masing-masing kampung.
Pada tahun 1915 beliau bersama-sama dengan anak-anaknya pindah Pekon Way Suluh, Krui, dan membuat sawah. Lalu tahun 1925 beliau mendirikan sebuah rumah di kampung tersebut yang dinamakan “Lamban Pardasuka” yang artinya adalah Rumah Bersama. Di rumah bersama inilah para santri yang berasal dari Krui, Liwa, dan Muara Dua, Sumatera Selatan, menetap.
Sejak tahun 1945 beliau sering sakit-sakitan. Namun, dalam keadaan sakit, beliau tepap mengajar, hinggat akhir hayatnya. Beliau wafat pada tanggal 18 Januari 1950 bertepatan dengan tanggal 12 rabiul Awal tahun 1370, dalam dalam usia 90 tahun. (Ila Fadilasari)
__________________________
Sumber: http://nu-lampung.or.id/
Semasa hidupnya, KH. M. Thohir dikenal memiliki pendirian yang keras dan tegas terhadap hukum agama Islam. Meski begitu, beliau dikenal sebagai ulama yang lemah lembut dalam berbicara dan suka memaafkan orang lain.
Menurut salah seorang cucu beliau, H. Johan Iskandar TH, ketua PCNU Lampung Barat, kakeknya itu mengajar agama tanpa pamrih, atau tidak pernah memungut bayaran. Semua santri yang berjumlah sekitar 200-an orang tinggal di rumahnya, dan cukup hanya membawa pakaian sehari-hari.
KH. M. Thohir pun mengobati orang sakit dengan berbagai keluhan. Banyak diantara pasiennya itu harus menetap di rumahnya hingga berminggu-minggu sampai sembuh. Semuanya dilakukan tanpa pamrih dan ditanggung semua kebutuhan sehari-hari.
Pada tahun 1936, KH. M. Thohir mengikuti Muktamar Nahdlatul Ulama di Menes, Serang, Banten. Ada tiga usulan beliau dalam muktamar tersebut, seperti diungkapkan oleh KH Syukron Makmur, pemimpin pondok pesantren Darul Kalam, Jakarta. Yaitu, pembentukan lembaga pendidikan NU, muslimat NU, dan bank Islam. Usulan terakhir diduga merupakan cikal bakal bank berbasis syariah yang banyak dikenal belakangan ini.
Sepulang dari muktamar tersebut, KH. M. Thohir membentuk forum silaturahmi alim ulama, yang disebut jaringan NU di Lampung. Jaringan inilah yang kelak menjadi organisasi NU di propinsi Lampung, yang ketika itu masih bergabung dalam propinsi Sumatera Selatan.
KH Muhammad Thohir lahir dengan nama Adjma, anak H. Ahmad Khotib, seorang keturunan Banten yang hijrah ke Lampung. Sejak kecil Adjma sudah menunjukkan ketaatannya terhadap ajaran agama Islam. Di kampungnya, Pekon Penengahan, Laai, Krui (yang kini masuk kabupaten Pesisir Barat) Adjma kecil belajar mengaji dan ilmu fiqih.
Ketika berusia 16 tahun, Adjma berangkat ke Mekah untuk melanjutkan pelajaran agamanya dan menunaikan ibadah haji. Di tanah suci ini Adjma mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Thohir.
Tak lama di Mekah, M. Thohir berangkat ke Kairo, Mesir, untuk memperdalam ilmu agama di perguruan Al Alzhar. Di sana M. Thohir tinggal di asrama yang disebut Ruwak Jawa yang artinya Asrama Jawa. Dari M. Thohir mengunjungi Masjidil Aqso di Palestina. Beliau lalu menuju Baghdad dan berguru pada Syech Abdul Qoodir Al Jaelani. Semua perjalanan itu ditempuh dengan berjalan kaki.
Menurut salah seorang sahabat beliau selama di perantauan, KH Abdul Razak–yang berasal dari Penengahan, Way Lima Lampung Selatan– seperti dituturkan pada keluarga M. Thohir, para sahabat kerap tidak bisa mengikuti perjalanan beliau.
KH. M. Thohir suka sekali berziarah di makam nabi-nabi dan wali, terutama di makam Nabi Musa AS. Ketika baru pulang dari Mesir, beliau memiliki batu Musa yaitu batu yang dipukul Nabi Musa dengan tongkat ketika lasykarnya kehausan, yang kemudian mengeluarkan 12 mata air.
Ada lima rekan perjuangan KH M. Thohir ketika menuntut ilmu di tanah Arab. Selain KH. Abdul Razak, ada KH Hasbullah dari Kota Agung Kabupaten Tanggamus, KH Abdullah Syafi’uddin dari Rawa Bangke, Jatinegara Jakarta, KH. Syaim’un dari Citangkil Serang Banten, dan KH. Dahlan Djambek asal Payakumbuh , Sumatera Barat.
Setiba di kampung halamannya, beliau disambut dengan suka cita oleh masyarakat banyak, terutama oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. KH Thohir menikah dengan seorang gadis bernama Jamilah, tapi pernikahan itu tidak lama, karena Jamilah meninggal dunia. KH Thohir lalu menikah dengan Fatimah dan mendapatkan tiga anak.
KH M. Thohir mulanya mengajar agama di Pekon (Kampung) Balak Way Tegaga, Liwa, Lampung Barat. Beliau lalu diangkat oleh pemerintah Belanda menjadi guru agama Islam di Kewedanaan Krui. Pola pengajarannya adalah dengan bergiliran dari kampung satu ke kampung lain setiap hari jumat di masing-masing kampung.
Pada tahun 1915 beliau bersama-sama dengan anak-anaknya pindah Pekon Way Suluh, Krui, dan membuat sawah. Lalu tahun 1925 beliau mendirikan sebuah rumah di kampung tersebut yang dinamakan “Lamban Pardasuka” yang artinya adalah Rumah Bersama. Di rumah bersama inilah para santri yang berasal dari Krui, Liwa, dan Muara Dua, Sumatera Selatan, menetap.
Sejak tahun 1945 beliau sering sakit-sakitan. Namun, dalam keadaan sakit, beliau tepap mengajar, hinggat akhir hayatnya. Beliau wafat pada tanggal 18 Januari 1950 bertepatan dengan tanggal 12 rabiul Awal tahun 1370, dalam dalam usia 90 tahun. (Ila Fadilasari)
__________________________
Sumber: http://nu-lampung.or.id/
Posting Komentar