Perjalanan "Kontrak Mati" Presiden Soeharto Membantu Muslim Bosnia



Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995. Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia.

Kamis, 09-06-2016

TSM-Presiden ke-2 RI, Soeharto banyak mendapat sorotan dunia internasional ketika masih menjabat, salah satunya, adalah ketika pada dasawarsa 90-an, ia berkunjung ke kawasan Bosnia saat perang saudara Bosnia-Herzegovina bergolak. Ketika itu, Soeharto ingin menunjukkan simpati kepada kaum Muslim di sana, yang dalam posisi sebagai minoritas menjadi bulan-bulanan kelompok etnis lain.

Walaupun ketika itu di sana terdapat banyak faksi yang sulit ditebak posisinya, Soeharto memutuskan pergi ke Bosnia untuk menengahi konflik yang telah menimbulkan korban jiwa ribuan orang itu. Pada awal Maret 1995, Soeharto, yang seperti biasa didampingi beberapa pembantu terdekatnya, seperti Mensesneg Moerdiono dan Menlu Ali Alatas mengadakan lawatan ke Eropa.

Dalam agenda kunjungan itu, Soeharto juga akan ke Sarajevo, ibu kota Bosnia, yang ketika itu menjadi kawasan perang yang brutal. ABRI (sekarang TNI) mengirimkan pasukan pendahulunya untuk menyiapkan kedatangan Soeharto beserta rombongan ke Bosnia, termasuk melakukan pendekatan kepada pemerintah Bosnia serta berbagai faksi yang sedang berseteru. Ketika rombongan presiden RI tiba di Eropa, belum ada kepastian bisa tidaknya rombongan itu ke Bosnia.

Dalam suasana belum pasti itu, sebuah pesawat milik PBB yang melintas di Bosnia ditembak jatuh pada 11 Maret 1995. Kejadian itu memberikan tekanan yang tinggi bagi rombongan Indonesia yang ingin ke Bosnia tersebut. Namun, Soeharto memutuskan tetap pergi ke medan tempur itu pada 13 Maret, atau dua hari setelah pesawat yang ditumpangi Utusan Khusus PBB Yasushi Akashi ditembak jatuh.

Persiapan pun terus dilaksanakan, mulai menyiapkan substansi pertemuan hingga persiapan pengamanan. Puluhan wartawan yang menjadi bagian rombongan kunjungan presiden pun berharap bisa ikut penerbangan "berani mati" ke kawasan yang ketika itu sedang diwarnai pertumpahan darah itu. Maka, mulailah banyak rayuan yang disampaikan ke Moerdiono, penanggung jawab perjalanan, agar bisa masuk dalam daftar yang ikut ke Sarajevo, ibu kota Bosnia.

Upaya rayu-merayu itu berjalan alot, karena sudah dipastikan bahwa jumlah rombongan yang akan ikut Soeharto ke Bosnia itu sangat terbatas. Akhirnya Moerdiono memutuskan bahwa hanya dua wartawan yang akan ikut terbang ke Bosnia, yakni dari LKBN Antara serta Radio Republik Indonesia (RRI). Alasan pemilihan itu akhirnya dapat diterima oleh puluhan wartawan lainnya.

Dua wartawan itu kemudian mendapat tugas untuk membuat laporan kepada teman-teman wartawan yang tidak ikut dalam penerbangan itu, walaupun ketika itu belum diketahui cara melaporkan berita kepada mereka dan kepada redaksi masing-masing.

Akhirnya Presiden Soeharto berangkat dari Kroasia ke Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina, pada 13 Maret 1995. Jumlah penumpang pesawat buatan Rusia itu hanya 15 orang yang terdiri atas seorang perempuan  petugas PBB, serta 14 orang Indonesia. Soeharto, didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, serta beberapa orang lainnya, termasuk Antara dan RRI.

Dikutip dari buku Pak Harto the Untold Stories, Sjafrie juga menulis Soeharto enggan mengenakan rompi anti peluru dan helm baja. Padahal semua memakai rompi antipeluru seberat 12 kilogram yang bisa menahan proyektil M16. “Eh, Sjafrie, itu rompi kamu cangking (jinjing) saja,” ujar Soeharto kepada Sjafrie.

Pak Harto tetap menggunakan jas dan kopiah. Sjafrie pun ikut-ikutan mengenakan kopiah yang dipinjamnya dari seorang wartawan yang ikut. “Ini dilakukan untuk menghindari sniper mengenali sasaran utamanya dengan mudah,” terang Sjafrie.

Para wartawan yang tinggal di Kroasia kemudian menyalami Antara dan RRI di tangga pesawat dan pada wajah-wajah mereka tampak jelas kekhawatiran atau ketakutan akan nasib rombongan ini. Mungkin juga, perasaan kurang beruntung karena mereka tidak bisa turut. Tidak lama setelah pesawat PBB itu tinggal landas dari Kroasia, seluruh rombongan mendapat sebuah formulir berbahasa Inggris yang harus ditandatangani semua orang, termasuk Soeharto.

Formulir itu berupa penegasan bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dalam penerbangan itu. Walau sempat ragu-ragu, tidak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menandatangani kontrak itu. Terlihat juga Soeharto, Moerdiono, Ali Alatas membubuhkan tanda tangannya dalam formulir tersebut.

Setelah terbang sekitar satu jam, akhirnya pesawat buatan Rusia itu mendarat dengan mulus di Sarajevo. Sambil mengenakan rompi anti peluru Antara pun dengan tergesa keluar pesawat agar bisa memotret Soeharto turun dari pesawat. Ketika itu, Soeharto mendapat pengawalan sangat ketat oleh pasukan bersenjata PBB serta Paspampres.

Saat mendarat di Sarajevo, Sjafrie melihat senjata 12,7 mm yang biasa digunakan untuk merontokkan pesawat terbang terus mengikuti pesawat yang ditumpangi rombongannya. Saat konflik, lapangan terbang itu dikuasai dua pihak. Pihak militer Serbia menguasai landasan dari ujung ke ujung, sementara kiri-kanan landasan dikuasai Bosnia.

“Pak Harto turun dari pesawat dan berjalan dengan tenang. Melihat Pak Harto begitu tenang, moral dan kepercayaan diri kami sebagai pengawalnya pun ikut kuat, tenang dan mantap. Presiden saja berani, mengapa kami harus gelisah,” tulis Sjafrie.

Kemudian anggota rombongan diperintahkan segera masuk ke kantor PBB di bandara itu sambil menunggu persiapan ke kantor pemerintah setempat di tengah kota. Untuk rombongan itu, PBB menyediakan beberapa kendaraan lapis baja pengangkut personel (armoured personel carrier/APC VAB milik pasukan dari Prancis). Soeharto yang juga naik APC disertai ajudan dan pengawal serta seluruh anggota rombongan kemudian berangkat ke pusat kota Sarajevo dengan mendapat pengawalan yang super ketat.

Mereka melewati sniper valley, sebuah lembah yang penuh diisi penembak jitu dari kedua pihak yang bertikai. Untungnya tidak ada apa-apa selama perjalanan. Soeharto pun tiba di istana kepresidenan Bosnia yang saat itu keadaannya memprihatinkan. Tidak ada air sehingga air bersih harus diambil dengan ember. Selama pertemuan, Sjafrie melaporkan ada tembakan meriam tak jauh dari istana.

Setelah meninggalkan istana, Sjafrie pun bertanya pada Soeharto mengapa nekat mengunjungi Bosnia yang berbahaya. Termasuk menyampingkan keselamatan dirinya.

“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok. Yang penting orang yang kita datangi merasa senang, morilnya naik dan mereka menjadi tambah semangat,” jawab Pak Harto.

Sjafrie terpesona mendengar jawaban ini.

Sambil menunggu, Antara dan RRI mulai gelisah karena tidak tahu cara untuk mengirim berita. Akhirnya berkat bantuan juru foto Saidi, kedua wartawan ini bisa berbicara dengan Dan Grup A Paspampres Kolonel Sjafrie untuk memakai pesawat telepon langsung yang disiapkan untuk Soeharto.

Tanpa memakai kode akses lokal atau internasional, giliran pertama diberikan kepada wartawan RRI untuk langsung menelepon ke kantornya di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Ketika itu dia langsung bisa mengudara dan laporan berita olah raga yang ketika itu, sekira pukul 20.10 WIB, sedang disampaikan RRI di sela laporan langsung dari Bosnia.

Kemudian giliran Antara menelepon ke Jakarta dan dilanjutkan ke wartawan-wartawan yang menunggu di Kroasia untuk memberikan laporan mengenai kunjungan Soeharto di negeri yang sedang berperang itu. Pengalaman mengirim berita dari medan perang itu bakal tak terlupakan. Setelah Soeharto berunding dengan pejabat-pejabat tinggi Bosnia, akhirnya rombongan kembali ke bandara untuk selanjutnya terbang lagi ke Kroasia.

Namun Antara dan RRI ternyata tidak bisa lagi satu pesawat dengan Soeharto karena ada dua jenderal TNI yang datang mendahului Soeharto harus ikut satu pesawat dengan presiden. Dengan bantuan seorang letnan kolonel Paspampres, Antara dan RRI hari itu juga bisa bergabung dengan menggunakan pesawat PBB yang mengangkut ratusan prajurit PBB yang akan istirahat di Kroasia.

Malam itu juga, kedua wartawan ini tiba di Kroasia. Tepuk tangan meriah diberikan wartawan lain ketika mereka melihat dua wartawan itu sudah berada di lobi hotel dengan selamat. Perjalanan Soeharto ke medan perang itu, walaupun tidak diikuti dengan konperensi internasional mengenai penyelesaian masalah Bosnia seperti direncanakan, semula tetap dikenang sebagai sebuah perjalanan bersejarah.

Lawatan itu akhirnya menghasilkan berdirinya sebuah masjid megah di ibu kota Bosnia yang merupakan hasil penyaluran bantuan banyak dermawan asal Indonesia. Presiden Megawati Soekarnoputri dan suaminya Taufiq Kiemas beberapa tahun kemudian mengunjungi masjid tersebut.

Admin : HR/Antara/http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/06/09/o8gcya334-perjalanan-kontrak-mati-soeharto-membantu-muslim-bosnia

Related

Tokoh 1767239717026248893

Posting Komentar

Recent

Recent Posts Widget

Arsip

Entri yang Diunggulkan

Kemunculan Al Mahdi - Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc

Gambar Ilustrasi Kajian Khusus Masjid Raya Bintaro Jaya @16 Januari 2016 Kemunculan Al Mahdi Ust Zulkifli Muhammad Ali, Lc K...

Hot in week

Tayangan Laman

item